Antarktika 90 Juta Tahun Lalu Berupa Hutan Hujan Beriklim Sedang

- Editor

Selasa, 7 April 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pada 90 juta tahun lalu, benua Antarktika masih berupa hutan hujan beriklim sedang. Kini, Antarktika telah menjadi benua yang seluruh permukaannya tertutup es tebal dan beku.

KOMPAS/ALFRED-WEGENER-INSTITUT/J MCKAY/NATURE–Rekonstruksi hutan hujan beriklim sedang di Antarktika Barat pada 90 juta tahun lalu. Saat ini wilayah itu berupa lapisan es yang tebal dan membeku. Ilustrasi ini dibuat berdasarkan informasi paleoflora dan lingkungan dan dilengkapi data paleotopografi dan paleotektonik.

Pada 90 juta tahun lalu, saat dinosaurus masih menjejak di bumi, benua Antarktika masih berupa hutan hujan beriklim sedang. Hutan jenis ini memiliki tumbuhan dengan daun runjung (konifer) atau tumbuhan berdaun lebar. Kini, Antarktika merupakan benua yang seluruh permukaannya ditutupi es tebal dan beku.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Temuan fosil akar, serbuk sari, dan spora dari wilayah Antarktika Barat menunjukkan daerah itu di masa lalu pernah memiliki hutan hujan beriklim sedang, jenis hutan di negara empat musim. Wilayah yang saat ini memiliki hutan seperti di Antarktika Barat ketika itu, antara lain, pesisir barat Amerika Utara, Selandia Baru, selatan Norwegia, selatan Jepang, dan Turki.

Fosil itu berasal dari sekitar 90 juta tahun lalu. Saat itu situasi dunia benar-benar berbeda dengan bumi saat ini.

Selama periode Cretaceous tengah, 145 juta hingga 65 juta tahun lalu, dinosaurus masih berkeliaran di permukaan bumi. Saat itu tinggi permukaan laut lebih tinggi 170 meter ketimbang kondisi laut sekarang. Sementara suhu permukaan laut di daerah tropis sama temperaturnya dengan saat ini, yaitu sekitar 35 derajat celsius.

Iklim hangat
Iklim yang cukup hangat itu memungkinkan hutan hujan iklim sedang tumbuh di Antarktika Barat. Sisa-sisa hujan hutan beriklim sedang itu ditemukan di bawah lapisan es dalam inti sedimen di dasar laut dekat Gletser Pulau Pine, Antarktika Barat.

Fosil itu ditemukan oleh tim peneliti internasional yang dipimpin Johann P Klagess dari Pusat Penelitian Kutub dan Kelautan Helmholtz, Institut Alfred Wegener (AWI), Bremerhaven, Jerman. Setidaknya ada lebih dari 30 ilmuwan yang terlibat dalam studi tersebut dan banyak ahli lain anggota Tim Ekspedisi Sains PS104.

Saat tim melihat inti sedimen, mereka yakin menemukan sesuatu yang tidak biasa di Antarktika. ”Warna lapisan inti sedimen itu berbeda dengan lapisan yang ada di atasnya,” kata Klagess seperti dikutip Livescience, Kamis (2/4/2020).

Dari analisis inti sedimen lebih lanjut di laboratorium menggunakan gambar digital yang dihasilkan pemindai tomografi terkomputasi (CT), tim menemukan adanya jaringan akar yang padat di seluruh lapisan tanah. Pada tanah juga ditemukan serbuk sari kuno, spora, dan sisa-sisa tanaman berbunga dari periode geologi Cretaceous.

KOMPAS/NATURE–Lokasi Antarktika Barat saat ini. Garis putih putus-putus menunjukkan posisi Antarktika Barat dengan Selandia Selatan yang telah direkonstruksi sebelum mulai berpisah pada 90 juta tahun lalu.

Dengan menganalisis serbuk sari dan spora, anggota peneliti lain, ahli paleoekologi di Universitas Northumbria, Inggris, Ulrich Salzmann mampu merekonstruksi vegetasi dan iklim di Antarktika Barat yang berumur 90 juta tahun. ”Banyaknya sisa tanaman menunjukkan pesisir Antarktika Barat di masa itu adalah hutan rawa beriklim sedang, mirip dengan tipe hutan yang ditemukan di Selandia Baru sekarang,” kata Salzmann.

Inti sedimen Antarktika Barat di masa Cretaceous itu juga menunjukkan wilayah barat Antarktika itu dulunya memiliki iklim sedang dengan suhu udara rata-rata tahunan 12 derajat celsius. Saat musim panas, suhunya menjadi lebih hangat sekitar 19 derajat celsius. Sementara suhu air di sungai dan rawa di sana 20 derajat celsius.

Sebagai perbandingan, mengutip data Divisi Antarktika Australia, Departemen Pertanian, Air dan Lingkungan Australia menunjukkan suhu udara rata-rata tahunan Antarktika saat ini minus 10 derajat untuk wilayah pesisir dan minus 60 derajat di titik tertinggi di tengah benua Antarktika.

Suhu di pesisir Antarktika itu bisa mencapai 10 derajat celsius saat musim panas dan minus 40 derajat celsius ketika musim dingin tiba. Adapun di dataran tinggi Antarktika, suhu saat musim panas mencapai minus 30 derajat celsius dan minus 80 derajat celsius ketika musim dingin.

Dengan perbandingan itu, maka suhu di Antarktika Barat pada 90 juta tahun yang lalu relatif hangat mengingat wilayah kutub selatan itu memiliki hari tanpa matahari alias malam yang panjang selama empat bulan. Itu berarti sepertiga tahun wilayah tersebut tidak mendapatkan sinar matahari sama sekali yang memberi kehidupan.

Suhu yang hangat di Antarktika barat itu diperoleh karena suhu di bumi saat itu memang lebih hangat. Kondisi itu salah satunya dipicu oleh tingginya kandungan karbon dioksida di atmosfer.

”Sebelum penelitian kami, asumsi yang digunakan adalah konsentrasi karbon dioksida global di periode Cretaceous sebesar 1.000 bagian per sejuta (ppm). Namun, dalam percobaan berbasis model yang kami buat, untuk memperoleh suhu rata-rata di Antarktika saat itu, butuh konsentrasi karbon dioksida di atmosfer sebesar 1.120-1680 ppm,” tambah peneliti lain Gerrit Lohmann, seorang pemodel iklim di AWI.

Temuan yang dipublikasikan di jurnal Nature, Rabu (1/4/2020), ini menunjukkan tingginya kandungan gas rumah kaca di atmosfer, seperti karbon dioksida, dapat menyebabkan suhu bumi meroket. Itulah yang membuat wilayah Antarktika Barat yang kini membeku sepanjang tahun dengan lapisan gletser yang tebal, dulunya adalah hutan hujan beriklim sedang yang hangat.

Studi ini juga menjadi bukti lain tentang pentingnya lapisan es di kutub. Ketebalan lapisan gletser di kutub mampu memberi efek pendinginan pada temperatur bumi. Karena itu, mencairnya sejumlah gletser yang menjadi pertanda makin hangatnya suhu bumi perlu diwaspadai dan diantisipasi.

Oleh M ZAID WAHYUDI

Editor: EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 6 April 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB