Lepas dari tantangan tersebut, intelektual publik tetap dibutuhkan. Ada banyak kebijakan pemerintah yang perlu ditimbang dalam-dalam. Berbagai bidang membutuhkan pemikiran para intelektual publik.
Tanggal 6 April kemarin Indonesia ditinggalkan oleh salah satu intelektualnya yang paling berdedikasi, Daniel Dhakidae (DD), Pemimpin Redaksi Jurnal Prisma dan juga mantan Kepala Litbang Harian Kompas. Tanggal 21 Desember 2020, tak sampai empat bulan lalu, intelektual lainnya berpulang lebih dahulu, B Herry Priyono (BHP), Ketua Program Pascasarjana STF Driyarkara.
Keduanya lulusan dari universitas bergengsi di dunia: DD lulusan dari Cornell University, Amerika Serikat, sedangkan BHP adalah lulusan dari London School of Economics, Inggris. Reputasi keduanya berkaliber internasional yang dapat disandingkan atau bersaing dengan para sarjana lain dari luar negeri. Keduanya adalah penulis ilmu sosial yang tajam, berperspektif luas, dan tulisan keduanya ditunggu banyak pihak karena seringkali melihat satu masalah dengan kacamata yang tak biasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sedikit yang membedakan keduanya adalah DD memimpin jurnal ilmiah Prisma, yang telah ia pimpin sejak tahun 1980an, DD kemudian memimpin lembaga Litbang Harian Kompas, yang menjadi salah satu litbang media yang paling serius, dan menjadi salah satu pelopor penggunaan jajak pendapat dalam berbagai kontestasi politik ataupun fenomena sosial lainnya.
DD tidak mengajar di universitas, walaupun ia sering diminta untuk menjadi penguji berbagai calon doktor baik di dalam maupun luar Indonesia. Sementara itu BHP selain sudah menulis kolom sejak pertengahan 1980-an, sepulang studi doktoralnya ia mengajar di almamaternya, STF Driyarkara, dan menemani proses pembelajaran para sarjana, magister, dan doktor di sana.
Kembali pada persamaan keduanya, DD dan BHP, adalah penulis kolom di media, dan juga pembicara di berbagai forum terbuka dengan intensitas yang berbeda-beda. Namun, keduanya layak disebut sebagai intelektual publik.
Apa intelektual publik itu? Secara mudah intelektual publik adalah mereka yang kerap menuliskan gagasannya di kolom-kolom media, lewat buku, berbicara dalam forum publik, dan membagikan pikirannya terutama terkait sejumlah persoalan aktual yang muncul dalam masyarakat ataupun pemerintahan. Intelektual publik dapat dikatakan adalah mereka yang terlibat dalam pembicaraan atau diskursus publik yang belum tentu menjadi pembicaraan dalam dunia akademis.
Pendeknya intelektual publik membicarakan atau mendiskusikan gagasan tertentu karena adanya suatu panggilan untuk menyumbangkan pemikirannya. Untuk itu, mereka siap juga ketika harus berdebat dengan gagasan lain yang berbeda, atau juga mereka merespons suatu kecenderungan pemikiran tertentu yang harus direspons, dikritik ataupun diperkaya perspektifnya.
Kepergian DD dan BHP di satu sisi merupakan kehilangan yang luar biasa untuk diskursus publik karena ketajaman analisis keduanya dalam melihat banyak hal, tetapi di sisi lain memunculkan juga pertanyaan lain: apakah dengan kepergian keduanya, dunia intelektual publik menjadi lebih sepi ke depannya? Atau pertanyaan lebih jauhnya: apakah intelektual publik masih dibutuhkan di negeri ini?
Peran intelektual publik
DD meninggal dalam usia menjelang 72 tahun, sedangkan BHP meninggal dalam usia 60 tahun. Buat penulis pribadi, keduanya adalah panutan, dan penulis mengikuti tulisan keduanya sejak tahun 1980-an dan banyak tulisan keduanya yang membekas bagi penulis. Keduanya menulis dengan tajam, panjang, dan dalam uraiannya.
DD telah menulis sejumlah buku dengan fokus utama pada soal cendekiawan dan kekuasaan di Indonesia, sedangkan BHP menulis buku untuk memperkenalkan pemikiran sosiolog Inggris, Anthony Giddens, dan menulis buku tebal soal korupsi. Di luar itu ada puluhan hingga ratusan tulisan yang telah diproduksi masing-masing dalam macam-macam publikasi.
