Seorang anak akan menjadi seperti apa, itu merupakan tanggung jawab orangtua, bukan orang lain. Masa pandemi Covid-19 menjadi momen ujian penting bagi orangtua.
Situasi pandemi Covid-19 seharusnya menjadi kesempatan bagi orangtua untuk membangun keluarga yang kuat dan tangguh, meningkatkan pengasuhan yang lebih memberdayakan anak, sehingga mampu melewati masa krisis saat ini. Karena itu, orangtua seharusnya tampil menjadi ”panglima” dan menjadi teladan bagi anak-anaknya, bukan sebaliknya menjadi contoh yang buruk bagi anak-anak.
”Kalau bicara pengasuhan anak, yang perlu kita pikirkan bukan apakah anak-anak kita dapat menjadi orang yang baik, tetapi kita harus mencemaskan apakah kita bisa menjadi orangtua yang baik untuk mereka. Itu dulu. Kalau itu sudah bisa kita lakukan, ada harapan anak-anak kita bisa menjadi orang yang baik,” ujar Alissa Wahid, psikolog yang juga Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LKK PBNU), dalam diskusi daring bertema ”Orangtuaku Sahabat Terbaikku; Penguatan Relasi Keluarga Selama Masa Pandemi Covid-19”, Rabu (10/6/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seri diskusi yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dalam rangka Hari Anak Nasional 2020 itu juga dihadiri Lenny N Rosalin (Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA) dan Kak Seto atau Seto Mulyadi (Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia). Diskusi tersebut digelar untuk meningkatkan kapasitas orangtua dalam menjalankan pengasuhan selama masa pandemi Covid-19, sekaligus menyiapkan keluarga dalam menyongsong era normal baru.
Menurut Alissa, orangtua harus bertanggung jawab terhadap anak-anaknya dan tidak menyerahkan pengasuhan anak kepada guru atau orang lain. Seorang anak akan menjadi seperti apa, itu merupakan tanggung jawab orangtua, bukan orang lain. ”Enggak bisa orangtua meminta anak untuk jujur ketika orangtua sering berbohong. Itu tidak bisa menjadi teladan yang baik karena kemudian anak akan belajar untuk munafik,” ucapnya.
Oleh karena itulah, yang terpenting adalah apa pun yang dilakukan oleh orangtua dalam pengasuhan anak adalah demi kebaikan anak dan demi kebaikan keluarga. Pengasuhan yang lebih memberdayakan anak sangat penting menuju Indonesia emas 2045.
Bagaimana orangtua hadir mendampingi anak-anak melewati masa-masa sulit sangat penting, terutama dengan menjaga dan mengatur perilakunya. Orangtua dituntut untuk menampilkan sisi tanggung jawab dan tenggang rasa terhadap anak-anaknya.
Alissa mengakui, pandemi turut berdampak pada meningkatnya kekerasan dalam keluarga, menyusul berbagai tantangan yang dihadapi keluarga, mulai dari tekanan psikologis sosial dan ekonomi, ketakutan akan ketidakpastian masa depan, hingga keterbatasan ruang psikologi pribadi karena terus-menerus berada dalam rumah. ”Kalau tidak punya fondasi keluarga dan hubungan antarkeluarga yang baik, akan terjadi banyak sekali konflik,” paparnya.
Oleh karena itu, pada masa pandemi Covid-19 ini, Alissa mengingatkan keluarga-keluarga untuk membenahi hubungan dasar hidup keluarganya. Kuncinya adalah dengan membangun pilar hidup berkeluarga, antara lain komitmen antara suami istri, saling berlaku baik dan bersinergi dengan sesama anggota keluarga, serta membangun dialog dan musyawarah dan menunjukkan kematangan diri.
Alissa mengibaratkan kekuatan hubungan keluarga seperti rekening bank, jika saldonya berisi nilai-nilai positif dan naik terus, keluarga akan bahagia.
”Kalau uang kita di bank naik terus, kita bahagia. Tapi setiap kali ada penarikan, semakin menipis dan menipis, kita akan cemas. Hubungan keluarga juga begitu. Jika saldo rekeningnya baik, sikap saling percaya, saling memahami, kasih sayang itu banyak. Tetapi kalau menipis terus karena konflik, hubungan antar-anggota keluarga akan menipis dan menimbulkan kecemasan,” tutur Alissa.
Orangtua efektif
Seto Mulyadi mengawali materinya dengan bertanya kepada peserta diskusi, apakah sudah menjadi orangtua efektif? Pertanyaan tersebut dinilai penting karena kadang-kadang sebagai orangtua biologis, pasangan suami istri lupa menjadi orangtua efektif.
”Orangtua efektif menjadi sahabat bagi putra-putrinya, menciptakan suasana yang penuh keakraban, kasih sayang, rasa cinta, dan sebagainya. Orangtua sering dekat dengan anak, tapi tidak hadir di hati anak. Itu yang harus ditanyakan kepada kita semua,” kata Seto.
Situasi tersebut terjadi karena berkurangnya fungsi keluarga sebagai pranata kontrol, membuat anak akhirnya keluar dari rumah, meninggalkan keluarga, hingga akhirnya menjadi pelaku tindakan menyimpang dan kriminal.
Selain memberikan anak-anak nilai-nilai agama, keterampilan sosial, seni budaya, olahraga, dan kreativitas dari keluarga, Seto berpendapat, keluarga hendaknya mengembangkan rapat atau pertemuan keluarga yang mendengarkan suara anak-anak.
”Ayah ibu harus memosisikan (diri sebagai) guru yang utama dan pertama dalam keluarga, dengan menanamkan karakter sopan santun, tidak mudah putus asa, rendah hati, penuh hormat, semangat, kreatif, dan disiplin pada anak-anak,” ujarnya.
Terkait data anak-anak dalam pengasuhan, berdasarkan Profil Anak 2018, anak yang tinggal dengan bapak dan ibu kandung (84,33 persen), tinggal dengan ibu kandung saja (8,43 persen), bapak kandung saja (2,51 persen), dan keluarga lain (4,76 persen).
”Dari angka tersebut, hampir 4 persen atau 3,73 persen balita mendapatkan pengasuhan tidak layak saat dihitung Badan Pusat Statistik tahun 2018. Ini tampaknya angkanya kecil, tapi kalau dilihat dari jumlahnya, hampir 80 juta anak, ini angka yang besar. Itu baru balita,” kata Lenny.
Oleh SONYA HELLEN SINOMBOR
Editor ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 11 Juni 2020