Di tengah rendah-nya kualitas pekerja di Tanah Air, ternyata masih banyak penduduk berkualitas dengan pendidikan tinggi yang tidak bekerja. Tidak kurang dari dua juta lulusan perguruan tinggi dengan aneka jenjang pendidikan diperkirakan menjadi penganggur (Kompas, 27/9/2010).
Gelombang penganggur akademik itu merupakan potensi yang hilang (potential loss) bagi produktivitas bangsa. Besarnya diperkirakan Rp 24 triliun per tahun. Perkiraan berdasarkan besarnya upah minimum Rp 1 juta per bulan yang bisa diperoleh jika mereka bekerja. Bahkan, potensi yang hilang itu bertambah besar jika dikaitkan dengan biaya yang dikeluarkan pemerintah menyelenggarakan pendidikan tinggi.
Atas dasar itu, Pemerintah perlu bekerja keras meraih kembali potensi yang hilang demi meningkatkan produktivitas bangsa, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pendapatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebatas wacana
Namun, mengembalikan potensi yang hilang bukanlah persoalan mudah di tengah kesempatan kerja yang makin terbatas. Untuk itu diperlukan upaya penciptaan kerja secara mandiri, seperti yang diungkapkan Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal. Caranya dengan memperbaiki kurikulum melalui pelajaran kewirausahaan.
Namun, perubahan kurikulum pendidikan tinggi bukanlah hal baru. Mantan Menteri Pendidikan Wardiman Djojonegoro pernah mengingatkan pentingnya mengubah paradigma pendidikan dari orientasi jumlah (supply minded) ke permintaan pasar kerja (demand minded) (Kompas.com, 17/12/2009).
Namun, perubahan kurikulum masih sebatas wacana. Selain belum jelas arahnya, perubahan kurikulum diperkirakan tidak serta-merta dapat menyiapkan lulusan perguruan tinggi untuk berwirausaha. Ini karena ada kendala iklim berusaha. Maka perbaikan kurikulum untuk menyiapkan lulusan siap berwirausaha akan sia-sia jika tidak diikuti perbaikan iklim berusaha.
Sebenarnya, pemikiran untuk menyinergikan kurikulum dan dunia usaha telah diungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam debat calon presiden tahun 2009, dengan pemerintah sebagai fasilitator (Kompas, 26/6/2009).
Celakanya, pemerintah hingga kini belum berhasil menciptakan iklim berusaha yang kondusif. Manifestasinya adalah masih sulitnya memperoleh bantuan permodalan, kurangnya infrastruktur dalam menjalankan usaha, dan sulitnya pemasaran.
Pemerintah pusat bahkan belum berhasil meyakinkan pemerintah daerah untuk tidak membuat peraturan daerah (perda) berlebihan untuk meningkatkan pendapatan daerah. Pembatasan perlu mengingat perda yang terlalu banyak akan membebani usaha/perusahaan.
Semakin banyak perda belum menjamin pendapatan daerah kian meningkat, sebab semakin banyak perda semakin menurunkan kegiatan usaha. Dampaknya adalah berkurangnya pendapatan. Secara faktual, perda yang berlebihan tidak sejalan dengan semangat globalisasi untuk mengurangi aturan guna meningkatkan kegiatan ekonomi global.
Pengaturan investasi
Selain mengubah kurikulum dan memperbaiki iklim berusaha, pemerintah juga perlu mengatur investasi terkait dengan kesempatan kerja. Pengaturan investasi dirasa mendesak mengingat tidak semua lulusan perguruan tinggi mau dan mampu menciptakan pekerjaan sendiri.
Celakanya, investasi kegiatan ekonomi masih berorientasi pada jenis pekerjaan blue collar yang tidak memerlukan pekerja berpendidikan tinggi. Fakta ini antara lain terungkap dari kecilnya angka pengangguran pada pendidikan yang lebih rendah. Hasil Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2008 mencatat bahwa tingkat pengangguran yang tidak sekolah hanya 1,85 persen, tidak/belum tamat SD 3,27 persen, dan tamat SD 5,40 persen. Tingkat pengangguran berijazah diploma 11,21 persen dan universitas 12,59 persen.
Kesempatan kerja jenis blue collar di masa datang diperkirakan terbuka lebar seiring meningkatnya investasi perusahaan transnasional. Ini karena perusahaan transnasional biasanya hanya mengelola manajemen (inner circle), sedangkan kegiatan produksi (outer circle) disubkontrakkan ke perusahaan kecil dan industri rumahan. Industri mobil Toyota misalnya, kegiatan produksinya tersebar di 36.000 usaha berskala kecil di seluruh dunia (Global Labour Institute, 1999).
Pengelola manajemen maupun tenaga ahli—pekerjaan white collar—yang berlatar belakang pendididkan tinggi, dipercayakan kepada pekerja negara asal investor. Dengan demikian, dikotomi pekerja blue collar dan white collar yang merepresentasikan pekerjaan lokal dan nonlokal ini perlu segera diatasi, antara lain dengan menambah aturan dalam persyaratan penanaman modal di di Tanah Air.
Maka, berbagai upaya diperlukan untuk secepatnya keluar dari persoalan penganggur akademik. Pemerintah wajib merealisasikan wacana menjadi langkah konkret sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat ke level yang lebih tinggi.
Razali Ritonga Kepala BPS Provinsi Sulawesi Tengah
Sumber: Kompas, Senin, 4 Oktober 2010 | 09:07 WIB