Tangan dingin Agus Affianto berhasil membekali banyak orang di sejumlah daerah untuk mandiri dengan budidaya pertanian. Semua kegiatan yang dia lakukan terinspirasi dari KH Mustofa Bisri.
ARSIP PRIBADI—Agus Affianto alias Picus (depan) bersama para petani yang didampinginya.
Namanya Agus Affianto. Teman-teman dekatnya biasa memanggil Picus, panggilannya sejak kecil. Biasanya dengan embel-embel ”prof”. Mungkin karena pekerjaan resminya adalah dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hobinya mengobrol dengan tanaman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagi yang belum mengenal, mungkin bakal menganggap Picus gila karena kegemarannya berbicara dengan tanaman. Sosoknya memang jauh dari kesan serius, apalagi formal seorang dosen perguruan tinggi besar di Indonesia. Lihat saja lini masa di akun Twitter-nya, @picoez.
Namun, dari ”kegilaan” dan tangan dinginnya, Picus berhasil membekali orang-orang di pedalaman Papua yang tak terbiasa dengan budidaya buah dan sayuran dengan pengetahuan yang membuat mereka menjadi petani sekaligus pengusaha.
Picus juga berhasil membuat areal bekas pembuangan limbah tambang timah atau tailing di Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menjadi lahan untuk budidaya semangka, kelengkeng, buah naga, sengon, cemara, hingga berbagai jenis sayuran. Sesuatu yang hampir mustahil karena tailing timah berbentuk pasir dengan suhu yang bisa mencapai 64 derat celsius pada siang hari.
ARSIP PRIBADI—Agus Affianto alias Picus di depan pohon cemara yang berhasil ditanamnya di bekas areal pembuangan limbah atau tailing timah di Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Tangan dingin Picus membuat warga di Pulau Padang, Kabupaten Meranti, Riau, berhasil membudidayakan semangka di lahan gambut, sekaligus membantu mencegah kebakaran lahan gambut di sana. Di Gayo Lues, Aceh, Picus membantu kepolisian setempat agar warga mau beralih menanam buah tin dan anggur dibandingkan menanam ganja.
Meski dia dosen kehutanan, latar belakang pendidikannya tak terlalu bersentuhan dengan agronomi ataupun ilmu tanah. Sarjananya diselesaikan di Fakultas Kehutanan UGM tahun 1997. Setelah bekerja di perusahaan kayu Surya Dumai Riau selama dua tahun, Picus balik ke almamaternya untuk menjadi pegawai negeri dan mengajar di sana. Tahun 2002, Picus menyelesaikan master ilmu ekonomi studi pembangunan di kampusnya.
Jalan hidup Picus bergelut dengan tanaman berawal pada 2010 saat seorang kawannya meminta bantuan untuk datang ke Oksibil, Pegunungan Bintang, Papua. ”Ada teman, anak Fisipol UGM, yang tengah mendampingi warga setempat untuk ngajarin bikin administrasi desa. Kalau begitu saja, kan, enggak menarik. Dia sisihkan dana buat mengajak saya berangkat ke sana untuk bikin demplot (demonstration plot),” ujar Picus mengawali cerita perjumpaannya dengan orang-orang di pedalaman Papua.
Demplot adalah metode penyuluhan budidaya tanaman dengan membuat lahan percontohan. Picus mengajari warga setempat untuk bertani. Hari ketiga Picus di Oksibil, dia didatangi tiga orang Papua bersenjata.
”Mereka tanya, saya ngapain di sini. Saya jawab, ngajarin warga bertanam. Ini tanah surga. Mereka lantas bilang, ’Kalau ini tanah surga, kami enggak mungkin miskin’. Lalu saya katakan, maksudnya ini tanah subur, tapi kenapa hanya ditanami rumput. Sementara kalau belanja di pasar lokal Oksibil, harga kol satu biji saja sudah Rp 20.000. Itu pun kolnya didatangkan dari Jayapura,” tutur Picus.
Selama beberapa hari, orang-orang Papua bersenjata itu hanya memperhatikan Picus mengajari warga budidaya sayuran. Sampai suatu hari, mereka kembali mendatangi Picus. Dimintanya Picus ikut mereka sampai ke dalam hutan.
Sempat tebersit rasa takut dan khawatir. Namun, sesampai di hutan, mereka malah minta Picus mengajari bercocok tanam. ”Saya minta mereka membersihkan lahan seperti yang kami lakukan di Oksibil. Nanti setelah bersih, kami akan bawakan bibitnya,” kata Picus.
Akhirnya lahan di dalam hutan tersebut ditanami kol dan kentang. Menurut Picus, panen pertama mereka dapat uang hingga Rp 50 juta. Sayangnya, uang tersebut habis dengan cepat untuk minum-minum minuman keras. Pas panen kedua, mereka dapat Rp 60 juta. Picus mulai mengajari mereka dasar-dasar pengelolaan ekonomi rumah tangga.
Dia memberi contoh sederhana. ”Saya terapkan, tiap dapat Rp 100.000, kalian mau buat apa uangnya. Ketemulah 14 item. Satu, untuk Tuhan (gereja). Kedua, untuk anak sakit. Ketiga, untuk anak sekolah. Keempat, untuk tanam-menaman lagi alias modal. Begitu seterusnya. Jadi, tiap dapat Rp 100.000, misalnya, Rp 1.000 disisihkan untuk Tuhan. Kalau dapat Rp 3 juta, ya, untuk Tuhan Rp 30.000,” katanya.
