Epilepsi dapat diobati dengan beberapa cara, yaitu pemberian obat anti-epilepsi atau OAE dan bedah saraf. Dengan bedah syaraf, kejang atau bangkitan epilepsi dapat dieliminasi sebesar 70 persen hingga 90 persen.
Epilepsi merupakan penyakit otak tidak menular yang ditandai dengan kejang berulang pada tubuh. Kejang yang terus menerus akan menimbulkan sejumlah konsekuensi, baik dari sisi neurobiologis, kognisi, psikologi, dan sosial.
“Ada sel-sel otak yang mati saat kejang. Bila kejang terjadi secara berulang, maka seseorang dapat menderita degradasi mental,” kata Guru Besar Bidang Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Zainal Muttaqin pada seminar berjudul Operasi sebagai Alternatif Pengobatan pada Epilepsi di Jakarta, Sabtu (15/9/2018). Acara ini dihadiri pula oleh dokter spesialis saraf Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta, Aris Catur Bintoro dan Irawati Hawari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
SEKAR GANDHAWANGI UNTUK KOMPAS–Seminar awam bertajuk “Operasi sebagai Alternatif Pengobatan pada Epilepsi” diselenggarakan di Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, (15/9/2018).
Untuk mengobati penyakit epilepsi, penyandang epilepsi dapat mengonsumsi OAE secara rutin. Namun, apabila epilepsi yang diderita adalah epilepsi yang sulit diobati atau intractable epilepsy, maka pengobatan yang disarankan adalah dengan melakukan bedah saraf.
Seseorang dikatakan menderita epilepsi yang sulit diobati apabila telah mengonsumsi dua hingga tiga OAE yang tepat dengan dosis maksimal, namun masih belum dapat mengontrol bangkitan epilepsi yang dideritanya. Ada 70 persen kasus epilepsi yang dapat ditangani dengan mengonsumsi OAE. Sementara itu, 30 persen lainnya sulit disembuhkan, sering mengalami bangkitan epilepsi, atau pun bangkitan epilepsinya mengganggu aktivitas sehari-hari.
Bedah dilakukan dengan memotong jaringan otak yang menjadi fokus epilepsi tanpa merusak jaringan otak yang sehat. “Angka kesakitan atau gangguan fisik dari pembedahan harus near zero. Angka kematiannya pun harus nol. Itulah pembedahan yang benar,” kata Zainal. Ia menambahkan, bedah saraf tersebut dapat menggunakan layanan BPJS Kesehatan.
SEKAR GANDHAWANGI UNTUK KOMPAS–Guru Besar Bidang Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Zainal Muttaqin.
Banyak faktor
Epilepsi disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti perkembangan otak yang tidak normal sejak dari kandungan, maupun kendala saat persalinan yang menyebabkan saraf otak terganggu. Kerusakan otak sejak dini juga dapat berdampak pada terjadinya epilepsi di masa depan.
Jumlah penyandang epilepsi di dunia mencapai 50 juta orang dengan angka prevalensi 0,5-0,9 persen. Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, jumlah penyandang epilepsi mencapai 1,2 juta hingga 2,16 juta orang. Hingga Desember 2017, ada 615 pasien yang telah melakukan bedah saraf di Semarang, Jawa Tengah.
Dokter spesialis saraf Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta Irawati Hawari mengatakan, ada sejumlah persiapan yang harus dilakukan sebelum bedah saraf dilaksanakan. Pasien harus melakukan Longterm Video-EEG Monitoring (LTM), pindai otak dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI), PET-scan, pengkajian kognitif, dan wawancara dengan psikiater. Itu dilakukan untuk mencari penyebab epilepsi pada otak secara presisi.
Walaupun penyandang epilepsi telah melakukan bedah, OAE masih perlu dikonsumsi. Itu karena bedah mengurangi risiko munculnya bangkitan epilepsi sebesar 70 persen. Untuk memperbesar peluang bebas dari bangkitan epilepsi, konsumsi OAE tetap diperlukan.
“Bedah bertujuan untuk menghilangkan kejang. Tapi itu bukan berarti stop konsumsi OAE. Kita harus disiplin,” kata Irawati.
Pemulihan pascabedah berlangsung selama lima hari di rumah sakit. Itu untuk memastikan bahwa luka pascabedah telah sembuh. Setelah itu, pasien diwajibkan untuk melakukan kontrol kesehatan dengan dokter masing-masing pasien. Menurut Irawati, RSU Bunda Jakarta telah menangani sembilan kasus bedah saraf untuk epilepsi sejak 2017.
SEKAR GANDHAWANGI UNTUK KOMPAS–Seminar awam bertajuk “Operasi sebagai Alternatif Pengobatan pada Epilepsi” diselenggarakan di Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, (15/9/2018). Dari kiri ke kanan: Guru Besar Bidang Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Zainal Muttaqin, dokter spesialis saraf Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta Irawati Hawari, penyandang epilepsi Stephanie Claudia Kamadjaja dan Agnes.
Lebih baik
Saat ditemui di kesempatan yang sama, salah satu penyandang epilepsi, Stephanie Claudia Kamadjaja (26), mengatakan, ia telah menjalani bedah saraf pada 2014. Ia dinyatakan menderita epilepsi sejak 2005. Sejak menjalani bedah syaraf, ia mengaku hanya mengalami bangkitan epilepsi sebanyak tiga kali dalam empat tahun.
“Jumlah itu sudah jauh lebih baik. Sejak bedah, saya mengalami bangkitan epilepsi untuk pertama kalinya pada 2016. Itu pun karena pengaruh hormon saat menstruasi,” kata Stephanie. Hingga kini, ia masih mengonsumsi OAE, namun dengan dosis yang rendah. (SEKAR GANDHAWANGI)–YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 17 September 2018