Sorgum, Biji Baik Untuk Tanah Kering

- Editor

Jumat, 18 Oktober 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sumba Timur yang kering bisa memenuhi kebutuhan pangannya jika membudidayakan tanaman sesuai iklimnya. Sorgum yang dulu dibudidayakan warga merupakan salah satu jawabannya.

Hingga tahun 1980-an, masyarakat desa di pedalaman Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, masih bisa berswadaya dengan aneka sumber pangan, salah satunya sorgum yang dalam bahasa lokal disebut sebagai watar hammu, artinya biji-bijian baik. Penyeragaman budidaya dan konsumsi beras membuat mereka kini tergantung pangan dari luar pulau.

Kini, jangankan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, bahkan, untuk pakan babi pun mereka harus membeli polar (pollard) atau dedak gandum impor. Sedangkan untuk kebutuhan pangan sehari-hari, masyarakat hasil beli beras dari kota, selain juga tergantung pada bantuan rastra (beras sejahtera).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KOMPAS/AHMAD ARIF–Umbu Naitarap (48), salah seorang warga Desa Desa Meurumba,Kecamatan Kahaungu Eti, Sumba Timur, merupakan sedikit warga yang masih menanam sorgum, seperti ditemui Minggu (23/6/2019). Ketahanan pangan masyarakat di pedesaan Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur justru semakin menurun. Masyarakat yang dulu bisa memenuhi kebutuhan dengan beragam sumber pangan kini semakin tergantung pada beras yang harus dibeli dari luar. Kompas/Ahmad Arif

Sebagai contoh, keluarga Ince Njurumana (24), Kepala Dusun Djangfa Meha, Desa Meurumba, yang terdiri dari lima orang harus membeli bera rata-rata 50 kilogram (kg) per dua minggu atau 100 kg per kg per bulan. Dengan harga beras di desa mencapai Rp 11.000 per kg, itu berarti tiap bulan dia harus mengeluarkan uang minimal Rp 1,1 juta per bulan untuk beras saja.

“Hasil panen padi warga tidak pernah cukup. Bahkan, semakin ke sini, hasilnya makin kurang karena sering gagal panen. Hujan tak menentu dan hama juga banyak. Musim panen lalu bahkan kami gagal panen,” kata Kepala Desa Meurumba, Kecamatan Kahaungu Eti, Sumba Timur, Balla Nggiku (60).

Kepala Dusun Djangfa Meha, Desa Meurumba, Ince Njurumana (24), menuturkan, hasil panen padi biasanya hanya cukup untuk makan tiga bulan. Selebihnya warga harus membeli beras, selain juga dari bantuan beras sejahtera atau dulu bernama beras miskin dari pemerintah.

Lahan sawah warga Desa Meurumba dan Meuramba memang terbatas, rata-rata kurang dari setengah hektar per keluarga. Bahkan, banyak warga yang tidak memiliki sawah.

Meski tidak punya sawah, di masa lalu masyarakat Desa Meuramba dan Meurumba, sebagaimana dan desa-desa lain di Pulau Sumba, sebenarnya bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. “Sampai tahun 1980-an kami cukup makan dari hasil ladang sendiri. Waktu tiu kami masih tanam padi ladang, watar willi (sorgum), uhu kani (jewawut), dan macam-macam umbi,” kata Yusuf Umburutung (57), warga Desa Mauramba.

Selain biji-bijian, warga Sumba Timur dulu juga mengonsumsi beragam jenis umbi di antaranya litang, ganyong, luwa, ubi jalar, hingga singkong, keladi. Umbi yang masih dibudidayakan di antaranya singkong dan ubi jalar, namun lebih banyak untuk pakan ternak. “Setelah hanya makan beras akhirnya kami sekarang kekurangan pangan, jadi harus beli dari luar,” kata Balla Nggiku.

Iklim di Sumba Timur yang kering dengan hari hujan terbatas sebenarnya kurang cocok dengan padi sawah. Perubahan pola konsumsi warga ke beras memicu defisit pangan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumba Timur tahun 2016, produksi beras lokal untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras warga Sumba Timur hanya 32,5 persen dari total konsumsi 125.427 ton.

