Ramadhan memasuki hari ke-15 dan Bulan pun telah purnama. Saat menyongsong Ramadhan, kita berbincang tentang jarak yang jauh. Tak usah ke planet atau bintang yang jauh. Meninjau tiga benda langit yang terkait Ramadhan pun (Bulan, Bumi, Matahari) kita telah berhadapan dengan jarak ratusan ribu bahkan jutaan kilometer. Jarak Bumi-Bulan sekitar 385.000 kilometer, Bumi-Matahari 150 juta kilometer.
Sebagai kontras, kali ini akan diwacanakan topik lain yang lingkup aktivitasnya jauh berlawanan lingkup astronomis, yakni jagat yang lebih renik dibandingkan mikroelektronika yang berdimensi perjuta meter.
Satu kebetulan bahwa di bulan Ramadhan di Jakarta juga berlangsung pameran R&D Ritech Expo 2010 yang menampilkan aktivitas dan hasil riset berbagai lembaga penelitian kementerian maupun nonkementerian. Tema yang diangkat adalah ”Inovasi Teknologi Menuju Peningkatan Daya Saing Industri Berbasis Nanoteknologi”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tentang inovasi dan daya saing beberapa waktu terakhir ini telah banyak kita dengar. Teknologi nano atau nanoteknologi? Kalaupun sudah cukup banyak perbincangan mengenai hal ini, representasi tentang teknologi nano masih tetap belum komunikatif. Maklum, yang diperbincangkan adalah soal-soal terkait dengan ukuran yang amat kecil, dalam level molekuler, yakni sepermiliar meter. Itu sebabnya ia disebut dengan teknologi nano.
Di pameran, pengunjung mudah melihat model roket Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dan model peluru hasil rekayasa Badan Litbang Kementerian Pertahanan.
Padahal, saat mulai dikenal di lembaga penelitian nasional sejak tahun 2000-an, sudah belasan karya inovasi berbasis teknologi nano yang dihasilkan. Dari Pusat Teknologi Bahan Industri Batan, misalnya, muncul riset nanopartikel magnet untuk pengolahan limbah cair. Komposit magnet-karbon aktif dilihat sebagai solusi efektif dalam mengatasi permasalahan industri dalam pengolahan limbah cair tanpa menambahkan limbah kimia lain ke lingkungan. Selain itu, komposit magnet-karbon aktif, seperti dijelaskan Batan, juga bermanfaat untuk mendapatkan logam berharga dari larutan kompleksnya.
Sayangnya, karya-karya itu kurang mendapat sambutan di dalam negeri. Meski situasi belum kondusif, sudah muncul pula berita menggembirakan. Alat penghancur partikel nano yang didesain, dirancang bangun, dan direkayasa oleh peneliti dari Pusat Penelitian Fisika Terapan LIPI, Nurul Taufiqu Rochman, tahun 2006 telah dibeli Universitas Kebangsaan Malaysia untuk dikembangkan ke skala industri tahun lalu (Kompas, 23/8).
Dari tahun 1980-an
Pada tahun 1980-an Eric Drexler mulai memopulerkan istilah nanoteknologi. Yang ia maksud teknologi nano adalah membuat mesin berukuran molekul, yakni beberapa nanometer lebarnya, dari motor, lengan robot, bahkan komputer utuh. Ukuran benda-benda ini jauh lebih kecil dibandingkan sebuah sel.
Drexler pernah dituduh mengembangkan fiksi ilmiah, tetapi dalam perkembangan berikut, nanoteknologi secara bertahap diterima sebagai sebuah konsep. (Uraian lebih lengkap tentang riwayat nanoteknologi, antara lain, bisa dibaca di situs CRN)
Di Indonesia, salah seorang intelektual yang awas terhadap potensi nanoteknologi adalah mendiang Prof Iskandar Alisjahbana, Guru Besar Teknologi Elektro ITB yang juga dikenal sebagai penggagas pemanfaatan satelit Palapa. Ia telah menulis tentang nanoteknologi dalam buku kumpulan tulisan yang diterbitkan Kompas pada pertengahan dekade 1980-an. Tahap berikut, pakar teknologi ITB, Filino Harahap, ikut terjun dalam penelitian nanoteknologi. Tahun 2008 ia menerjemahkan karya Prof Gang Chen Nanoscale Energy Transport and Conversion dan salah seorang mahasiswanya bersama Gang Chen bermaksud membuktikan bahwa Hukum Stefan-Boltzman tentang radiasi benda hitam tidak berlaku pada level nano.
Dalam tulisan Prof Iskandar saat itu sudah diuraikan, nanoteknologi akan merevolusi manufakturing, terciptanya pabrik ramah lingkungan yang mampu bekerja terus-menerus menghasilkan berbagai bahan kebutuhan manusia, mulai dari energi, obat-obatan, hingga mesin-mesin.
Sebagai satu tren teknologi yang diramalkan akan mewarnai masa depan, buku Extreme Future (James Canton, 2006) mengulas cukup banyak isu nanoteknologi, yang juga dilukiskan sebagai ilmu desain, ilmu merekayasa molekul. Membuat tabung nanokarbon, yang akan muncul adalah tabung yang 100 kali lebih kuat daripada baja, tetapi amat tipis dan lentur. Tabung dengan ukuran permiliar meter ini juga disebut punya daya hantar listrik (atau konduktivitas) tinggi.
Setidaknya, hingga pertengahan dekade ini sudah miliaran dollar AS yang ditanamkan untuk pengembangan nanoteknologi. Dalam 10 tahun ke depan, menurut Extreme Future, dari teknologi nano ini diharapkan muncul beberapa produk yang cukup menonjol, dari bahan nano (nanomaterial) yang pintar dan bisa menyusun dirinya sendiri, agen nano untuk pembersih lingkungan, dan robot nano.
Menunggangi zaman
Penyelenggaraan pameran teknologi nano, juga seminar internasional tentang teknologi ini, November tahun silam, merupakan upaya menyosialisasikan teknologi ini ke tengah masyarakat Indonesia. Dengan itu pula tecermin tekad bangsa Indonesia untuk menunggangi kemajuan zaman.
Memang, seperti dilaporkan saat Konferensi Masyarakat Nano Indonesia, November tahun lalu, dewasa ini pemanfaatan teknologi nano masih memperlihatkan ketergantungan pada impor yang tinggi. Dari industri yang disurvei, banyak di antaranya yang menggunakan teknologi impor dan bahan impor.
Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata saat itu mengakui, itu wajar karena Indonesia baru di tahap awal dalam teknologi nano. Itu sebabnya, Indonesia perlu menggalakkan kerja sama internasional untuk mempercepat kemajuan penerapan teknologi nano. Kalau tidak, boleh jadi dampak besar seperti yang dikemukakan Senator Ron Wyden di CRN bahwa nanoteknologi akan mengubah Amerika seperti halnya, atau bahkan lebih besar lagi, dibandingkan revolusi komputer, akan melewati Indonesia.
Nanoteknologi, sebagaimana teknologi masa depan lain, seperti superkonduktivitas suhu tinggi atau fusi dingin, layak mendapat perhatian lebih besar tidak saja dari pemerintah, tetapi juga dari kalangan bisnis selain tentu saja dari kalangan peneliti.
Sains nano, yang beroperasi pada dimensi yang kontras dengan astronomi, menawarkan tantangan, sekaligus keindahan, yang sama mengundang kekaguman. [NINOK LEKSONO]
Sumber: Kompas, Rabu, 25 Agustus 2010 | 02:57 WIB