Tiga bulan di Oksibil, Picus dan temannya kehabisan dana. Salah seorang teman menyarankan agar dia mengajukan proposal ke lembaga swadaya masyarakat Kemitraan (The Partnership for Governance Reform). Dapatlah Picus dana untuk melakukan pendampingan selama empat bulan di Pegunungan Bintang.
Seusai mempertanggungjawabkan penggunaan dananya, Kemitraan menilai program yang dijalankan Picus berhasil. Dia pun mendapat tambahan dana untuk memperluas wilayah dampingan hingga ke Wamena, Kabupaten Jayawijaya, dan Timika, Kabupaten Mimika (Papua), serta Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Sorong (Papua Barat).
Di Wamena, Picus mengajari Wajus Hubi, seorang mantan pemalak, menjadi petani stroberi yang berhasil. ”Tadinya dia pencuri dan pemalak. Tiap malam mencuri bibit semangka. Dua setengah bulan kemudian dia datang ke saya bawa semangka besar. Katanya, ’Saya minta maaf, bibit yang saya ambil ternyata buahnya banyak. Saya bawa yang paling besar untuk menebus dosa’,” cerita Picus.
Picus kemudian mengajari Wajus bersama warga desanya menanam buah-buahan lain, seperti semangka dan melon. Picus pula yang memperkenalkan Wajus kepada pengelola hotel paling besar di Wamena sehingga dia bisa memasok stroberi untuk kebutuhan hotel. ”Dia suplai stroberi di situ. Satu tahun setelah itu, dia sudah enggak pernah malak. Dia turun gunung itu hanya untuk mengantar stroberi ke hotel atau pasar,” kata Picus.
Apa yang dilakukannya di Papua ternyata membekas bagi orang-orang di sana. Di Wamena, Picus diangkat anak oleh seorang tetua marga Oagay. Di Pegunungan Bintang, Picus mendapat marga Yaorka dari orang yang dia ajari menjadi petani.
Seusai dari Papua, Picus diminta almamaternya membantu Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Belitung Timur yang hendak mereklamasi areal bekas pembuangan limbah atau tailing timah. ”Rekomendasinya menyatakan bahwa lahan tailing timah itu mungkin sekitar 20 tahun juga enggak bakal tumbuh rumput. Satu, karena panas; kedua, karena enggak bisa menyimpan air. Kalaupun ada air, sifatnya asam. Oleh fakultas, saya diminta ke sana. Kebetulan saya dibantu teman-teman yang agak gila. Kami buat kompos blok untuk menanam di lahan itu,” tutur Picus.
Kompos blok adalah media tanam berupa kompos yang telah dipres. Dengan dipres, kompos lebih mudah dibawa ke mana-mana. Di tengah kompos blok dibuat lubang untuk menanam bibit. Begitu akarnya menembus ke bawah, kompos kemudian dibawa ke lahan tailing timah. ”Pokoknya, asal hidup dulu tanamannya,” ujar Picus.
Metode sederhana ini ternyata berhasil. Lahan tailing timah seluas 10 hektar berhasil ditanami Picus dengan berbagai buah dan sayuran. Dua tahun sejak ditanam, menurut Picus, kelengkeng dan buah naga sudah berbuah.
Terinspirasi Gus Mus
Saat menceritakan kebiasaannya berbicara dengan tanaman, Picus mengaku terinspirasi dari nasihat ulama besar yang juga penyair, KH Mustofa Bisri alias Gus Mus, salah satu guru spiritualnya.
Menurut Picus, Gus Mus pernah bercerita punya dua batang pohon kelapa yang ditanam bersisian di rumahnya. Namun, hanya satu pohon yang kerap disapa dan dibacakan salawat nabi tiap kali Gus Mus pergi. Ajaibnya, pohon itu yang berbuah. Sementara pohon kelapa yang satunya lagi tidak.
”Gus Mus pernah ngendika ke saya. Gusti Allah itu makhluknya banyak. Ada yang kayak batu, tidak bisa merasakan dan tidak bisa mengungkapkan. Kemudian tanaman, dia bisa merasakan, tapi tidak bisa mengungkapkan secara verbal. Kalau kurang disiram, ya, daunnya kuning. Lalu ada hewan, yang bisa merasakan dan bisa menyampaikan secara verbal, tapi enggak sempurna. Sapi itu kalau lagi senang dan sedih, ya, bilang moooo saja terus,” tutur Picus.
Sementara Tuhan menciptakan manusia dengan bekal merasakan dan mengungkapkan secara verbal apa yang dia rasakan. Nah, kata Picus, manusia itu sudah seharusnya bersyukur. Caranya bersyukur menurut dia adalah dengan menempatkan diri lebih rendah dari makhluk ciptaan Tuhan lainnya yang memberikan manfaat buat kehidupan, seperti dengan tanaman.
”Saya ngobrol dengan tanaman itu karena tanaman mengajari kita banyak hal. Saya anggap tanaman itu ibarat guru. Saya tempatkan diri saya lebih rendah dari tanaman. Dengan cara seperti ini, tanaman memberi banyak manfaat kepada kita,” ujar Picus yang telah menuliskan pengalamannya berdialog dengan tanaman lewat buku berjudul 100 Hari Melihat Diri, Obrolan Bersama Tanaman.
Agus Affianto
Lahir: Semarang, 28 Februari 1974
Pekerjaan: Dosen Fakultas Kehutanan UGM
Publikasi: 100 Hari Melihat Diri, Obrolan Bersama Tanaman (2020)
Oleh KHAERUDIN
Editor: DAHONO FITRIANTO
Sumber: Kompas, 6 Juni 2020