Di tengah masih berlangsungnya letusan Gunung Merapi, juga di tengah lawatan Presiden Barack Obama ke Indonesia, satu hal terbayang di depan mata adalah AS mau berbagi sumber daya di bidang vulkanologi. Dari pihak AS, bantuan yang bisa diberikan tak sebatas pada dana, tetapi juga berbagi data dan pengetahuan tentang ilmu kegunungapian (vulkanologi), juga geologi, dan meteorologi (untuk merespons isu pemanasan global/perubahan iklim), serta mitigasi dan manajemen bencana alam.
Komitmen kerja sama di bidang vulkanologi dalam kerangka Persetujuan Kemitraan Komprehensif Indonesia-AS ini, Senin (8/11), juga disampaikan oleh Duta Besar RI untuk AS Dino Patti Djalal menjelang kedatangan Presiden Obama di Jakarta. Menurut Dino, Badan Geologi AS yang dikenal sebagai US Geological Survey (USGS) akan mengirim sejumlah peneliti ke Indonesia (Antara, 8/11). Mereka, tambah Dino, akan bekerja sama dengan peneliti Tanah Air untuk meneliti fenomena gunung api di Indonesia. Dipilihnya tema vulkanologi sebagai wadah kerja sama kedua negara tak terlepas dari letusan Gunung Merapi sejak 26 Oktober silam.
Di AS, yang di seluruh wilayah kontinen dan teritorinya terdapat 169 gunung berapi, pemantauan dan pemberian peringatan dini semakin menjadi perhatian. Didukung oleh ketersediaan dana dan iptek, USGS meluncurkan Sistem Peringatan Dini Nasional untuk Gunung Berapi (National Volcano Early Warning System/NVEWS). (Situs: volcanoes.usgs.gov, 21/1/10)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
NVEWS didirikan untuk memastikan bahwa gunung berapi di AS terpantau sesuai dengan tingkat ancaman yang ada. Rencana NVEWS sendiri dikembangkan oleh Volcano Hazard Program yang ada di USGS dan mitra terkait di Consortium of US Volcano Observatories.
Bila dari 129 gunung berapi di Indonesia sekitar 20 senantiasa beraktivitas di atas normal dan 4-5 di antaranya meletus, di AS separuh dari 169 gunung berapi muda yang ada juga berbahaya karena cara gunung itu meletus dan masyarakat yang ada di kawasan letusannya.
NVEWS didirikan karena sekarang ini masih banyak dari gunung berapi yang dinilai belum dipasangi sistem pemantauan yang memadai, misalnya dengan seismometer, global positioning system (GPS) kontinu, sementara lainnya meski sudah dipantau tetapi dengan alat-alat yang sudah ketinggalan zaman.
Dengan Rencana NVEWS, gunung berapi berbahaya bisa dipantau dengan baik jauh sebelum dimulainya aktivitas vulkanik sehingga para ilmuwan bisa memperkirakan secara akurat kapan gunung bakal meletus dan seberapa tingkat bahayanya. Juga bisa dibuat perencanaan lebih baik bagi masyarakat yang tinggal di sekitar gunung untuk mengambil langkah yang tepat dan pada waktunya. Adanya prosedur semacam itu yang didukung oleh ketelitian sarana pemantauan diyakini bisa membantu mengurangi risiko.
Tidak berhenti di situ, Rencana NVEWS juga dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan komunitas vulkanologi Amerika melalui sejumlah langkah, dalam hal ini: meningkatkan kemitraan dengan pemerintah lokal dan petugas keadaan darurat; memberi kesempatan kepada universitas dan organisasi lain untuk riset kerja sama guna memajukan ilmu kegunungapian, teknologi pemantauan, dan strategi mitigasi (untuk memperkecil dampak bencana); penambahan staf dan otomasi guna memperbaiki monitoring 24/7 (24 jam dan tujuh hari seminggu) dan sistem komputer untuk mendistribusikan data kepada para ilmuwan, badan-badan terkait, dan masyarakat, serta menggabungkan sistem yang digunakan untuk memantau gunung berapi Amerika yang ada sekarang ini.
Lawatan Presiden Obama kali ini ingin dijadikan sebagai momentum untuk meluncurkan kemitraan komprehensif di antara kedua negara. Konsep kemitraan ini dicanangkan saat Menteri Luar Negeri Hillary Clinton berkunjung ke Indonesia, Februari tahun lalu. Berikutnya, diluncurkan Komisi Bersama RI-AS untuk menjalankan Kemitraan Komprehensif oleh menlu kedua negara di Washington DC, September silam.
Sebagai langkah selanjutnya, muncul Rencana Aksi Kemitraan AS-Indonesia yang mencakup kerja sama di berbagai bidang, seperti keamanan, pemerintahan, pendidikan, energi, perdagangan dan investasi, serta lingkungan hidup.
Sebagai salah satu wujud komitmen AS, Utusan Presiden AS bidang Sains Bruce Alberts datang ke Indonesia bulan Mei silam, dan selama di sini dia mengunjungi beberapa fasilitas ilmiah di Indonesia, seperti Puspiptek Serpong dan Cibinong Science Center LIPI.
Di luar vulkanologi
Selain vulkanologi, dari AS kita juga dapat menimba ilmu-ilmu kebumian lain, seperti geologi, seismologi, dan juga geofisika dan meteorologi. Ilmu-ilmu tersebut dewasa ini kita rasakan tidak saja semakin penting, tapi—seiring dengan terjadinya rentetan bencana alam akhir-akhir ini—juga mendesak untuk kita kuasai.
Di luar ilmu-ilmu kebumian, bidang praktis yang terkait dengan iptek dan industri adalah pengembangan tradisi inovasi. Presiden SBY telah membentuk Komite Inovasi Nasional, tapi Indonesia masih memerlukan bagaimana konsep-konsep inovasi dapat tumbuh dan berkembang secara subur.
AS menjadi salah satu contoh ideal karena di negeri ini banyak perusahaan yang bersemangat dan berpengalaman dalam inovasi, seperti Apple dan Google. Inovasi, proses nilai tambah, dan kewirausahaan tak disangsikan merupakan satu kunci penting yang harus dikuasai Indonesia guna meraih kemajuan. [NINOK LEKSONO]
Sumber: Kompas, Rabu, 10 November 2010 | 03:57 WIB