Asam Laktat yang Sering Dilaknat

- Editor

Jumat, 12 Januari 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ikut lomba lari 5.000 meter atau 5K, 10K, atau pun maraton di akhir pekan yang cerah adalah hal yang amat menggembirakan. Kita terlepas dari kungkungan kepenatan kerja sepanjang lima-enam hari sebelumnya. Namun, tak ada yang lebih menyiksa ketika kita tengah berlari, napas kita terlanjur “ngos-ngosan”, lalu muncul rasa jarem—mulai keram, kaku dan sakit—mencengkeram otot-otot kaki kita.

Umumnya kita tahu, biang keladi “penyiksaan” itu dikenal dengan asam laktat. Mengapa asam yang sering “dilaknat” itu bisa muncul meremas dan membetot otot-otot kita? Jawabannya singkatnya: karena sikap sembrono kita juga saat berolahraga. Lagi pula, asam laktat sesungguhnya bukanlah kutukan yang patut dilaknat.

Saat kita beraktivitas, seperti olahraga lari di akhir pekan, energi dipasok dengan memecah molekul-molekul zat makanan “bahan bakar” dan menyalurkan energi yang terlepas, antara lain untuk bergerak. Namun karena energi lepasan dari zat makanan itu masih terlalu besar untuk dipakai, tubuh membentuk molekul pengangkut, yakni adenosin trifosfat (ATP) yang “mencuil” energi dan mengantarkannya dalam ukuran yang bisa digunakan setiap sel kita.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Energi dari proses glikolisis dikenal sebagai energi anaerobik dan fosforilasi oksidatif sering disebut sebagai energi aerobik.

Peristiwa pelepasan energi sekaligus pembentukan ATP dalam tubuh itu, antara lain berlangsung dalam proses yang disebut glikolisis di sitoplasma (cairan pengisi sel) dan fosforilasi oksidatif dalam mitokondria, organel dalam sel yang dikenal sebagai pabrik energi.

Jika glikolisis berlangsung tanpa mensyaratkan kehadiran oksigen, fosforilasi oksidatif dapat terjadi jika oksigen tersedia. Oleh karena itu, energi dari proses glikolisis dikenal sebagai energi anaerobik dan fosforilasi oksidatif sering disebut sebagai energi aerobik.

KOMPAS/YULVIANUS HARJONO–Sejumlah pelari jarak jauh asal Kenya saling bersaing di kategori maraton terbuka Bank Jateng Borobudur Marathon 2017 di Magelang, Minggu (19/11/2017) lalu. Berlari dan mengejar uang lomba-lomba maraton di berbagai dunia menjadi cara ampuh warga Kenya, Afrika, untuk keluar dari jerat kemiskinan.

Energi dari proses anaerobik itu hanya dapat digunakan untuk kerja dalam tempo singkat—walau “daya ledaknya” tinggi—karena proses glikolisis memang hanya menghasilkan sedikit ATP. Glikolisis hanya mampu memanen sebanyak 5 persen dari keseluruhan energi yang terkandung dalam glukosa. Selain memproduksi sedikit molekul pembawa energi ATP, glikolisis juga menghasilkan molekul asam piruvat (senyawa karbon dengan empat hidrogen) dan sejumlah atom hidrogen yang kemudian diikat oleh koenzim menjadi koenzim-2H.

Koenzim inilah yang kemudian masuk dalam mitokondria untuk menghasilkan jauh lebih banyak molekul ATP penangkap energi yang belum diikat sebelumnya. Oksigen dalam “pemanenan” energi di mitokondria sendiri digunakan untuk menangkap hidrogen yang terikat dalam koenzim untuk menghasilkan air. Karena ATP yang dihasilkan lebih banyak, kerja dari energi aerobik ini bisa berlangsung tahan lama. Antara lain, sejauh pasokan oksigen yang memadai tersedia.

Energi anaerobik
Namun ketika seseorang melakukan aktivitas berat, katakanlah memaksa berlari lebih cepat dalam lomba 10K, orang itu sesungguhnya tengah menggenjot energi dari proses anaerobik. Serta merta, atom-atom hidrogen tumpah-ruah dalam tubuhnya. Sebaliknya, oksigen yang disuplai dari paru-paru tidak lagi mencukupi untuk mengikat atom-atom hidrogen itu.

Maka, tubuh memerintahkan asam piruvat untuk tidak melaksanakan kerja yang seharusnya. Dia dialihtugaskan untuk menggandeng hidrogen-hidrogen yang tak jua bersua dengan oksigen yang didambakannya. Penyatuan asam piruvat dengan hidrogen tersebutlah yang menghasilkan asam laktat, senyawa karbon dengan enam hidrogen.

Rasa jarem (menumpuknya asam laktat) adalah bentuk mekanisme tubuh dalam menyampaikan perintah ‘stop’ bagi kita.

Efeknyanya jika si asam laktat terus menumpuk, otot kita terasa sakit, mau keram. Sesungguhnya jika tak memperoleh perintah alih tugas, asam piruvat juga berfungsi untuk menghasilkan banyak ATP lewat proses yang dinamakan siklus Krebs. Alhasil, tambahan energi tak dapat dan rasa jarem yang kita peroleh.

“Rasa jarem (menumpuknya asam laktat) adalah bentuk mekanisme tubuh dalam menyampaikan perintah ‘stop’ bagi kita,” ujar pengajar ilmu olahraga Universitas Negeri Jakarta, Oktavianus Matakupan.

Namun jika kita ingat-ingat lagi, sebenarnya kehadiran si asam laktat itu juga akibat ulah kita. Pertama, kita buru-buru berlari terlalu cepat dalam lomba 10K misalnya. Sehingga, kita memaksa menggunakan energi anaerobik lebih banyak dari yang bisa kita kelola. Kedua, ternyata kita tidak terlalu bagus dalam menghirup cukup oksigen ke dalam peredaran darah.

