“Konsepsi modern tentang privasi secara historis bersifat sementara dan dibuat ketinggalan oleh teknologi”, pandangan David Brin dalam bukunya “The Transparent Society”, seperti dikutip John Rennie, “Scientific American” (9/08).
Tampaknya keliru, atau sebuah kenaifan, bila menganggap dengan pecahnya kasus WikiLeaks maka yang guncang adalah sistem kerahasiaan negara. Dalam kasus WikiLeaks, yang terungkap adalah rahasia negara. Namun, di luar itu, yang bisa guncang adalah rahasia dalam level individu atau rahasia pribadi. Hal-hal menyangkut pribadi seseorang, yang disebut sebagai privasi pun, sebenarnya telah guncang di era kemajuan teknologi informasi (TI) dan kemudian TI-komunikasi (TIK).
Tak diragukan lagi, apa yang telah dilakukan oleh Julian Assange dan situs internet (website) revolusioner WikiLeaks telah memaksa pemerintah di dunia bertanya kembali tentang apa sebenarnya yang disebut sebagai ”rahasia”. (Time, 13/12)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terkait dengan merebaknya kasus ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, kasus WikiLeaks menjadi pelajaran penting, yaitu agar dokumen rahasia dijaga ketat. (Kompas, 20/12)
Pertanyaannya adalah pada era kemajuan TIK sekarang ini, apakah yang disebut sebagai rahasia tadi benar-benar masih bisa dijaga?
Sebagaimana pesan baru yang pasti telah disampaikan kepada para diplomat untuk lebih saksama dalam berkomunikasi dan mengutarakan pendapat, satu hal yang juga dituntut adalah perubahan perilaku. Ini karena moda komunikasi yang ada sekarang ini memungkinkan komunikasi yang diandaikan bersifat pribadi pun bisa segera tersebar ke seluruh dunia dalam sekejap mata. Sekadar menyebut contoh, apa yang dialami Prita Mulyasari beberapa waktu lalu memperlihatkan hal itu, di mana berbagi keluhan melalui e-mail kepada teman bisa merebak ke khalayak luas.
Dalam lingkup pribadi, perkembangan jejaring sosial memperlihatkan fenomena lain. Dalam situs seperti Facebook, ada banyak hal atau informasi yang dalam konteks konvensional dianggap bersifat pribadi justru disiarluaskan.
Itu boleh jadi disebut sebagai pembocoran privasi secara sukarela.
Sudah diramalkan
Jauh hari sebelum merebaknya pembocoran informasi rahasia oleh WikiLeaks, para ahli informasi telah meramalkan bahwa di era kemajuan pesat TIK akan sulit bagi siapa pun untuk mengamankan informasi.
Dalam edisi khusus tentang masa depan privasi, majalah Scientific American (9/08) telah mengangkat pertanyaan, ”Dapatkan kita mengamankan informasi di dunia yang berteknologi tinggi dan tak aman ini?”
Dalam pengantar edisi itu Pemimpin Redaksi John Rennie menyebutkan, privasi sulit dipertahankan bagi warga masyarakat karena semakin banyak kota memasang kamera untuk memantau aktivitas warga masyarakat.
Dengan realita baru bahwa rahasia dan privasi sulit diamankan, sosok seperti David Brin menyarankan bahwa upaya yang lebih penting dilakukan adalah mencegah penyalahgunaan privasi atau informasi rahasia. Pemerintah dalam hal ini juga diminta sama-sama bersifat terbuka, sebagaimana warga masyarakat yang semakin terbuka, seperti dalam Facebook atau MySpace.
Sebagaimana telah disinggung dalam ”Laporan Iptek” tentang peran dan tanggung jawab baru Chief Informationa Officer (Kompas, 11/10) yang dihadapi pemerintah—dan sebenarnya juga masyarakat—dewasa ini adalah sosok revolusioner militan seperti Julian Assange, yang mengklaim tidak ingin melihat hal-hal yang korup.
Sosok Assange sendiri sebenarnya bisa disebut sebagai pengikut Rev Robert Browne, pimpinan Anglikan yang tahun 1582 pernah mengucapkan kalimat bahwa ”Kita semua harus saling mengawasi satu sama lain”. Ia mengucapkan hal itu karena—seperti dikutip Scientific American—menurut pandangannya, jiwa manusia pada dasarnya adalah lemah dan rawan terhadap godaan berbuat jahat sehingga harus ditopang oleh komunitas mata-mata dan informan.
Pandangan yang amat berpengaruh besar di kalangan kaum puritan Inggris Baru itu, dalam era kemajuan TIK, mendapat dukungan besar dari para pembuat alat-alat pemantau, pengintai, penyadap, yang teknologinya semakin canggih.
Dalam konteks lain tapi dalam semangat senada, majalah The Economist (19/12) mengangkat isu ”Kemajuan dan Kerugiannya” (Progress and Its Perils). Dalam hal pemanfaatan TIK, manusia telah mendapat berbagai manfaat. Kebutuhannya akan informasi mendapat dukungan penuh dari teknologi mutakhir yang dilengkapi mesin pencari dan alat sunting canggih.
Namun, seiring dengan itu, ia juga terikat— dan dengan itu terperangkap—dalam jaringan mahaluas yang bisa membelenggu dan menelikung. Dalam kemudahan itu, virus atau aksi hacker dan cracker dapat menyelinap masuk dalam rahasia kita yang amat dalam.
Meminjam ulasan The Economist tentang gagasan kemajuan, bisa juga dalam kaitan privasi ini kita merujuk pada karya Imre Madach, penulis drama Hongaria, yang berjudul Tragedi Manusia (1861). Dalam buku yang disebut sebagai padanan ”Surga yang Hilang” untuk zaman industri ini dilukiskan, antara lain, Adam setelah turun dari Taman Firdaus turun ke Bumi dan mencoba menegakkan kejayaan. Di Mesir, hal itu ia capai di piramid. Tapi segera ia sadari bahwa itu dibangun di atas kesengsaraan para budak.
Kalau ia tiba di dunia pada abad ke-21, ia juga akan melihat kejayaan di pemanfaatan TIK. Namun, gebyar itu akan dia lihat juga disertai dengan terpaparnya rahasia, dan boleh jadi juga aib, para pengguna fanatiknya. Bukankah itu juga ”Tragedi Manusia”? [NINOK LEKSONO]
Sumber: Kompas, Rabu, 22 Desember 2010 | 02:43 WIB