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA (KOR)–KM Okayama sedang memuat beras impor dari Vietnam yang sudah diberi label beras Bulog sebanyak 10.000 ton. Beras impor ini dibongkar di Dermaga Tenau, Kupang, lalu didistribusikan ke daerah-daerah termasuk Waingapu untuk memenuhi kebutuhan beras Bulog bagi Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, dan Sumba Barat, untuk kebutuhan tiga bulan ke depan. Kompas/Kornelis Kewa Ama.13-02-2018

Perubahan iklim
Defisit beras di Sumba Timur ini diperkirakan makin parah pada tahun-tahun mendatang, seiring terjadinya perubahan iklim. Riset oleh peneliti iklim dari Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Amsari dan tim (2019) menunjukkan, hasil uji tren hari kering berturutan pada rentang 1981-2018 cenderung naik 2-4 hari per sepuluh tahun di Rambangaru, pesisir timur Sumba Timur. Jadi, secara signifikan terjadi peningkatan kekeringan di Sumba Timur.

“Hari kering berturutan yang meningkat secara umum terjadi di bagian selatan Indonesia, terutama di NTT. Fenomena ini konsisten dengan proyeksi perubahan iklim di masa mendatang, bahwa daerah yang kering akan cenderung menjadi semakin kering,” kata Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto.

Perubahan iklim diketahui akan menjadi tantangan besar di masa depan dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan. Kajian Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) bersama Kementerian Pertanian serta BMKG yang dirilis pada Januari 2018 menyebutkan, tanaman padi sangat rentan perubahan iklim.

Sementara studi Aldrian dan tim (2015) menunjukkan, keterlambatan hujan selama satu bulan karena perubahan iklim dapat menurunkan produksi beras sebanyak 65 persen di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sedangkan di Bali, produksi padi telah menurun sebesar 20 persen 20 tahun terakhir karena perubahan iklim.

Dengan terus bertambahnya pengonsumsi beras, sementara lahan sawah penghasil lumbung padi di Jawa dan Bali terus menyusut, maka upaya pemenuhan pangan ke depan makin sulit jika hanya ditumpukan pada beras.

Sumba dan NTT umumnya menjadi contoh nyata bahaya penyeragaman pangan menjadi beras. Secara alami, lahan-lahan yang cocok untuk tanaman padi di wilayah ini sangat terbatas. Namun demikian, NTT sebenarnya memiliki beragam potensi sumber pangan lain dan secara turun-temurun telah dibudidayakan warga, di antaranya sorgum.

Berbeda dengan tanaman padi, secara alami sorgum tumbuh baik di iklim yang kering dengan air terbatas. Marcia Pabendon, peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Serelia, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian menyebutkan, daerah NTT, yang beriklim kering seharusnya bisa mencukupi pangan jika mengembangkan sorgum.

Dia mencontohkan Flores Timur, khususnya Desa Likotuden, yang sukses mencukupi kebutuhan pangan dengan kembali ke sorgum. Diinisiasi oleh Maria Loreta, desa yang dulu juga kekurangan pangan, kini bisa surplus dan menjual sebagian budidaya sorgumnya hingga ke luar kota.

–Maria Loretha, petani perintis budidaya sorgum dari Adonara yang mengenalkan tanaman ini ke masyarakat Kawalelo.

Tak hanya memenuhi kebutuhan pangan, sorgum yang memiliki kandungan protein tinggi dan beragam nutrisi baik ini telah menjadi salah satu tumpuan untuk mengatasi gizi buruk dan tengkes (stunting) atau gangguan tumbuh kembang karena kurang gizi kronis di Flores Timur.

Menurut Pabendon, sorgum merupakan tanaman yang butuh cahaya matahari 9-12 jam sehari sehingga cocok untuk wilayah ini. Sorgum punya efisiensi fotosintensis tinggi sehingga optimal di tanah dengan sumber hara dan air terbatas.

Selain disebut watar willi yang artinya jagung tinggi, masyarakat di Sumba Timur menyebut sorgum sebagai watar hammu atau biji-bijian yang baik. Itu disebabkan tanaman ini tetap berproduksi dan memberikan panen yang baik, ketika tanaman-tanaman lain sulit menghasilkan.

Oleh AHMAD ARIF

Editor EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 18 Oktober 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB