SEBUAH gedung tua berdiri kokoh di samping Gereja Katedral Ende. Bagian belakang gedung itu terdapat tulisan ”Percetakan Ofset Arnoldus Ende”. Percetakan yang dibangun tahun 1926 itu milik misionaris Serikat Sabda Allah dengan misi utama mencerdaskan masyarakat Flores khususnya dan Bali-Nusa Tenggara umumnya.
Koordinator Percetakan Arnoldus Br Cherubim Wua SVD, di Ende, akhir Februari, mengatakan, nama Arnoldus diambil dari pendiri Serikat Sabda Allah (SVD), yakni Beato Arnoldus Yanssen. Saat misionaris SVD tiba di Flores 1695 dan memulai misi kemanusiaan di pulau itu, hampir semua warga buta huruf, miskin, dan terbelakang. ”Kebutuhan sangat mendesak. Misionaris segera mengajarkan penduduk Flores untuk menulis, membaca, dan menghitung. Meski fokus utama bidang rohani, pengembangan manusia Flores harus utuh,” kata Wua.
Dengan persetujuan pimpinan SVD di Roma, Pastor Cornelissen SVD menyurati pimpinan SVD di Steyl, Jerman, untuk mendatangkan mesin cetak. Saat itu didatangkan pula dua pelajar pribumi yang telah dididik di bidang percetakan di Larantuka, 200 kilometer dari Ende, yakni Philipus Moron dan Ignasius Suban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Maka, 21 Juni 1926, terbitlah halaman pertama Percetakan Arnoldus berjudul Sende aus. Artinya, ’utuslah’. Tahun 1929 dikirim dari Jerman mesin cetak bermerek Planeta Rapid dengan bobot 1300 kilogram. Lalu, mesin cetak terus berdatangan dari Jerman dan terakhir, 2010, sebuah mesin cetak Roland Favorit bantuan dari Gramedia, Jakarta, mendarat di Ende.
Setelah Sende aus, terbit ribuan buku dengan judul beraneka ragam: buku sejarah, pendidikan, pertanian, kebudayaan, agama, sosiologi, dan antropologi. Buku pendidikan yang terbit tahun 1927 adalah Tangga Pembacaan oleh Cornelissen SVD untuk siswa sekolah dasar. Buku ini paling populer di SD Katolik Flores waktu itu.
Buku rohani paling populer digunakan di hampir seluruh Nusantara sampai hari ini berjudul Jubilate. Ada pula majalah anak-anak Kunang-kunang dan mingguan Dian.
Dicetak pula buku-buku ilmiah hasil penelitian dan pengalaman lapangan para misionaris tentang penduduk lokal, seperti Padzi dan Demon oleh Paul Arndt SVD. Buku ini menjadi referensi para akademisi, peneliti, dan mahasiswa dalam studi tentang Flores.
”Tahun 1969 dicetak Kamus Bahasa Latin-Indonesia oleh Dr Th Verhoeven sebagai karya yang mengagumkan dan keluar sebagai juara I dalam lomba grafika yang digelar Akademi Grafika Indonesia di Jakarta, 1972. Sejak itu, Arnoldus mendapat kepercayaan pemerintah mencetak ribuan eksemplar buku Injil sesuai program Pembangunan Lima Tahun oleh Soeharto,” ujar Wua.
Semua karya Arnoldus membawa perubahan besar di kalangan masyarakat Flores khususnya dan Nusa Tenggara umumnya. Bernadus Ariana (67), warga Kecamatan Wulanggitang, Flores Timur, mengatakan, sebelum surat kabar lain hadir di Flores, bahkan NTT, Arnoldus sudah menghadirkan majalah Dian tahun 1960-an. Majalah ini sangat populer di NTT karena mengulas masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi, pembangunan, pertanian, dan kebudayaan, termasuk sangat vokal mengkritik kebijakan pemerintah. Melalui majalah Dian, sebagian elite politik beradu argumentasi, belajar bernalar, dan berpikir kritis. Khusus untuk anak-anak, hadir majalah Kunang-kunang tahun 1970-an. Majalah ini pun sangat digemari anak prasekolah dan sekolah dasar saat itu. Dian kini diganti dengan harian Flores Pos.
Di tengah persaingan yang makin kompetitif, pihak manajemen Arnoldus pun harus melakukan sejumlah terobosan agar tetap eksis. Selain buku, dicetak pula hal lain sesuai permintaan. Saat ini, percetakan ini juga mempekerjakan sekitar 60 orang dengan upah sesuai upah minimum setempat, yakni Rp 1,3 juta per bulan. Upah ini belum mencukupi kebutuhan hidup yang terus melonjak.
Frans Duli (65), pensiunan guru SD di Adonara, Flores Timur, menilai, kehadiran percetakan ini membuka cara pandang, gaya hidup, dan pola pikir masyarakat Flores. Mereka tidak lagi menjadi masyarakat tertutup, tetapi semakin cerdas dan terampil menganalisis dan memahami persoalan yang dihadapi setiap hari. (KORNELIS KEWA AMA)
Sumber: Kompas, 7 April 2014