Bagi Arif Wibowo (50), gagal saat berusaha adalah proses menuju kesuksesan. Kegigihan itu membuat risetnya yang serba terbatas berbuah manis. Hasil temuannya pun beragam, mulai dari mesin pembuat telur asin, penggumpal getah karet, hingga bahan bakar alternatif.
Kunci keberhasilan riset yang dilakukan Arif adalah kemauan keras untuk belajar dan pantang menyerah. Saat melakukan riset bahan bakar alternatif, misalnya, dia menciptakan formula yang dinamakan Premium 93 setelah 67 kali percobaan.
Arif mengisahkan, dibutuhkan riset selama 4 tahun 2 bulan untuk memastikan Premium 93 aman digunakan kendaraan bermotor. Berbeda dengan premium produksi Pertamina, bahan bakar alternatif temuannya itu merupakan formulasi dari limbah organik, yakni sari gilingan jerami yang dicampur dengan tetes tebu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Bahan bakar ini masih terus dalam tahap penyempurnaan. Sudah diuji coba pada beberapa sepeda motor dan sejauh ini tak ada masalah,” ujar Arif di rumahnya, di Kelurahan Kaliwungu, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Demi mendapatkan komposisi formula yang tepat, dia ”mengorbankan” tujuh sepeda motor untuk dijadikan kelinci percobaan yang berakhir di bengkel. Uji coba yang berulang-ulang ini membuat upayanya sempat diragukan sejumlah pihak.
Apalagi, riset yang dilakukannya tidak ditunjang peralatan memadai. Ruang risetnya yang berukuran kurang dari 3 meter x 4 meter lebih menyerupai dapur dibandingkan dengan laboratorium. Sebagian gelas ukur dan bejana diletakkan berjajar di meja, tertutup debu.
Saat merumuskan formula bahan bakar itu, ruang riset Arif jarang tersentuh. Hal itu karena dia tidak mampu membeli alat-alat riset yang dibutuhkan. Dia terpaksa banyak beraktivitas di luar Jombang agar bisa meminjam peralatan riset milik koleganya. Keterbatasan ini tak membuatnya patah arang. Dia mencoba secara terus-menerus hingga produk buatannya aman diuji coba.
Jurnal
Sebagai sarjana lulusan fakultas pertanian, Arif memahami manfaat beragam tanaman pangan dan hortikultura. Dia juga rajin membaca jurnal ilmiah untuk memperkaya penelitiannya. Karena itu, dia menggunakan limbah jerami atau dedaunan kering sebagai bahan dasar formula.
”Saya membutuhkan limbah yang kadar selulosa atau karbohidratnya tinggi. Selain limbah jerami, bisa juga bonggol jagung atau rumput gajah,” ucap ayah tiga anak ini.
Setelah melalui proses penyulingan dan fermentasi, limbah organik itu menghasilkan bahan bakar yang memiliki oktan 88. Arif lalu membubuhkan kapur barus yang digerus ke dalam formula itu lewat proses kimiawi. Hasilnya, kadar oktan naik menjadi 93 persen untuk setiap liter.
Gagasan dan hasratnya untuk menciptakan bahan bakar alternatif bermula dari kegundahan terhadap kondisi bahan bakar minyak di Indonesia yang kerap langka dan harganya tidak menentu.
Jika layak uji, dia berharap bahan bakar ciptaannya bisa menjadi salah satu alternatif. Berbeda dengan biodiesel yang terbuat dari tanaman jarak, bahan baku yang digunakan Arif lebih mudah diperoleh.
Selain bahan bakar alternatif, Arif juga melakukan inovasi-inovasi lain. Dia merancang mesin pembuat telur asin, membuat penggumpal getah karet, dan memproduksi pupuk organik untuk padi dan palawija.
Menularkan
Tempat tinggal Arif bersebelahan dengan Lembaga Pengkajian Ilmiah Bina Bangsa yang dia dirikan bersama istrinya, Dini Sulistijarti, pada 2004. Di sela-sela waktu riset, Arif menularkan ilmu dan semangatnya kepada siswa SD, SMP, SMA, mahasiswa, hingga guru melalui lembaga tersebut.
Lembaga Bina Bangsa bergerak di bidang pengembangan profesi guru, pembinaan dan penelitian ilmiah, serta bimbingan belajar mandiri. Pintu lembaga kajian ini dia buka bagi siapa pun yang ingin belajar atau sekadar berbagi pengetahuan mengenai riset tertentu.
”Lembaga ini saya dirikan karena amanat orangtua. Mereka berpesan agar saya mengabdi dengan mengajari anak-anak. Makanya, saya senang jika bisa membantu orang lain,” katanya.
Oleh karena itulah Bina Bangsa tak berorientasi pada profit. Sebagai gambaran, dari sejumlah jasa pendidikan yang ditawarkan lembaganya, Arif hanya mematok biaya untuk anak yang mengikuti bimbingan belajar, yakni Rp 650.000 per enam bulan.
”Uang itu pun untuk gaji enam guru yang mengajar di bimbingan belajar,” katanya.
Sementara bagi siswa yang ingin mendapatkan pembinaan untuk penelitian ilmiah, dia tidak memungut biaya. ”Bahkan, untuk listrik pun gratis, yang penting demi kebaikan bersama,” ujarnya.
Di lembaga Bina Bangsa, aktivitas bimbingan belajar dilakukan pada salah satu bagian rumah yang disekat menjadi dua ruangan. Sementara untuk pendampingan kegiatan ilmiah, siswa dapat berkonsultasi dengan Arif di mana pun.
Keikhlasan dalam berbagi inilah yang membuat siswa betah berada di rumah Arif. Saat Kompas menyambangi tempat tinggalnya hingga menjelang malam, sejumlah siswa masih berkerumun di teras rumahnya. Ada siswa yang antusias berdiskusi mengenai mata pelajaran di sekolah, membahas karya ilmiah, dan ada pula yang sekadar berbagi pengetahuan.
Membimbing
Meskipun tidak berorientasi profit, Arif tidak pernah setengah hati dalam mengajar ataupun membimbing siswa. Lewat Bina Bangsa, Arif beberapa kali mengantarkan siswa meraih beragam penghargaan pada tingkat regional, nasional, hingga internasional.
Sebagian dari mereka menyabet Lomba Karya Ilmiah Remaja dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); menjadi delegasi Indonesia untuk perhelatan National Children’s Science Congress di Pune, India (2007); kongres SEAMEO Young Scientists di Penang, Malaysia (2008); dan Intel International Science and Engineering Fair di Amerika Serikat (2010).
Arif juga pernah menyabet penghargaan juara kedua dalam Lomba Kreativitas Ilmiah Guru yang diadakan LIPI pada 2008. ”Sebenarnya, saya tak mau ikut lomba, tetapi ditantang anak didik. Kata mereka, ’Bapak juga mesti ikut lomba, jangan hanya membimbing saja’,” kata Arif menirukan ucapan siswanya.
Selain aktif di Bina Bangsa, dia juga melayani jasa pendampingan pembuatan skripsi, tesis, ataupun disertasi. Dari jasa inilah dia menabung untuk membeli peralatan riset. Adapun yang menjadi penopang kebutuhan keluarga justru berasal dari usaha konfeksi kecil-kecilan yang dikelola sang istri.
Sebelum mendirikan Bina Bangsa, Arif bekerja sebagai guru Biologi pada beberapa SMA di Jombang hingga 2007. Kemudian, ia menjadi tenaga harian lepas penyuluh pertanian di Dinas Pertanian Jombang.
Namun, Arif memilih berhenti pada 2012 agar bisa fokus berbagi gagasan dan ilmu melalui Bina Bangsa. ”Saya rupanya tak terlalu cocok dengan birokrasi,” katanya.
—————————————————————————
Arif Wibowo
? Lahir: Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1964
? Pendidikan:
-SDN Keboan, Jombang
-SMP 10 November, Kudu, Jombang
-SMA PGRI 1, Jombang
-S-1 Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang, 1984
? Istri: Dini Sulistijarti
? Anak:
– Aulia Ardiani Widyasari
– Laily Immawati Ratnasari
– Moh Ardiansyah Widyanto
? Penghargaan: Juara II Lomba Kreativitas Ilmiah Guru tingkat nasional dari LIPI, 2008
Oleh: HARRY SUSILO