Singkat kata, tumpukan asam laktat cepat hadir (baca: cepat mengalami rasa jarem, keram) tidak lain akibat kita tidak cukup rutin berolahraga, di samping berolahraga secara sembrono. “Penumpukan asam laktat jauh lebih cepat terjadi pada orang yang berolahraga secara ‘kagetan’ dan lambat pada mereka yang rutin, katakanlah 2-3 kali sepekan. Frekuensi latihan (olahraga) berdampak pada adaptasi tubuh terhadap terjadinya asam laktat,” ujar Oktavianus.

Terbiasa dan rutin
Oleh karena itu, tips pertama untuk lebih kebal terhadap asam laktat, ujar Oktavianus yang merupakan pelatih fisik kawakan nasional adalah meningkatkan kemampuan paru-paru mengambil dan mensuplai oksigen atau kapasitas optimal paru-paru (VO2 max). Salah satu bentuk yang paling gampang dilakukan adalah dengan jogging secara rutin.

Jika sudah terbiasa dan rutin, kata pelatih fisik senior Paulus Pesurney, tingkatkanlah kualitas joging itu untuk meningkatkan ambang rangsang asam laktat pada tubuh kita. Ambang rangsang (threshold) adalah titik di mana kita sampai pada rasa lelah, pada penumpukan asam laktat yang tak lagi mampu ditoleransi tubuh.

Semua usaha itu tak akan banyak berarti jika kita tidak bijaksana dalam berlomba.

Secara ilmiah, pengukuran ambang batas tersebut tentu membutuhkan metode pengujian yang ilmiah. Misalnya dengan stress test (berlari di treadmill dengan berbagi sensor yang dilekatkan pada titik-titik tertentu) atau dengan metode balke test (berlari 15 menit lalu dihitung jarak tempuhnya).

Secara sederhana, ambang batas itu setidaknya membaik jika detak jantung kita berada dalam zona latihan kebugaran usai berlari. Ukurannya adalah detak jantung (denyut nadi) yang berkisar 72-84 persen dari detak jantung maksimal. Walau tidak akurat, penghitungan kasar ini bisa digunakan: detak jantung maksimal adalah sebesar 220 dikurangi usia per menit.

Maka, jika kita hari ini bisa menempuh jarak jogging yang dua kali lebih jauh dibandingkan bulan lalu (tentu dengan frekuensi latihan yang rutin) dengan pengukuran denyut nadi yang sama-sama di kisaran 72-84 persen, dapat dikatakan tingkat kebugaran kita meningkat. Ambang batas asam laktat kita pun dipastikan menjadi lebih tinggi.

Hanya saja, semua usaha itu tak akan banyak berarti jika kita tidak bijaksana dalam berlomba. Saat kita mengikuti lomba lari jarak jauh di akhir pekan, adalah bijaksana jika menunda selama mungkin terbentuknya asam laktat. Artinya, gunakanlah energi aerobik selama mungkin (berlari santai) dan gunakan energi anaerobik (sprint, berlari cepat) di saat-saat terakhir yang menentukan.

Dalam maraton, tutur Paulus, penumpukan asam laktat bisa dihindari jika kita berlari dengan kecepatan yang 5-10 menit lebih lambat dibandingkan waktu terbaik kita saat mengikuti lomba 10K.

Turunkan kecepatan
Lalu, bagaimana jika dalam lomba kita keburu bernafsu menggenjot langkah dengan cepat. Ciri-ciri hal itu jelas saja, kita sudah mulai ngos-ngosan. Kalau upaya menghirup napas lebih kuat (menyedot oksigen sebanyak mungkin) dalam tempo lama gagal kita lakukan, turunkan saja kecepatan lari kita.

Pasalnya, kita punya kesempatan bernapas dengan lebih baik jika menurunkan kecepatan. Dan ketika suplai oksigen membaik, produksi energi lewat proses fosforilasi oksidatif bisa kembali berlangsung. Artinya, tidak lagi ada hidrogen-hidrogen yang tak menemukan oksigen calon pasangannya. Selain itu, kehadiran oksigen juga membantu melenyapkan asam laktat, mengubahnya kembali menjadi asam piruvat. Kalau terlanjur menumpuk? Kembali ingat pesan Oktavianus: berhentilah berlari.

KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE–Anggota komunitas Evolution Fit Camp melakukan pendinginan usai menjalani latihan interval intensitas tinggi di GOR Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (30/11/2016). Latihan interval intensitas tinggi dilakukan untuk menunjang kekuatan otot sehingga pencinta olahraga lari dapat bergerak lebih cepat, lebih kuat, dan daya tahan tubuh meningkat.

Aktivitas pelemasan atau cooling down pasca latihan olahraga seperti berjalan usai berlari, juga termasuk aktivitas menghadirkan oksigen dalam tubuh dengan lebih baik guna menetralkan asam laktat. Sehingga, tahap itu sangatlah dianjurkan untuk selalu dilakukan.

Asam laktat yang berlebihan memang menjengkelkan. Hanya saja dia tidak perlu sampai dibenci. Pasalnya, ekstra asam laktat yang gagal “diamankan” dan terlanjur terserap dalam darah masih bisa dimanfaatkan oleh mesin canggih tubuh kita. Dalam hati, zat tersebut diubah menjadi glukosa.

Kelebihan glukosa dalam darah (hingga tingkat tertentu) akan dikonversi menjadi molekul cadangan energi glikogen yang disimpan dalam darah dan sel (terutama sel otot rangka).–YUNAS SANTHANI AZIS

Sumber: Kompas, 12 Januari 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB