Ancam Keluar dari Perjanjian Paris, Menko Kemaritiman Dinilai Langkahi Presiden

- Editor

Sabtu, 30 Maret 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Organisasi masyarakat sipil mengecam pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan bahwa Indonesia akan keluar dari Perjanjian Paris jika Uni Eropa tidak menghentikan diskriminasi minyak kelapa sawit di kawasannya. Pernyataan Luhut dinilai serampangan, melangkahi Presiden Joko Widodo, dan melampaui tugas, pokok, dan fungsinya sebagai Menko Kemaritiman.

Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Yuyun Harmono di Jakarta, Jumat (29/3/2019), menilai pernyataan Luhut serampangan karena tidak dilihat dalam konteks yang mendalam. Keterlibatan Indonesia dalam Perjanjian Paris merupakan komitmen Presiden pada Negoisasi Iklim ke-21 dari Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan iklim (UNFCCC) di Paris akhir 2015.

KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI–Pemandangan dilihat dari atas kawasan Taman Nasional Tessso Nilo di Riau yang rusak parah akibat perambahan menjadi kebun kelapa sawit. TNTN adalah salah satu kantong gajah Sumatera.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Waktu itu Presiden sudah berkomitmen bahwa Indonesia akan berkontribusi 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan batuan internasional dalam mengurangi emisi. Komitmen itu perlu dicatat dan tidak bisa dibantah oleh menterinya sendiri. Apa yang disampaikan Menko Kemaritiman kontradiktif karena menjadikan Perjanjian Paris sebagai alat tawar-menawar demi kepentingan korporasi sawit,” kata Yuyun dalam jumpa pers.

Pernyataan Menteri Luhut, yang dikutip beberapa media daring itu, disampaikan di Jakarta, Rabu (27/3/2019), dalam seminar pengembangan industri kelapa sawit menuju kemandirian. Itu merupakan respons lanjutan atas kebijakan Uni Eropa yang mengeluarkan biofuel minyak kelapa sawit (CPO) dari daftar sumber energi terbarukan.

Yuyun melanjutkan, ancaman dari Luhut juga telah melangkahi DPR karena memberikan pernyataan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu. DPR sudah menyepakati upaya Indonesia dalam penurunan emisi global dan penanggulangan perubahan iklim. Ratifikasi itu sudah dituangkan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim.

Menurut Yuyun, ancaman keluar dari Perjanjian Paris justru akan merugikan Indonesia karena dampak perubahan iklim sudah diakui oleh dunia internasional. Sebagai negara kepulauan, Indonesia termasuk negara yang paling terdampak oleh kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global.

KOMPAS/YOLA SASTRA–Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Yuyun Harmono menyampaikan pernyataan sikap terhadap perkataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan atas kemungkinan Indonesia keluar dari Perjanjian Paris, Jakarta, Jumat (29/3/2019). Opsi itu muncul karena kebijakan Uni Eropa dinilai diskriminatif terhadap minyak kelapa sawit.

Dampak perubahan iklim itu, kata Yuyun, sudah dialami beberapa wilayah Indonesia. Di sepanjang pesisir utara Jawa, misalnya, terjadi abrasi dan kenaikan air laut yang luar biasa. Beberapa desa bahkan hilang dan penduduknya harus dipindahkan dari sana. Begitu pula dengan pulau-pulau kecil yang terancam tenggelam dan masyarakat kehilangan mata pencaharian akibat perubahan iklim.

“Sebagai Menko Kemaritiman, semestinya tugas dia adalah memastikan bahwa rakyat tidak terdampak terhadap perubahan iklim, terutama yang tinggal di pesisir karena itu tanggung jawab di bidang kemaritiman. Bukan kemudian membela membabi buta kepentingan korporasi sawit yang justru salah satu pemicu perubahan iklim (akibat deforestasi),” ujar Yuyun.

Koordinator Kampanye Edo Rahman menambahkan, atas pernyataan itu, Presiden mestinya memberikan teguran keras kepada Luhut karena telah melampaui kewenangannya sebagai Menko Kemaritiman. Kejadian ini juga menunjukkan lemahnya koordinasi dan komunikasi antara anggota Kabinet Kerja dan Presiden.

Dihubungi terpisah, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya menilai ancaman dari Menteri Luhut merupakan keputusan reaktif. Luhut dinilai tidak dapat melihat jernih kepentingan besar dan urgensi penyelamatan hutan dan iklim bumi karena Luhut memiliki berbagai bisnis di sektor sawit dan tambang.

Menurut Tata, Indonesia adalah negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Itu terlihat dari berbagai bencana banjir yang terjadi hampir di seluruh penjuru negeri.

“Sebagai pejabat publik, Menteri Luhut harusnya bekerja mentransformasi tata kelola energi Indonesia, memperbaiki lingkungan kita yang sudah terlalu penuh dengan debu dan polusi dari banyak PLTU batu bara yang mengancam kesehatan warga dan bukan mengutamakan kepentingan bisnisnya,” kata Tata.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Annisa Rahmawati juga menyayangkan pernyataan Menteri Luhut yang dinilai tidak berdasar. Komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris tidak hanya untuk kepentingan global, tetapi juga Nasional karena Indonesia termasuk negara yang paling terdampak dengan perubahan iklim.

