BULAN Oktober 1992 yang lalu timbul kebakaran di tempat sampah plastik perusahaan daur ulang Microplast di kota Lengerich, Westphalen, Jerman. Belum sampai didaur ulang, timbunan plastik itu sudah keburu terbakar. Orang tidak akan ribut seandainya tidak ada kecelakaan yang aneh. Dan 28 orang anggota pemadam kebakaran megap-megap sesak napas dan pingsan, sampal harus dirawat di rumah sakit. Ternyata mereka keracunan gas dioksin, hasil penguraian plastik yang terbakar itu.
Ada 5 nanogram dioksin yang mencemari tiap meter kubik udara kota Lengerich. Satu nanogram hanya sepersemilyar gram, tapi itu sudah berbahaya bagi penduduk yang menghirup udara sesudah kebakaran itu. Menurut pengalaman mereka, dioksin sebanyak 0,0008 nanogram per meter kubik udara saja sudah membuat anak-anak yang bemain di taman kota Hamburg, (beberapa tahun sebelumnya), sudah rentan karena kekebalan tubuhnya sangat menurun. Mereka mudah pusing, sakit kepala, lekas capai dan tak mempunyai nafsu makan. Gejala yang sepele kelihatannya. Namun, sebagai anak remaja mestinya mereka besar nafsu makan dan kelincahannya.
Lama-lama (setelah linkungan mereka tidak diperbaiki), anak-anak itu menjadi angkatan muda yang sakit-sakitan. Sesudah sistem kebalannya menurun (karena dioksin yang terhirup tubuh melumpuhkan butir-butir darah putih), “penyakit” malas itu memburuk menjadi alergi, radang kulit keracunan klor, akhimya kanker kulit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dibuang ke luar negeri
Tidak semua sampah plastik bisa didaur ulang. Sebagian malah tidak memenuhi syarat dan terpaksa dibakar saja supaya musnah. Tidak mungkin menghancurkan semua botol, ember, kotak dan barang besar lainnya menjadi serpihan plastik kecil-kecil dalam pabrik daur ulang, untuk kemudian dilumerkan dan dicetak kembali menjadi meja, kursi atau bangku. Ada keterbatasan yang membuat pabrik itu tidak bisa menampung sampah plastk yang diharapkan bisa didaur ulang. Mau dikemanakan sisa yang kalau dibakar malah mencemari udara lingkungan hidup itu?
Terbetiklah berita, bahwa sebagian dibuang ke negara-negara berkembang. Kontainer hasil ekspor negara ini (yang akan kembali kosong), diisi sampah plastik. Konon ada pabrik daur ulang lokal yang bersedia memanfaatkannya. Siapa, kapan, di mana, dan bagaimana cara mereka mengekspor plastik
Sampah itu yang persis, memang tidak ada data ilmiahnya yang popular, (nara sumbernya tidak transparan), tapi tiba-tiba saja ada barita bahwa sejumlah kontener masuk ke pelabuhan Tanjungpriok kita, lalu setelah diam-diam diambil plastiknya yang masih bisa didaur ulang, sisanya dibawa ke tempat penimbunan sampah di Cakung. Tiba-tiba saja para pemulung sana mengatakan,”Woo, sudah lama pembuangan sampah kontener itu terjadi. Berkali-kali! Cuma kita diam saja!”
Maka, tiba-tiba kita sadar bahwa kita pun kecolongan menjadi korban pelemparan sampah. Untunglah, Menteri Perdagangan kita cepat tanggap dan tanpa banyak diskusi ilmiah mengumpulkan data statistik, segera melarang impor plastik sampah itu. Selamat! Selamat!
Tak berdaya
Mengapa industri kimia tetap saja membuat plastik yang tidak bisa hancur, dan kalau dibakar malah menghasilkan racun? Pertimbangannya jelas bisnis ekonomi murni. Ongkos produksi plastik begitu murah, dan masyarakat segala lapisan mau membelinya secara masal. Kehidupan kita jauh lebih nikmat dengan barang-barang plastik, mulai dari kantong dan sikat gigi sampai onderdil mobil dan telenan. Selama pertimbangan ini masih kuat, kita terpaksa kalah dan tidak berdaya. Bisanya hanya getem-getem.
Karena barang plastik yang dibuang ke tempat sampah tidak bisa hancur, cara pemusnahannya yang paling gampang ialah dibakar. Kalau plastik PVC (polyvinylchlorida) dibakar, timbul gas asamklorida, yang beracun, klor dan racun dioksin. Dioksin ialah nama yang tidak begitu tepat bagi senyawaan 2,3,7,8-tetrachloro-dibenzo-p-dioxin (TODD), Ada sekitar 70-an senyawaan yang serupa tapi tak sama, yang disebut dioksin juga. Pembakaran plastik PVC menghasilkan beberapa jenis dioksin itu, di samping TCDD. Racun ini pertama kali dikenal sebagai bagian dan herbisida penumpas gulma trichloro-phenoxy-acetic acid, kira-kira 10 tahun sesudah herbisida ini disetujui diproduksi masal. Tentu saja, bahan itu kemudian dilarang pembuatannya. Tetapi dioksinnya dibuat juga secara sintetik pada tahun 1957 untuk membuat bom peluruh daun yang di pakai dalam perang Vietnam (dan terkenal sebagai agent orange). Maksudnya agar tentara Vietcong yang bersembunyi di antara dedaunan bisa tampak dari udara, kalau daun-daun berguguran. Lalu mudah ditembaki.
Walaupun tak disangsikan lagi berbahayanya bagi orang, namun tidak pernah ada kejadian orang mati oleh gas itu. Tapi jelas, ia karsinogenik (merangsang timbulnya kanker), teratogenik (penyebab cacat janin) dan mutagenik (penyebab mutasi dalam gen).
Kita baru tahu tentang keracunan dioksin ini setelah rakyat negara barat sendiri menderitanya, setelah ada plastik terbakar. Tapi kita lamban merisaukannya, karena musibah itu jarang (belum) menimpa negeri kita yang industrinya belum sesesak mereka.
Harapan secercah
Tetapi kini, bahaya dioksin mengancam kita kalau kita membakari sampah plastik. Plastik yang kita pakai juga sama dengan plastik yang menimbulkan masalah di Jerman. Suatu waktu nanti kita juga akan mendapat PR untuk memecahkan masalah kesehatan rakyat penghuni kampong-kampung kita di sekitar tempat penimbunan sampah itu. Sisa yang tidak dipungut para pemulung untuk pabrik pendaur ulang plastik, juga ada yang dibakar (tidak semuanya). Dioksin yang mencemari, udara sekelilingnya juga meracuni tubuh penduduk kita. Memang tidak semuanya juga tapi ada.
Pencegahannya yang ideal sudah tentu tidak memakai plastik PVC lagi, tapi menciptakan jernis plastik lain yang tidak berbahaya. Untunglah beberapa pengusaha Jepang yang juga risau dengan sampah plastik yang berbahaya itu, sejak tahun 1989 merintis pembuatan plastik jenis baru. Mereka mengembangkannya bersama Fermentation Research Instituter dengan bahan campuran serat polyester, kalsiumkarbonat dan zat pati. Kalau ditimbun di tempat pembuangan sampah dan terbenam dalam tanah bisa difermentasikan oleh ragi menjadi air dan karbondioksida. Plastik itu terurai hancur dan menyatu dengan tanah, membentuk humus. Karena diuraikan secara biologis, plastiknya juga disebut biodegradable plastic.
Untuk mengganti kantong plastik PVC mereka mengembangkan plastik serupa yang dicampuri keten (H2C=C=O). Kalau dibuang ke tempat sampah di sinar matahari terik, keten ini terurai menjadi karbonmonoksida dan metilen, sambil menyeret zat lain yang membentuk kantung plastik itu. Ia akan momot dan berubah menjadi serbuk yang mudah menyatu dengan tanah. Karena bias momot oleh cahaya itulah, plastiknya disebut juga photodegradable plastic.
Hanya sayang pembuatannya masih mahal, sehingga belum layak dipasarkan. Tapi kalau cara pembuatannya kelak bisa masal dan dibuat dengan lisensi di Indonesia kita sendiri, dengan efisiensi kerja yang menekan biaya, ada harapan secercah untuk mencegah kerunyaman yang sejauh ini harus kita telan tanpa daya.
(Slamet Soeseno, redaktur khusus majalah Intisari)
Sumber: Kompas, 29 Oktober 1993