Jika sedikit bergeser dengan menggunakan pendekatan birokrasi dalam dunia perguruan tinggi, keduanya sudah lama bisa dikategorikan sebagai guru besar dalam bidang masing-masing, baik karena reputasi akademisnya maupun ketajaman analisisnya. Namun, secara formal, keduanya bukanlah guru besar. Atau, bahkan mungkin istilah guru besar menjadi terlalu sempit untuk ditujukan pada keduanya.
Yang tak dapat dipungkiri keduanya adalah intelektual publik yang di kepala masing-masing semasa hidup memiliki semacam kegairahan untuk menguraikan apa yang ada secara aktual dan menyodorkan suatu cara berpikir tertentu dalam melihat fenomena yang ada. Diminta atau tidak diminta keduanya sudah banyak berbagi pemikirannya, lewat tulisan-tulisan yang terpublikasi, dan dari situ keduanya berkontribusi pada diskusi dalam ranah publik.
Fungsi intelektual publik adalah memperkaya ranah publik dengan sumbangan pemikirannya, dengan posisi yang dimiliki keduanya yang lepas dari kekuasaan birokratik pemerintahan. Pendapat keduanya bisa menantang apa yang muncul datang dari otoritas tertentu, atau mempertanyakan kesahihan suatu pendapat. Dengan analisis, atau tumpukan data yang kemudian ditafsirkan, keduanya menawarkan gagasan alternatif.
Dalam arti ini intelektual publik menawarkan suatu society’s consciousness (kesadaran dari masyarakat) untuk mempertimbangkan suatu masalah dengan lebih dalam, lebih menimbang banyak hal sebelum mengambil keputusan tertentu, atau juga menawarkan cara pandang tertentu dalam melihat suatu fenomena. Dalam arti ini, cara pandang demikian belum tentu sejalan atau sebangun dengan cara pandang ataupun kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu otoritas kekuasaan, katakanlah pemerintah.
Dalam kasus DD misalnya, jurnal Prisma yang sedemikian melegenda, pada hari ini mendapat resistensi dari sejumlah intelektual kampus untuk menulis di sana karena para intelektual kampus ini melihat bahwa ”reputasi” dari Prisma tak memberikan ”cum” sebagai nilai yang akan memberi nilai tambah untuk tulisan ilmiah dari para staf pengajar di kampus.
Padahal, siapa yang tak kenal dengan jurnal Prisma di masa Orde Baru? Semua yang mengaku atau yang disebut sebagai intelektual rasanya tidak sah disebut intelektual jika tak pernah menulis dalam jurnal bergengsi kelahiran tahun 1971 ini.
Intelektual publik merasa gelisah dan terpanggil untuk membagikan pikiran atas fenomena yang ada dalam keseharian, yang mungkin luput dari perhatian banyak orang. Mereka mendeteksi ada sesuatu yang kurang tepat, perlu diluruskan, atau sekedar mengungkapkan kegelisahan lewat tulisan-tulisannya.
Memang dalam era media sosial yang menguat, tulisan-tulisan para intelektual ini sering kali terpinggirkan dari diskusi publik karena publik lalu lebih senang membicarakan hal-hal yang remeh temeh, tidak berat, dan lebih menyenangkan untuk dibicarakan.
Lepas dari tantangan tersebut, intelektual publik tetap dibutuhkan. Ada banyak kebijakan pemerintah yang perlu ditimbang dalam-dalam. Berbagai bidang membutuhkan pemikiran para intelektual publik yang tak mengabdi pada kekuasaan, tetapi sebaliknya mengedepankan kepentingan publik dalam tulisannya.
Ini akan menjadi pengimbang wacana yang berkembang, walaupun wacana alternatif ini tak selalu berhasil menjadi dominan atau mengganti wacana dari sisi kekuasaan. Namun, melihat masih banyak penulis opini yang ada di media, kita masih bisa berharap bahwa masih cukup banyak intelektual publik yang ada saat ini.
Kepergian DD dan BHP dari wacana publik mungkin tak tergantikan, tetapi posisi sebagai intelektual publik mungkin perlahan-lahan akan tergantikan oleh para penulis generasi berikut yang tampil ke depan dan mengambil peran sama sebagai kesadaran masyarakat. Mungkin kalimat terakhir ini lebih merupakan harapan yang dibisikkan lamat-lamat.
Ignatius Haryanto, Staf Pengajar Universitas Multimedia Nusantara
Editor: YOHANES KRISNAWAN
Sumber: Kompas, 21 April 2021