Supardi; Pangan Lokal ala Abah Sorgum

- Editor

Rabu, 5 Februari 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tidak pernah terlintas di benak Supardi (73) bahwa hobinya bercocok tanam akan membuat dia menjadi seorang petani ”berpengaruh” di Indonesia. Belakangan, Supardi justru dikenal dengan sebutan Abah Sorgum karena dia memang membudidayakan sorgum sekaligus mengolah pangan berbahan sorgum.
Supardi tidak hanya membudidayakan sorgum untuk dirinya sendiri. Dia juga gencar mengajak petani lain untuk menanam sorgum. Alasan Supardi, sorgum bisa menjadi salah satu alternatif pangan di Tanah Air.

Abah, begitu Supardi biasa dipanggil, mengajarkan cara bercocok tanam hingga mengolah biji sorgum menjadi berbagai makanan, seperti beras sorgum, tepung, bubur, kue brownies, hingga bolu.

Petani binaan Supardi bukan saja berasal dari daerah di sekitar tempat tinggalnya di Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Mereka juga berasal dari beberapa wilayah di Nusantara, seperti Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bahkan, ada pula sejumlah orang yang datang dari luar negeri, seperti India, Thailand, dan Vietnam. Mereka datang ke rumah Supardi untuk belajar bertanam dan mengolah sorgum. Selain itu, Supardi juga menjadi pembicara dalam sejumlah seminar untuk menularkan ilmunya tentang budidaya dan pengolahan sorgum.
Mendapat tempat

Kegigihan Supardi menanam sorgum juga mulai disambut baik oleh pemerintah daerah. Setiap Jumat, Bupati Bandung menggelar coffee morning bersama pejabat Kabupaten Bandung, dengan menu bubur sorgum. Sorgum pun sedikit banyak mulai mendapat tempat di negeri ini.

”Sorgum bisa ditanam di Indonesia. Saya hanya ingin generasi mendatang menyukai sorgum sehingga kita tidak selalu bergantung pada beras. Kalau bergantung terus pada beras, kita akan selalu membeli beras dari luar negeri. Kondisi ini rasanya sangat memprihatinkan,” kata Supardi.

Padahal, lanjutnya, ”Kita seharusnya bisa memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dari produksi negeri kita sendiri yang kaya dan subur ini.” Supardi mengatakan hal itu beberapa waktu lalu dalam seminar ”Parade Pangan Nusantara” di Malang, Jawa Timur.

Sorgum, menurut Supardi, awalnya berasal dari Afrika. Namun, pada era penjajahan, diduga tanaman ini mulai berkembang di Tanah Air seiring dengan maraknya pangan rakyat seperti bulgur.

Apa pun itu, bagi Supardi, sekarang sorgum sudah menjadi bagian dari pertanian di Indonesia. Itu sebabnya, dia bertekad mengembangkan sorgum menjadi bagian dari pangan lokal di Indonesia.
Tergelitik

SupardiKegigihan Supardi mengupayakan sorgum agar lebih meluas ditanam petani dan dikonsumsi banyak orang bukan tanpa alasan. Sebagai mantan tentara berpangkat pembantu letnan dua (pelda) di Batalyon 330 Kodam III/Siliwangi, Jawa Barat, nurani Supardi tergelitik ketika dari hari ke hari Indonesia semakin bergantung pada negara lain dalam hal pangan. Padahal, negeri ini dianugerahi kesuburan dan potensi pertanian luar biasa.

”Jangan lagi nanti kita membeli pangan dari luar (negeri). Kita harus bisa memenuhi kebutuhan pangan bangsa kita sendiri dengan kekuatan dan pengetahuan kita sendiri. Pengetahuan kita tidak kalah dengan orang- orang luar negeri, kok,” ujar suami dari Cicih ini.

Beberapa petani dari luar negeri yang bertemu Supardi justru merasa kaget saat mengetahui Supardi mampu menyulap tanaman sorgum menjadi berbagai makanan. Biasanya, mereka hanya menjadikan tanaman sorgum sebagai pakan ternak.

Supardi bercerita, dirinya mulai bertani sejak pensiun dari kesatuannya tahun 1987. Sebagai petani ”baru”, dia mencoba menanam berbagai jenis tanaman.

Namun, tahun 1999 hati Supardi tertambat pada tanaman unik yang bentuknya dia nilai indah. Di sawahnya yang terletak di pinggir anak Sungai Citarum, tanaman seperti jagung dengan buah berbentuk biji-bijian tersebut semakin menawan hati Supardi.

Sejak saat itu, selama enam bulan dia mencoba mengembangkan tanaman tersebut. Sorgum yang dikembangkan Supardi terdiri atas dua jenis, yaitu sorgum putih dan sorgum merah.

Sorgum putih berusia 3 bulan 18 hari, sedangkan sorgum merah berusia 5-6 bulan. Tanaman sorgum hidup di dataran rendah, di mana tanahnya tidak terendam air.

