SURUTNYA air laut di Pantai Karangantu, Banten, pekan lalu, menimbulkan berbagai dugaan yang membingungkan masyarakat, mulai dari tanda tsunami, aktifnya gelombang Kelvin yang biasanya membangkitkan air pasang alias rob, adanya arus menunjam, sampai penjelasan sebagai kejadian ekstrem akibat gaya pasang surut karena gaya tarik benda langit, seperti bulan dan matahari.
Mengacu pada laporan Kajian Tapak Proyek PLTN Banten oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL) tahun 2008, fenomena air surut ini merupakan konsekuensi gaya tarik bulan menjelang terjadinya pasang perbani (neap tide), yang bersamaan dengan kondisi tunggang air rata-rata perbani (mean low water neap) paling rendah sepanjang tahun. Puncaknya jatuh pada 4 Februari 2014.
Hasil prediksi karakter pasang surut jangka panjang di perairan Tanjung Emas (Semarang) dan Tanjung Priok (Jakarta), Labuhan dan Cikoneng (Selat Sunda) memperlihatkan karakter yang cocok dengan gejala yang terjadi di Pantai Karangantu Banten tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kurva hasil prediksi tahunan surut terendah jangka panjang tahun 2008-2028 di perairan Banten memperlihatkan, air terendah terjadi pada 2014, yaitu 95,4 cm dan pada 2018 93,3 cm.
Prediksi pasang surut harian pada Februari 2014 juga memperlihatkan karakter bahwa air terendah akan terjadi sekitar pukul 03.00 dan 16.00 pada 4 Februari 2014, yakni 3 hari menjelang pasang perbani pada 7 Februari 2014.
Gaya tarik bulan-matahari
Menurut fenomena oseanografi, hal ini merupakan konsekuensi lazim yang terjadi terutama akibat kombinasi gaya tarik bulan dan matahari sehingga mengakibatkan air surut terendah. Setelah 8 Februari 2014, muka air laut akan kembali normal.
Prediksi karakter pasang surut di beberapa tempat lain di pantai utara Jawa, seperti Tanjung Priok, Jakarta, memperlihatkan karakter mirip, hanya air terendah di kawasan pelabuhan ini dicapai pada 4 Februari 2014 mulai pukul 19.30. Di Tanjung Emas, Semarang, dicapai pada 5 Februari 2014 pada pukul 04.00.
Perbedaan waktu kejadian surut terendah pada kedua tempat ini lazim disebut dengan waktu perambatan pasang surut. Hasil prediksi lain, di Cikoneng dan Labuhan (Selat Sunda) justru memperlihatkan gejala sangat normal bahwa tunggang terendah akan terjadi tepat pada pasang perbani, 9-10 Februari pukul 0.300-09.00.
Berdasarkan hasil prediksi karakter pasang surut tersebut, pada 4-7 Februari 2014, perairan Pantai Karangantu, Banten, mengalami muka laut rata jangka panjang yang terendah, bersamaan dengan tunggang pasang surut yang terendah (20-40 cm) sehingga seolah-olah terjadi muka surutan yang berkepanjangan. Padahal, karakter pasang surut tetap berlangsung sebagai pasang surut semi diurnal (dua kali pasang dan dua kali surut sehari).
Dasar laut landai
Hal lain yang turut membuat gejala ini tampak ekstrem adalah bentuk dasar laut kawasan pantai yang landai sehingga seolah-olah surutan meluas ke laut mencapai lebih dari 1 kilometer dari bibir pantai. Padahal, jika dasar laut ini agak curam, kejadian seperti ini hanya merupakan gejala normal dan tidak menampakkan gejala air surut yang luar biasa.
Oleh sebab itu, kejadian surut terendah di Pantai Karangantu, Banten, yang dikira langka tersebut adalah murni gejala alam biasa. Hanya tampak seperti ekstrem akibat kombinasi berbagai pengaruh gaya pembangkit pasang surut dalam jangka panjang. Jadi, bukan fenomena oseanografi seperti akibat aktifnya gelombang Kelvin, adanya arus menunjam (downwelling) atau lainnya.
Kejadian ini akan berulang kembali sehingga kita dapat melihat dan menyaksikan lagi pada 2018. Dalam hal ini, surut terendah akan lebih ekstrem lagi karena lebih rendah dari fenomena air rendah tahun ini.
Mira Yosi, Peneliti Senior pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Kementerian ESDM
Sumber: Kompas, 11 Februari 2014