Sejumlah data menunjukkan, satu dari dua penderita asma masih mengalami serangan asma menakutkan meskipun sudah diobati. Sejauh ini, tidak banyak pula pilihan obat atau terapi baru bagi pasien asma parah. Namun, inovasi terkini mengembuskan angin segar bagi penderita asma yang sangat parah.
Keberadaan obat sangat penting, apalagi asma berdampak sosial bagi penderitanya. Pengidap asma berat ada yang didera rasa malu, masa depan tak jelas, selalu cemas, daumlahn rasa bersalah. Intinya, dicekam asma menakutkan. Ancaman serangan asma berulang juga tinggi.
Sementara, dengan diagnosis baik dan pengobatan tepat, asma dapat dikelola sehingga pengidapnya bisa beraktivitas sehari-hari seperti halnya orang tanpa asma. Kondisi tubuh, aktivitas sosial, dan pekerjaan mereka bisa dijalani dengan baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meskipun berisiko tinggi, menurut Guru Besar Kedokteran Pernapasan Universitas Cape Town, Afrika Selatan, Eric Bateman, asma sebagai beban global masih dianggap remeh oleh sebagian besar kalangan. Sebagian besar pasien dan dokter juga beranggapan bahwa saat ini tak ada obat asma. Banyak pasien putus pakai obat dan tetap hidup dengan gejala asmanya tanpa menjalani pengobatan.
Faktanya, kata Bateman, beban ekonomi asma salah satu yang terbesar dari kelompok penyakit kronis. Negara maju bisa menghabiskan hingga 2 persen dari anggaran kesehatannya untuk mengendalikan asma. Bahkan, secara global anggaran penanggulangan asma diperkirakan melebihi anggaran untuk tuberkulosis dan HIV.
Riset terkini, tiotropium bromide yang biasa untuk terapi pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) ternyata bisa diberikan juga kepada pasien asma sangat berat dengan pengobatan kombinasi kortikosteroid inhalasi (?800?g budesonide/hari atau setara) serta beta-2 agonis sebagai terapi tambahan, tetapi masih mengalami serangan asma setidaknya dua kali setahun. Dan, hasil tiotropium itu dinilai menggembirakan.
David Halpin, Guru Besar pada The Royal Devon & Exeter Hospital, Inggris Raya, mengatakan, hampir satu dekade terakhir tidak banyak yang berubah dalam terapi dan pengobatan bagi pasien asma berat. Oleh karena itu, persetujuan menggunakan tiotropium bagi pasien asma adalah kemajuan. Kini, dokter punya pilihan baru membantu pasien menghindari serangan asma yang membuat tidak nyaman, menakutkan, dan mengancam jiwa.
Penggunaan tiotropium bromide bagi pasien asma itu didasarkan atas uji klinis fase III program UniTinA-asthma pada penderita asma yang masih mengalami serangan asma meski telah diobati. Uji klinis yang melibatkan 6.000 pasien itu untuk mengevaluasi keamanan dan efikasi pemberian tiotropium sebagai terapi tambahan.
Hasil uji klinis itu dipaparkan pada Kongres Internasional European Respiratory Society 2014 di Muenchen, Jerman, 6-9 September 2014 yang juga dihadiri Kompas. Hasil uji klinis itu menunjukkan, penggunaan tiotropium sebagai terapi tambahan bagi pasien asma meningkatkan kontrol asma hingga 68 persen.
Selain itu, penggunaan tiotropium dengan alat inhalasi khusus juga mengurangi risiko frekuensi serangan asma berat hingga 21 persen, mengurangi risiko keparahan kondisi asma pasien hingga 31 persen, dan mengurangi gejala asma.
Penggunaan tiotropium bromide menambah terapi penderita asma itu diterima di Uni Eropa per Agustus 2014. Di Amerika Serikat dan Indonesia juga beberapa negara lain, penggunaan tiotropium dengan inhalasi untuk indikasi asma masih menunggu persetujuan.
Cara kerja
Tiotropium bagi pasien asma diberikan dengan alat inhalasi. Obat itu membuka saluran napas selama setidaknya 24 jam. Selain tiotropium, belum ada antikolirgenik bronkodilator yang berdampak lama yang bisa dipakai mengobati asma.
Alat inhalasi khusus penghantar tiotropium beda dengan alat yang selama ini dipakai penderita asma. Alat itu menyemprotkan partikel halus tiotropium lebih lama dan panjang. Penggunaan tiap pagi melegakan saluran pernapasan hingga 24 jam sehingga memperkecil risiko serangan asma.
Menurut Halpin, tak ditemui efek samping berarti dari penggunaan tiotropium pasien asma.
Di Indonesia, sesuai Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi asma 4,5 persen, sedangkan prevalensi PPOK 3,7 persen. Prevalensi asma di perkotaan dan pedesaan tak jauh beda, sedangkan prevalensi PPOK di pedesaan lebih besar daripada perkotaan.
Kepala Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Pernapasan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Budhi Antariksa mengatakan, asma merupakan penyakit obstruktif yang disebabkan penyempitan pada saluran napas besar yang ditandai pembengkakan mukosa, kontraksi bronkus, dan muncul lendir. Asma bisa pulih.
Adapun PPOK terjadi tidak hanya pada saluran napas besar, tetapi sampai saluran napas kecil dan bersifat permanen. Pada PPOK, selain mukosa yang bengkak, jaringan ikat di bawahnya juga menebal. ”Keduanya sama-sama penyakit kronis dengan inflamasi,” ujar Budhi.
Akibat penebalan, elastisitas otot paru terganggu sehingga paru akan tampak besar. Proses kembang-kempisnya terganggu sehingga udara tidak masuk ke dalam tubuh dengan maksimal.
Penelitian terkini yang belum banyak diketahui pada asma, kata Budhi, ialah penyempitan yang bisa terjadi hingga saluran napas kecil. Dengan demikian, ada penyakit asma bersisian dengan PPOK, begitu juga PPOK yang terlihat seperti asma.
Obat yang biasa diberikan pada orang asma ialah steroid plus bronkodilator yang bekerja lama. Obat itu menaikkan ambang batas rangsang sehingga asma pada seseorang tak mudah terpicu.
Sementara yang diberikan kepada pasien PPOK biasanya adalah antimuskarinik kerja-lama yang bekerja pada otot polos pada saluran napas kecil.
Pengobatan tambahan dengan tiotropium itu jadi harapan baru penderita asma berat yang sering kambuh. Budhi memperkirakan, nantinya pengobatan dengan tiotropium itu tak hanya bagi pasien asma berat, tetapi juga pasien asma moderat dan ringan.
Oleh: Adhitya Ramadhan
Sumber: Kompas, 8 Oktober 2014