Beberapa tahun terakhir, diet keto atau ketogenik populer dimanfaatkan untuk menurunkan berat badan. Padahal, sejak tahun 1920-an, pola diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat itu telah digunakan untuk mencegah kejang yang sering dialami penderita epilepsi.
Dalam diet ini, tubuh dipaksa menggunakan lemak sebagai sumber bahan bakar tubuh, bukan karbohidrat. Ketika pembakaran lemak itu berlangsung, tubuh menghasilkan senyawa keton yang dapat digunakan sel-sel tubuh untuk menghasilkan energi.
Saat ini, pengobatan untuk mencegah dan mengontrol kejang pada penderita epilepsi banyak dilakukan dengan menggunakan obat-obatan kimia. Namun, diet keto tetap dilakukan khususnya untuk anak-anak penderita epilepsi yang belum merespon pengobatan menggunakan obat-obatan antikejang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meskipun manfaat diet keto dalam mencegah kejang itu sudah dirasakan selama beberapa dekade, mekanisme pasti dari diet keto hingga mampu mencegah kejang pada penderita epilepsi itu masih menjadi tanda tanya besar bagi ilmuwan.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG–Contoh menu diet keto
Untuk menjawab persoalan tersebut, mahasiswa pascasarjana Universitas California Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat Christine Olson memimpin sebuah penelitian guna memecahkan misteri itu. Hasil riset itu dipublikasikan di jurnal Cell, Kamis (24/5/2018).
Guna menjawab tantangan itu, peneliti menggunakan model tikus yang menderita epilepsi. Selanjutnya, peneliti melihat apakah bakteri usus pada tikus yang menjalani diet keto tersebut berperan dalam menciptakan efek antikejang.
Hasilnya, tikus yang menjalani diet keto mengalami intensitas kejang yang jauh berkurang dibanding tikus yang tidak menjalani diet keto. Kondisi itu terjadi karena tikus yang diberi diet keto mengalami perubahan substansial dalam bakteri usus mereka hanya setelah empat hari menjalani diet keto.
Hasil penelitian menggunakan model tikus, tikus yang menjalani diet keto mengalami intensitas kejang yang jauh berkurang dibanding tikus yang tidak menjalani diet keto.
Dua jenis bakteri
Perubahan itu ditandai dengan meningkatknya dua jenis bakteri dalam usus tikus, yaitu bakteri Akkermansia muciniphila dan Parabacteroides.
Ketika bakteri usus yang ditingkatkan jumlahnya melalui diet keto itu dipindahkan ke tikus lain yang tidak menjalani diet keto, efek antikejangnya tetap terasa. Bahkan, efek bakteri itu dalam melindungi tikus dari serangan kejang masih tetap ada meski tikus tersebut diberi pola diet non-keto.
”Studi ini menemukan mengobati tikus kronis dengan bakteri tertentu yang diperkaya melalui proses diet keto bisa melindungi mereka dari kejang,” kata peneliti lain Elaine Hsiao, asisten profesor biologi dan fisiologi integratif di UCLA kepada Livescience, Kamis (24/5/2018).
Namun, saat peneliti memeriksa efek diet keto pada tikus yang tidak memiliki bakteri usus, baik karena dibesarkan di lingkungan yang steril atau menggunakan antibiotika, ternyata diet keto tak lagi melindungi mereka dari kejang.
”Itu menunjukkan mikrobiota usus diperlukan untuk secara efektif mengurangi kejang,” tambah Olson yang bekerja di laboratorium yang dipimpin Hsiao.
Selain itu, jika hanya salah satu spesies bakteri yang dipindahkan ke tikus lain, maka kehadiran bakteri tunggal itu tidak memunculkan efek mencegah kejang. Itu menunjukkan bahwa kedua bakteri itu melakukan fungsi yang unik hanya ketika bersama-sama.
Studi juga menunjukkan kedua bakteri itu juga mengubah kondisi biokimia dalam usus dan darah dengan cara memengaruhi neurotransmitter di otak.
Meski mekanisme pencegahan kejang pada penderita epilepsi melalui diet keto sudah terjelaskan, studi lebih lanjut diperlukan untuk melihat apakah perawatan berbasis mikroba, yang dikenal umum dengan sebuat probiotik itu, bisa efektif mencegah dan mengobati kejang pada manusia yang menderita epilepsi.–M ZAID WAHYUDI
Sumber: kompas, 28 Mei 2018