”Menanam sorgum tidak rumit. Hama tanaman ini hanya tikus dan burung. Jadi, lebih aman jika tanaman sorgum itu kita tutup dengan jaring. Tanaman sorgum tidak perlu disemprot pestisida karena ini berarti kita juga ’makan’ racun pestisida tersebut,” ujar Supardi.

Selama ini Supardi mengupayakan tanaman sorgumnya berkembang secara organik. Dia hanya membutuhkan pupuk secukupnya untuk tanaman tersebut.
Berbagai olahan

Tidak hanya menanam sorgum, Supardi juga mengolah sorgum menjadi berbagai olahan makanan, seperti bubur dan brownies atau bolu. Dibantu sang istri, Cicih, dan anaknya yang menjadi analis kesehatan, Supardi terus menyosialisasikan pangan alternatif nonberas tersebut kepada masyarakat.

”Sorgum bisa diolah menjadi berbagai jenis makanan. Asal mau mencoba dan belajar, kita bisa menjadikan sorgum sebagai salah satu alternatif makanan pengganti beras,” tutur Supardi meyakinkan.

Tahun 2011 Supardi menemukan alat yang disebutnya ”mesin sosoh beras sorgum pedesaan”. Alat ini berupa mesin pembuat beras dan tepung sorgum. Mesin ini merupakan penyempurnaan dari mesin buatan Universitas Padjadjaran, Bandung, yang sebelumnya bekerja sama dengan Supardi untuk mengolah biji-biji sorgum hasil panennya.

”Saya yakin sorgum bisa menjadi alternatif pangan di Tanah Air. Kita harus yakin bahwa kita tidak harus bergantung pada beras selamanya,” ujar Supardi, warga Kampung Bojong Koneng, RT 001 RW 006, Desa Bojong Manggu, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Bandung, ini.

Dia lalu menyebutkan, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) merilis data bahwa sorgum mengandung 329,00 kalori; 10,40 gram protein; 70,70 gram karbohidrat; 25,00 gram kalsium; dan beberapa kandungan nutrisi lain. Kandungan dalam sorgum tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di dalam jagung dan beras.

Oleh karena itulah, dari hari ke hari, Supardi terus mengampanyekan pangan alternatif nonberas. Bagi dia, lebih baik makan makanan produksi dari dalam negeri daripada harus terus-menerus bergantung pada pangan dari luar negeri.

Semangat Supardi untuk menularkan antusiasme mencari pangan alternatif tersebut patut diacungi jempol. Semangatnya agar Indonesia mandiri dalam pangan tidak tergantung dari luar negeri.

Supardi
? Lahir: Bandung, 31 Desember 1940
? Pekerjaan: Petani sorgum
? Pendidikan: Sekolah rakyat
? Istri: Hj Cicih
? Anak:
– HM Rusianto
– Dedi Rohman
– Asep Sulisno
– Abdullah Arofah
– Hj Neneng Supriyatiningsih

Oleh: Dahlia Irawati

Sumber: Kompas, 5 Februari 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Sudirman; Membebaskan Dusun dari Kegelapan
Safwan Menghidupkan Perpustakaan Daerah
Agus Pakpahan; ”Komandan” Lalat Ingin Bangsa Ini Cerdas
Basu Swastha Dharmmesta; Profesor yang Jatuh Cinta pada Batik
Mohammad Ali; Dari Mangrove Menuju Kemandirian
Lestari Nurhajati, Perempuan Indonesia Peneliti Demokrasi di Nepal-Afganistan
Maria Yosephina Melinda GamparTotalitas Melayani Pasien
Endang Setyowati; Kepala Sekolah yang Gemar ”Nongkrong”
Berita ini 16 kali dibaca

Informasi terkait

Jumat, 26 Desember 2014 - 09:24 WIB

Sudirman; Membebaskan Dusun dari Kegelapan

Jumat, 19 Desember 2014 - 07:11 WIB

Safwan Menghidupkan Perpustakaan Daerah

Selasa, 16 Desember 2014 - 05:51 WIB

Agus Pakpahan; ”Komandan” Lalat Ingin Bangsa Ini Cerdas

Selasa, 9 Desember 2014 - 07:26 WIB

Basu Swastha Dharmmesta; Profesor yang Jatuh Cinta pada Batik

Senin, 8 Desember 2014 - 07:27 WIB

Mohammad Ali; Dari Mangrove Menuju Kemandirian

Jumat, 5 Desember 2014 - 15:32 WIB

Lestari Nurhajati, Perempuan Indonesia Peneliti Demokrasi di Nepal-Afganistan

Jumat, 21 November 2014 - 05:23 WIB

Maria Yosephina Melinda GamparTotalitas Melayani Pasien

Jumat, 7 November 2014 - 15:29 WIB

Endang Setyowati; Kepala Sekolah yang Gemar ”Nongkrong”

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB