Ahli Filologi Semakin Langka

- Editor

Selasa, 16 September 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Perpusnas Simpan 10.334 Naskah Kuno
Perpustakaan Nasional Indonesia menyimpan 10.334 naskah kuno berumur antara 100 tahun dan 400 tahun yang ditulis menggunakan bermacam aksara dan bahasa. Sayangnya, ahli filologi atau filolog yang berminat mempelajarinya justru semakin langka.

Pustakawan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Sanwani Sanusi mengungkapkan, sebanyak 10.334 naskah kuno koleksi Perpusnas ditulis menggunakan berbagai aksara, seperti Arab, Jawi, Jawa, Pegon, Buddha, Sunda Kuno, Kaganga, Batak, dan Bugis. Naskah-naskah itu memakai bermacam-macam bahasa, antara lain Melayu, Jawa, Sunda, Bugis, Batak, dan Lampung. Kandungan informasinya mulai dari Al Quran, hukum syariat dan adat, sejarah, hikayat, obat-obatan, teologi, tasawuf, linguistik, syair, hingga sains.

”Sekitar 70 persen naskah kuno koleksi Perpusnas ditulis menggunakan media kertas, 20 persen lainnya menggunakan daun lontar, dan sisanya ditulis di atas kulit kayu, kulit binatang, labu hutan, dan juga tulang
binatang,” ucap Sanwani di sela-sela pembacaan dramatik dan musikalisasi naskah kuno I La Galigo di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta, Sabtu (13/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Rata-rata umur naskah kuno itu 100 tahun-400 tahun. Sebagian naskah tersebut telah rapuh sehingga isi tulisannya harus disalin ulang.

”Agar tahan lama dan dapat dilestarikan, naskah-naskah tersebut harus kami simpan dalam ruangan berpendingin anti api dengan suhu rata-rata 16 derajat celsius selama 24 jam nonstop,” paparnya.

Selain menyimpannya, Perpusnas juga membuat salinan naskah dalam bentuk mikrofilm sebagai dokumentasi cadangan. Bahkan, beberapa naskah yang telah rapuh harus disalin ulang agar isinya tidak hilang.

Menurut Sanwani, beberapa naskah kuno yang ditulis dengan bahasa Kaganga kini tinggal kenangan. Sampai sekarang naskah tersebut tidak bisa dibaca karena belum ada filolog yang mampu menerjemahkan dan mempelajarinya.

Jumlah filolog terbatas
Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Layanan Informasi Perpusnas Welmin Sunyi Ariningsih mengungkapkan, kini Perpusnas hanya memiliki 9 filolog, terdiri dari 1 filolog Arab, 3 filolog Jawa, 1 filolog Sunda, 2 filolog melayu, 1 filolog Belanda, dan 1 filolog Jawa Kuno dan Bali. Dari jumlah tersebut, filolog yang benar-benar lulusan jurusan
filologi hanya 2 orang. Filolog adalah orang yang ahli dalam hal bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat dalam bahan-bahan tertulis.

”Sekarang filolog semakin langka. Tahun lalu, kami hanya mendapat tiga filolog saat membuka perekrutan. Idealnya semua bahasa daerah harus ada filolognya karena masing-masing memiliki potensi kearifan lokal naskah kuno. Beberapa perguruan tinggi memang masih memiliki fakultas sastra, tetapi peminatnya sangat sedikit,” tutur Welmin.

Beberapa filolog yang kini semakin sulit ditemui, antara lain, adalah filolog Batak, Bugis, serta Jawa Kuno, khususnya yang paham bahasa Sanskerta. Keahlian seperti ini sangat dibutuhkan untuk menguak dan melestarikan isi naskah-naskah kuno yang jumlahnya sangat berlimpah.

Tak dimungkiri, masih banyak pula naskah kuno Indonesia yang hilang dibawa ke luar negeri. Perpusnas kini sedang mengirim 7 orang ke Belanda untuk melacak keberadaan beberapa naskah kuno dan berupaya mendapatkan duplikat atau salinannya.

Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Arief Rahman mengatakan, sebagian naskah kuno Indonesia sekarang telah diakui dunia karena memiliki nilai-nilai universal yang luar biasa. Naskah-naskah tersebut mendapat anugerah Memory of The World untuk wilayah Asia Pasifik.

”Tiga naskah kuno Indonesia yang mendapat anugerah Memory of The World adalah Negara Kertagama, I La Galigo, dan Babad Diponegoro. Cerita-cerita di dalam naskah-naskah ini membuat kagum dunia. UNESCO sendiri telah memperhatikan koleksi naskah-naskah kuno kita. Sekarang tinggal kita mau atau tidak merawatnya,” ujar Arief. (ABK)

Sumber: Kompas, 15 September 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB