Anoa Kian Sulit Ditemukan

- Editor

Senin, 5 Maret 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Anoa, satwa dilindungi endemik Sulawesi, kian sulit ditemukan di habitat aslinya di Sulawesi Utara. Di kawasan Cagar Alam Tangkoko, Kota Bitung, jejak kaki binatang tersebut terakhir kali terlihat pada 2015. Pemerintah pun berupaya mengembangbiakkan satwa langka itu di pusat penangkaran anoa di Manado.

Dalam daftar merah lembaga konservasi dunia, International Union for Conservation of Nature, anoa tercantum berstatus terancam punah (endangered). Ada dua spesies anoa di Sulawesi, yaitu anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan anoa pegunungan (Bubalus quarlesi).

Ciri fisik yang membedakan kedua spesies tersebut adalah ukuran tubuh, bentuk tanduk, tekstur bulu, dan warna kulit. Anoa dataran rendah memiliki ukuran tubuh lebih besar daripada anoa pegunungan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Manajer Anoa Breeding Center (ABC) pada Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) di Manado, Adi Suryawan, mengatakan, timnya terakhir kali menemukan anoa di hutan Pinogu, Gorontalo, pada 2013. Anoa tersebut merupakan tangkapan warga setempat menggunakan jerat binatang yang dipasang di hutan. Populasi anoa juga sulit diperkirakan secara persis.

”Berdasarkan hasil suvei yang dilakukan Wildlife Conservation Society (WCS), diperkirakan populasi anoa di Sulawesi sekitar 2.500 ekor. Itu pun survei pada tahun 1990. Sampai sekarang belum ada lagi penghitungan yang akurat,” tutur Adi di Manado, Sulut, Jumat.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) betina berusia tujuh tahun, Ana, berkeliling kandang bersama anaknya yang berusia empat bulan, Anara, di Anoa Breeding Centre Manado, Sulawesi Utara, Jumat (2/3). Pusat konservasi anoa yang berada dibawah Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado itu berdiri sejak 2011 dan berhasil mengembangbiakkan anoa dari tujuh menjadi sembilan ekor.

Di Cagar Alam Tangkoko, salah satu habitat alami anoa, jejak mamalia itu terakhir kali terlihat pada 2015. Kepala Resor Cagar Alam Tangkoko Jenly Gawina menyebutkan, jejak yang terdeteksi itu menunjukkan anoa masih ada di cagar alam tersebut. Untuk memastikan itu, pihaknya bersama WCS akan mengadakan survei tahun ini.

Jauh sebelumnya, pada akhir tahun 1970-an, anoa masih relatif mudah ditemukan. Nestor Mirontoning (56), petugas di Cagar Alam Tangkoko, mengatakan pernah melihat langsung anoa di pantai daerah Rumesung, Kecamatan Bitung Timur.

”Saat itu, anoa muncul dalam satu kawanan sekitar 10 ekor. Setelah itu, anoa tidak pernah kelihatan lagi sebelum ditemukan jejak pada 2015,” ujar Nestor.

Penangkaran
Sejak tahun 2011, BP2LHK mendirikan pusat penangkaran anoa di Manado. Saat ini terdapat sembilan anoa yang terdiri dari 7 dewasa dan 2 anak. Anoa dewasa merupakan sitaan dari masyarakat atau penyerahan sukarela oleh warga. Adapun kedua anoa anak merupakan hasil pengembangbiakan di penangkaran.

”ABC Manado masih menjadi satu-satunya pusat konservasi anoa di luar habitat aslinya yang ada di Sulawesi. Tujuan utamanya untuk meningkatkan populasi anoa dan mengembalikan anoa ke habitat alaminya,” kata Adi.

Di habitat alaminya, anoa lebih sering memakan pucuk tanaman dan sedikit memakan rumput. Anoa juga memakan buah-buahan, sayuran, dan ubi.

Anoa yang ditangkarkan di ABC Manado berada dalam pengawasan penuh petugas. Selain petugas jaga kandang, di ABC Manado juga ada dokter hewan yang memantau langsung kesehatan satwa liar tersebut.

Ancaman utama terhadap populasi anoa di Sulut adalah perburuan ilegal. Anoa diburu dan dagingnya diperjualbelikan di pasar-pasar tradisional. Namun, akhir-akhir ini daging anoa tidak lagi diperjualbelikan secara bebas di pasar tradisional seperti sebelumnya. Daging anoa diduga masih diperjualbelikan secara sembunyi-sembunyi.

”Selain perburuan liar, ancaman lain adalah habitat anoa yang semakin sempit akibat terdesak oleh permukiman penduduk dan perubahan lahan,” kata aktivis WCS Manado, Herman Teguh.–ARIS PRASETYO/VIDELIS JEMALI

Sumber: Kompas, 3 Maret 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa
Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap
Di Balik Lembar Jawaban: Ketika Psikotes Menentukan Jalan — Antara Harapan, Risiko, dan Tanggung Jawab
Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan
Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara
Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya
Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Berita ini 275 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 1 November 2025 - 13:01 WIB

Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa

Kamis, 16 Oktober 2025 - 10:46 WIB

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Kamis, 2 Oktober 2025 - 16:30 WIB

Di Balik Lembar Jawaban: Ketika Psikotes Menentukan Jalan — Antara Harapan, Risiko, dan Tanggung Jawab

Rabu, 1 Oktober 2025 - 19:43 WIB

Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan

Minggu, 27 Juli 2025 - 21:58 WIB

Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tarian Terakhir Merpati Hutan

Sabtu, 18 Okt 2025 - 13:23 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Hutan yang Menolak Mati

Sabtu, 18 Okt 2025 - 12:10 WIB

etika

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Kamis, 16 Okt 2025 - 10:46 WIB