“Kita harus berpikir untuk negara kita dan anak cucu kita,” kata Annisa.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Abetnego Tarigan ketika dikonfirmasi mengatakan, sampai sekarang tidak ada pembahasan untuk terkait rencana Indonesia keluar dari Perjanjian Paris. KSP masih fokus melaksanakan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Presiden terkait tata kelola perhutanan, pertanahan, dan perkebunan kelapa sawit.

“Mungkin itu satu pikiran yang muncul dari beliau (Luhut) saja, tetapi yang pasti secara formal tidak ada pembicaraan ke arah sana, kecuali kami tidak dilibatkan,” kata Abetnego.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman juga mengatakan, belum ada pembicaraan terkait rencana tersebut. Lagi proses untuk keluar dari Perjanjian Paris tidak mudah.

“Ada UU Ratifikasi Perjanjian Paris, artinya (jika hendak keluar) harus atas persetujuan DPR. Prosesnya tidak sederhana. Bahkan, Amerika Serikat yang nyata-nyata sudah menyatakan keluar tidak bisa langsung pergi karena ada proses yang harus dilalui,” kata Ruandha ketika dikonfirmasi.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Ruandha Agung Sugardiman Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Foto diambil Rabu (24/10/2018) di Jakarta.

Tata kelola
Selain mengancam akan keluar dari Perjanjian Paris, Luhut sebelumnya juga mendukung Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution untuk menggugat Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) karena kebijakannya yang dinilai diskriminatif (Kompas, 21/3/2019).

Kebijakan Uni Eropa, kata Luhut, akan merugikan 20 juta warga Indonesia yang memperoleh penghasilan secara langsung dan tidak langsung dari industri kelapa sawit akan terdampak. Industri kelapa sawit berkontribusi hingga 3,5 persen terhadap produk domestik bruto Indonesia. Luhut menambahkan, selain menggugat ke WTO, pemerintah juga mempertimbangkan untuk memboikot produk-produk Uni Eropa.

Yuyun mengatakan, pemerintah salah paham dalam memaknai kebijakan Uni Eropa. Rencana kebijakan itu tidak sepenuhnya melarang ekspor CPO ke kawasan Uni Eropa. Produk CPO tetap bisa masuk, tetapi tidak dihitung sebagai kontribusi dalam mengurangi emisi (tidak dapat insentif) dan tidak mendapatkan subsidi. Sementara itu, CPO untuk produk kosmetik dan makanan yang pasarnya mencapai 49 persen tidak dilarang sama sekali.

Menurut Yuyun, kebijakan yang diambil Uni Eropa semestinya menjadi pemicu Indonesia dalam memperbaiki tata kelola perkebunan sawit karena salah satu alasan adanya kebijakan itu karena perkebunan kelapa sawit skala besar dinilai tidak berkelanjutan. Yuyun menilai, implementasi dan progres perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit tidak tampak.

KOMPAS/YOLA SASTRA–Yuyun Harmono

Program moratorium perkebunan sawit yang berlaku tiga tahun sejak September 2018 tidak berjalan baik. Bahkan, dua bulan setelah kebijakan itu disahkan, pemerintah masih memberikan izin konversi hutan menjadi perkebunan sawit di Sulawesi Tengah untuk salah satu perusahaan.

Selain itu, kebijakan pemerintah meninjau kembali perizinan perkebunan sawit bermasalah juga belum menunjukkan progres. Ketimpangan penguasaan lahan masih terjadi sebab sekitar 40 persen perkebunan sawit hanya dikuasai oleh 15 perusahaan.

“Pemerintah hanya berpihak kepada perusahaan besar, tidak dengan petani-petani kecil. Ketika harga CPO turun pemerintah memberikan insentif kepada perusahaan, sedangkan ketika harga tandan buah segar petani jatuh, pemerintah tidak memberikan insentif apapun,” ujar Yuyun.

Evaluasi izin
Annisa menambahkan, pemerintah tidak transparan terhadap evaluasi izin perusahaan perkebunan sawit. Itu terlihat dari keengganan pemerintah dalam membuka informasi izin hak guna usaha perkebunan sawit, meskipun sudah diputuskan terbuka untuk publik oleh Mahkamah Agung. Ketidaktransparanan itu dinilai akan terus melanggengkan praktik koruptif perizinan.

“Transparansi menjadi kunci dalam kebijakan moratorium dan evaluasi perizinan perkebunan sawit. Kalau pemerintah transparan, publik bisa melihat perusahaan mana yang membakar lahan dan merugikan negara,” ujar Annisa.

Abetnego mengatakan, pemerintah terus mendorong pelaksanaan moratorium dan evaluasi izin perkebunan sawit. Dia mengakui, memang banyak tantangan dalam melaksanakan kebijakan yang pertama kali diadakan selama sejarah Indonesia. Pelaksanaan kebijakan ini tidak hanya berada di pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah. Namun, demikian Abetnego optimistis dengan upaya ini karena beberapa daerah sudah mulai menjalankannya.

“Misalnya, di Aceh Utara dan beberapa provinsi di Sulawesi. Beberapa bupati sudah bergerak ke arah sana,” ujarnya.–YOLA SASTRA

Editor HAMZIRWAN HAM

Sumber: Kompas, 29 Maret 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB