Anak “Stunting” Berisiko Menderita Penyakit Kardiovaskular dan Diabetes

- Editor

Rabu, 12 Desember 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Anak berusia 6-24 bulan yang mengalami stunting atau tubuh pendek akibat kurang gizi kronis berisiko mengalami gangguan kardiometabolik seperti penyakit jantung dan diabetes melitus, saat dewasa. Untuk itu, masalah gizi tersebut perlu diantisipasi lebih dini, bahkan sebelum perempuan merencanakan kehamilan.

Christina Olly Lada memaparkan hal itu saat mempertahankan disertasinya berjudul ”Faktor Predisposisi Intrauterin, Ekstrauterin, Stres Oksidatif dan Adaptasi Metabolik, serta Risiko Kardiometabolik pada Anak Stunting Usia 6-24 Bulan” dalam sidang terbuka promosi doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Jakarta, Selasa (11/12/2018).

Riset yang dilakukan Christina menjadi yang pertama dilakukan di Indonesia. Christina dikukuhkan sebagai doktor ke-39 FKUI tahun 2018 dari Program Studi Doktor Ilmu Gizi dengan indeks prestasi kumulatif 3,85.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

ERIKA KURNIA UNTUK KOMPAS–Christina Olly Lada (tengah) berfoto bersama para penguji dan pemimpin sidang terbuka promosi doktor ilmu gizi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Selasa (11/12/2018). Christina mempertahankan disertasi mengenai stunting pada anak usia 6-24 bulan.

Studi itu dilakukan dengan membandingkan kondisi metabolik hingga asupan gizi anak usia 6-24 bulan yang stunting dan tidak stunting di Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Disertasi itu juga berdasarkan data dari hasil studi kohor yang dilaksanakan Pusat Penelitian Pengembangan Gizi Kementerian Kesehatan. Stunting ialah gangguan pertumbuhan di usia 1.000 hari pertama yang memicu tubuh anak lebih pendek dari ukuran anak normal.

Penelitian itu menemukan, anak dengan stunting berusia di bawah dua tahun cenderung mengalami gangguan metabolisme energi dan lipid. Gangguan itu diukur berdasarkan beberapa indikator, antara lain kadar trigliserida dan kolesterol LDL atau kolesterol jahat. Dua indikator itu lebih tinggi pada anak yang stunting daripada yang tidak.

Peneliti juga mencari tahu status gizi ibu dari anak yang diteliti selama masa kehamilan (intrauterin) dan asupan gizi anak setelah lahir (ekstrauterin). Asupan protein, vitamin, dan mineral saat kehamilan lebih rendah pada ibu yang memiliki anak stunting. Asupan nutrisi itu kurang pada anak stunting. Padahal, nutrisi itu penting bagi pertumbuhan janin, mencegah stunting dan risiko kardiometabolik pada anak.

Intervensi dini
”Intervensi pencegahan stunting dapat dilakukan ketika perempuan masih remaja agar tinggi badan lebih dari 150 sentimeter. Studi itu juga menunjukkan ada relasi proporsi tubuh ibu dengan perkembangan janin. Lalu, perbaikan gizi perlu diberikan pada perempuan yang status gizinya kurang saat menikah,” kata Christina.

Perbaikan dan pemantauan status gizi perempuan juga perlu dilakukan selama masa kehamilan, lalu dilanjutkan saat anak lahir dan berusia 24 bulan. Setelah mendapat air susu ibu (ASI) eksklusif, anak perlu diberi asupan gizi cukup saat anak dikenalkan makanan pendamping ASI mulai usia enam bulan.

ERIKA KURNIA UNTUK KOMPAS–Sidang terbuka promosi doktor ilmu gizi atas nama Christina Olly Lada (berdiri paling depan, kanan) di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Selasa (11/12/2018).

Dekan FKUI sekaligus Ketua Sidang Promosi Doktor, Ari Fahrial Syam, mengatakan bahwa penelitian ini mampu secara mendalam melihat perbedaan kondisi biomolekuler pada anak stunting dan tidak. “Ini mendukung bukti bahwa stunting bisa meningkatkan risiko obesitas hingga penyakit tidak menular,” ujarnya.

sumber: Riset Kesehatan Dasar 2013

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, prevalensi anak stunting di bawah lima tahun (balita) sebesar 30,8 persen atau setara dengan total sekitar 7 juta dari 22,4 juta balita di Indonesia. Hampir 30 persen dari balita stunting di antaranya adalah anak di bawah dua tahun.

Sementara itu, angka kejadian penyakit kardiovaskular, seperti hipertensi, dan diabetes melitus di Indonesia terus meningkat. Menurut data riskesdas, dalam waktu enam tahun, penderita hipertensi dan diabetes masing-masing meningkat hingga 5,9 persen dan 1 persen pada 2013. (ERIKA KURNIA)–EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 12 Desember 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia
Perkembangan Hidup, Teknologi dan Agama
Jembatan antara Kecerdasan Buatan dan Kebijaksanaan Manusia dalam Al-Qur’an
AI di Mata Korporasi, Akademisi, dan Pemerintah
Ancaman AI untuk Peradaban Manusia
Tingkatkan Produktivitas dengan Kecerdasan Artifisial
Menilik Pengaruh Teknologi Kecerdasan Buatan dalam Pendidikan
Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 16 Februari 2025 - 09:06 WIB

Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:57 WIB

Perkembangan Hidup, Teknologi dan Agama

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:52 WIB

Jembatan antara Kecerdasan Buatan dan Kebijaksanaan Manusia dalam Al-Qur’an

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:48 WIB

AI di Mata Korporasi, Akademisi, dan Pemerintah

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:44 WIB

Ancaman AI untuk Peradaban Manusia

Berita Terbaru

Berita

Perkembangan Hidup, Teknologi dan Agama

Minggu, 16 Feb 2025 - 08:57 WIB

Berita

AI di Mata Korporasi, Akademisi, dan Pemerintah

Minggu, 16 Feb 2025 - 08:48 WIB

Berita

Ancaman AI untuk Peradaban Manusia

Minggu, 16 Feb 2025 - 08:44 WIB