Pemantauan kualitas air sungai di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan persentase kualitas air yang memenuhi baku mutu. Sementara itu, kondisi sungai yang tercemar berat menunjukkan tren menurun. Jika tren ini dipertahankan, perbaikan kualitas air sungai yang lebih mendukung kehidupan makhluk hidup di dalamnya bisa tercapai.
Hasil pemantauan kualitas air sungai utama di 33 provinsi pada 923 titik pantau tahun 2015 menunjukkan, 2,3 persen memenuhi baku mutu air kualitas II (Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001). Hal itu melonjak daripada tahun sebelumnya yang hanya 0,78 persen. “Sedikit di atas target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2015-2019),” kata MR Karliansyah, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jumat (18/3), di Jakarta.
Menurut Karliansyah, perbaikan itu didukung berbagai program pengawasan lingkungan hidup pada industri hingga penyediaan sanitasi bagi warga. Itu penting karena lebih dari 60 persen sumber pencemar sungai berasal dari limbah domestik atau rumah tangga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perbaikan signifikan ada di Sungai Brantas, Jawa Timur, yang menjadi target perbaikan mutu air Pemprov Jatim. “Di Kali Brantas, survei Ecological Observation and Wetland Conservation menemukan penambahan jumlah spesies,” katanya.
Perbaikan lain ditunjukkan pada penurunan persentase titik pantau yang tercemar berat. Tahun 2015, pemantauan mendapati 67,94 persen titik pantau yang tercemar berat. Angka itu turun daripada tahun 2014 yang mencapai 79,49 persen.
Parameter utama tercemar berat itu pada temuan bakteri Escherichia coli pada badan sungai. Temuan bakteri penyebab berbagai penyakit pada manusia itu menunjukkan sungai masih menjadi kakus bagi masyarakat.
“Selain E coli, ada 32 parameter lain yang juga dipantau,” kata Karliansyah. Parameter itu di antaranya kandungan oksigen terlarut (COD) dan kebutuhan oksigen biologis (BOD).
Secara umum, indeks kualitas air sungai tahun 2015 sebesar 53,1, meningkat daripada tahun 2014 (52,19). RPJMN 2015-2019 memasang target KLHK menurunkan indeks hingga 15 pada 2019 daripada basis data 2014.
Sensor olahan limbah
Karliansyah mengatakan, pihaknya akan mewajibkan ratusan industri yang membuang air olahan instalasi air limbahnya ke sungai agar memasang sensor pada saluran pembuangan. Itu untuk memantau dan mengawasi secara waktu nyata kualitas air buangan menuju sungai.
“Harus dipasang di titik-titik penaatan. Ini sedang disiapkan peraturan menteri,” katanya. Pemasangan alat disiapkan bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Alat disiapkan agar tak bisa dipindah-pindahkan. Kalibrasi alat juga dilakukan bersama KLHK. Semua informasi dari alat itu akan dihubungkan secara daring di KLHK.
Jepang dan Korea Selatan telah menerapkan cara seperti itu. “Saya pernah tanya berapa lama mereka mengevaluasi kualitas sungai, ternyata hanya tiga minggu. Sementara kami butuh waktu setahun,” ucapnya.
Direktur Pengendalian Pencemaran dan Air KLHK Sri Parwati Murwati Budi Susanti mengatakan, pemantauan daring sebelumnya dipasang pada dua titik di badan Sungai Ciliwung dan Citarum. KLHK akan memasang sistem serupa di empat sungai lain: Sungai Cisadane, Brantas, Bengawan Solo, dan Serayu.
“Nanti terlihat bagaimana kondisi sungai sehingga memberi informasi dalam pemberian izin,” ujarnya. (ICH)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul “Baku Mutu Air Terpantau Meningkat”.