Bencana Vanuatu;”Island Kaikai” yang Rapuh

- Editor

Senin, 27 April 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Jangan sepelekan tanaman umbi-umbian. Bagi penduduk pulau, termasuk negara kepulauan di Samudra Pasifik seperti Vanuatu, tanaman itu merupakan sumber makanan pokok yang vital.

Beri kami waktu tiga bulan hingga panen,” kata Direktur Kantor Manajemen Bencana Vanuatu Shadrach Rubart Welegtabit di Port Vila, ibu kota Vanuatu, saat menerima tim pengirim bantuan Pemerintah Indonesia yang dipimpin Duta Besar RI untuk Australia merangkap Vanuatu Nadjib Riphat Kesoema, Selasa (7/4). Vanuatu terdampak topan Pam, badai tropis kategori 5, terbesar dalam puluhan tahun terakhir di kawasan Pasifik selatan.

Selain di Vanuatu, Pam juga menimbulkan kerusakan di Kepulauan Solomon, negara kecil di utara Vanuatu, dan Kiribati di sisi timur. Laporan terakhir, 70 persen dari 260.000 penduduk Vanuatu terdampak topan itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Besarnya bencana itu, lanjut Shadrach, mengakibatkan ada pulau dengan dua rumah saja yang berdiri dari sekitar 70 rumah yang ada. Ada 83 pulau di kawasan itu.

Kecukupan pangan dan air bersih menjadi isu besar bagi warga terdampak. Warga pulau menggantungkan makanan sehari-hari dari tanaman umbi- umbian yang mereka tanam, dan butuh tiga bulan hingga panen.

Persoalannya, angin berkekuatan hingga 320 kilometer per jam merusak kebun dan ladang warga. Bahkan, sempat dilaporkan ada warga yang terpaksa minum air laut setelah topan reda, pertengahan Maret.

“Umbi-umbian, seperti singkong dan talas, adalah makanan kami sehari-hari,” kata Nicholas Efraim, pegawai penginapan di Port Vila. Ia berasal dari Pulau Abrym, pulau kecil di bagian utara, sekitar 1,5 jam perjalanan udara dari Port Vila menggunakan pesawat perintis.

“Keluarga besar saya di sana terdampak. Mereka juga kesulitan makanan pokok,” tuturnya. Beras yang tak ditanam di Vanuatu belum populer dikonsumsi penduduk pulau di luar ibu kota negara.

Kalaupun dikonsumsi, beras umumnya dicampur umbi-umbian yang mereka tanam sendiri. “Bagaimanapun, makanan utama kami umbi-umbian,” kata Nicholas.

Begitu pentingnya umbi-umbian sehingga penduduk setempat menyebutnya “Island Kaikai” yang merujuk pada aneka jenis umbi yang mereka konsumsi tiap hari. Barangkali, itulah alasan pejabat penanganan bencana mengatakan “beri kami waktu tiga bulan”. Sebab, usia tanam beberapa jenis talas dan umbi berkisar 90 hari.

Hingga tiga pekan pasca topan melanda, umbi-umbian sulit ditemukan di pasar tradisional ataupun pasar swalayan. Bahkan, pasar belum aktif. Satu paket ubi jalar (kumala) berisi 7-8 ubi dijual 120 dollar Vanuatu atau Rp 12.000. Adapun satu kilogram beras premium impor dari Australia dijual 160 dollar Vanuatu. “Persediaan kami habis,” kata Carla, supervisor minimarket di Port Vila.

Pengunjung mencari bahan makanan di rak umbi-umbian di toko swalayan di Port Vila, Vanuatu, Rabu (8/4). Tiga pekan setelah hantaman topan Pam, warga masih kesulitan memperoleh bahan makanan pokok berupa umbi-umbian.—KOMPAS/GESIT ARIYANTO

Di warung makan atau restoran, menu umbi-umbian kosong. Demikian pula buah-buahan. “Memang susah. Kemarin saya cari pisang tak ada,” kata Syafrin, pegawai perusahaan ekspor daging ikan di Port Vila yang sudah enam tahun tinggal di daerah itu. Ini pengalaman pertamanya dengan topan.

Garis depan
Kerentanan negeri kepulauan, di antaranya di kawasan Pasifik, menjadi isu besar dalam perbincangan tentang pemanasan global dan perubahan iklim. Negara-negara pulau kecil, seperti Vanuatu, Solomon, Kaledonia Baru, dan Kiribati-di kawasan lain, seperti Maladewa dan Seychelles-disebut-sebut ada di garis depan “peperangan” melawan perubahan iklim.

Penduduk di negara-negara pulau itu yang akan-bahkan sudah-terdampak kenaikan muka laut dan cuaca ekstrem. Kejadian itu dikaitkan dengan pemanasan global, di antaranya terkait pembangunan negara- negara maju yang mengemisikan unsur pembentuk gas rumah kaca di atmosfer.

Gas rumah kaca dengan unsur utama karbon dioksida dan metana memerangkap sinar ultraviolet di atmosfer Bumi. Akibatnya, suhu Bumi naik atau pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim. Fakta itu diperkuat penelitian Panel Ahli Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC) beranggotakan 1.500 ahli dari seluruh dunia.

“Kami sudah mengantisipasi topan Pam, tetapi kesiapan kami hanya di level dua atau tiga. Ternyata yang datang level lima,” kata Shadrach. Topan besar pernah melanda Vanuatu tahun 1987, tetapi tak sekuat Pam.

Sebagaimana kajian IPCC, pemanasan global akan memicu kuantitas badai siklon atau topan dengan kekuatan lebih dahsyat. Itu pula yang terjadi dengan topan Pam.

Di negara-negara kepulauan, topan hanya salah satu ancaman. Ada pula kerentanan terkait gempa dan tsunami besar sehingga perlu ketangguhan merespons bencana.

Di Jakarta, saat melepas tim pengirim bantuan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan, Pemerintah RI langsung menghubungi Pemerintah Vanuatu untuk menawarkan bantuan. “Kami sampaikan rasa prihatin langsung kepada Menlu Vanuatu begitu mendengar kejadian itu,” ujarnya.

Pemerintah RI mengirim bantuan uang dan barang senilai total Rp 25 miliar kepada Vanuatu. Bantuan kedaruratan berupa paket makanan bayi, ibu hamil dan menyusui, selimut, tempat tidur lipat, generator listrik, tenda hunian, posko, dan paket pembersih lingkungan.

“Pemerintah siap bekerja sama dalam pelatihan penanganan bencana,” kata Dubes RI untuk Australia Nadjib Riphat. Badan Nasional Penanggulangan Bencana juga siap berbagi pengalaman.

Pada akhirnya, pemerintah di mana pun boleh saja mereka-reka rencana menangani bencana. Namun, negara tangguh bencana hanya akan tercipta jika masyarakatnya siap, termasuk dalam hal ketahanan pangan.

Kali ini, penduduk Vanuatu mengajarkan kepada dunia betapa penting kerja sama global. “Island Kaikai” atau kekayaan umbi-umbian ternyata rentan dan rapuh. Sementara mereka ada di garis depan dampak perubahan iklim global dengan aneka bencana ikutan tak terduga.–gesit ariyanto
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 April 2015, di halaman 9 dengan judul “”Island Kaikai” yang Rapuh”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 3 Januari 2024 - 17:34 WIB

Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB