Universitas Kebangsaan Guangxi di Nanning, Tiongkok, ingin memperkuat kerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, termasuk di daerah. Bahkan, selama sembilan tahun terakhir, universitas yang memiliki Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia itu sudah bekerja sama dengan sejumlah universitas di Indonesia.
Beberapa universitas yang pernah bekerja sama dengan Guangxi antara lain Universitas Ahmad Dahlan (Yogyakarta), Universitas Tanjungpura (Pontianak), dan Universitas Andalas (Padang).
”Kami ingin meningkatkan kerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi, termasuk di Indonesia,” jelas He Zhengping, Wakil Rektor Universitas Kebangsaan Guangxi, saat menerima delegasi wartawan dari lima negara Asia Tenggara, termasuk wartawan Kompas, Tri Agung Kristanto, di kampusnya, Senin (1/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat ini, ada sembilan mahasiswa asal Indonesia yang belajar di perguruan tinggi itu. ”Namun, belum ada mahasiswa dari Universitas Kebangsaan Guangxi yang dikirim ke Universitas Tanjungpura,” ujar Wei Zhongfulin, dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kebangsaan Guangxi.
He Zhengping, yang didampingi Zhong Haiqing, Sekretaris Partai Komunis Tiongkok (PKT), di Universitas Kebangsaan Guangxi, menambahkan, negara di Asia Tenggara mempunyai nilai penting bagi Tiongkok, terutama bagi Daerah Otonomi Khusus Guangxi Zhuang. Selain lokasi Guangxi, dengan ibu kota Nanning, berdekatan dengan Asia Tenggara, kawasan ini pun merupakan masa depan dunia. Keragaman etnis di Asia Tenggara juga sejalan dengan misi Universitas Kebangsaan Guangxi, yang menghargai keberagaman untuk menguatkan satu Tiongkok.
Zhong Haiqing menambahkan, saat ini, dari sekitar 27.000 mahasiswa Universitas Kebangsaan Guangxi, sekitar 900 orang adalah mahasiswa dari luar negeri, termasuk dari kawasan Asia Tenggara.
Tri Amalia Lestari, dosen Universitas Ahmad Dahlan yang tengah diperbantukan mengajar di Universitas Kebangsaan Guangxi, juga mengakui pentingnya penguatan kerja sama dengan perguruan tinggi di Indonesia. Saat ini, program pendidikan internasional, misalnya, hanya memiliki enam pengajar Bahasa Indonesia.
Sumber: Kompas, 2 Desember 2014