Kegagalan pembatasan sosial berskala besar bakal memicu ledakan kasus Covid-19 di Indonesia. Karena itu, pemerintah mesti memenuhi persyaratan yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia sebelum melonggarkan intervensi.
Kegagalan pembatasan sosial berskala besar bakal memicu ledakan kasus Covid-19 di Indonesia sehingga berdampak lebih buruk terhadap keselamatan dan ekonomi. Pemerintah diminta mengikuti persyaratan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum melonggarkan intervensi.
Sekalipun pemerintah menyatakan belum melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), laporan di sejumlah daerah yang beredar di media sosial menunjukkan adanya pelanggaran terhadap PSBB, seperti di Bogor dan Bandung, Jawa Barat; Jakarta; dan Malang, Jawa Timur. Kerumunan massa juga terjadi, jalan-jalan mulai macet, pasar dan pusat perbelanjaan serta tempat ibadah mulai ramai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Saya mendapat informasi juga dari berbagai kolega di daerah, masyarakat mulai mengabaikan PSBB (pembatasan sosial berskala besar). Ini sangat menyedihkan dan mengkhawatirkan, bisa memicu banyak kasus baru, sementara tenaga kesehatan sudah kelelahan secara mental,” kata Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia Abraham Andi Padlan Patarai, di Jakarta, Senin (18/5/2020).
Abraham mengatakan, kebijakan pemerintah yang tumpang tindih, seperti pembukaan Bandar Udara Soekarno-Hatta, dikhawatirkan bakal mempercepat penyebaran Covid-19 di sejumlah daerah. Padahal, kualitas layanan kesehatan di daerah-daerah sangat terbatas. Situasi ini juga menyebabkan masyarakat bingung dan akhirnya mengabaikan PSBB.
”Jangan sampai kematian ribuan orang, termasuk tenaga kesehatan, menjadi sia-sia. Tolong kebijakan lebih jelas dan tegas untuk menjaga agar PSBB sampai kasusnya memang benar menurun. Kalau seperti ini terus, ekonomi kita juga bakal terus anjlok,” ujarnya.
Iqbal Elyazar, epidemilog yang juga kolaborator Laporcovid19.org, mengatakan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 12 Mei 2020 telah mengeluarkan panduan bagi negara-negara yang hendak melonggarkan intervensi dan memasuki situasi normal baru. ”Ada sejumlah persyaratan dan Indonesia seharusnya mengikuti itu,” katanya.
Dalam pedoman itu disebutkan, ada tiga indikator utama. Pertama, dari aspek epidemiologi, mensyaratkan epidemi dapat dikendalikan. Kedua, sistem kesehatan dapat mengatasi kemungkinan munculnya kembali kasus Covid-19 setelah terjadi pelonggaran. Ketiga, ada sistem pengawasan kesehatan masyarakat yang mampu mendeteksi dan mengelola kasus dan menelusuri kontak mereka serta mengidentifikasi kemungkinan kebangkitan kasus baru.
Dari aspek epidemi, pengendalian epidemi harus diukur dengan nilai Rt (effective reproduction number) atau jumlah efektif kasus sekunder per kasus infeksi pada suatu populasi di bawah 1. Di negara-negara dengan populasi besar, Rt mungkin bervariasi di seluruh populasi dan harus diperkirakan pada tingkat daerah.
Secara kuantitatif, menurut panduan ini, terjadi penurunan transmisi setidaknya 50 persen selama periode tiga minggu sejak puncak terbaru dan penurunan terus-menerus dalam kejadian yang diamati dari kasus yang dikonfirmasi positif ataupun yang terduga Covid-19, misalnya, dalam hal ini di Indonesia termasuk orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan orang tanpa gejala (OTG).
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI) 18-05-2020—Kemacetan terjadi di ruas Jalan Ciledug Raya dari arah Tangerang menuju Jakarta di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Senin (18/5/2020). Meski pembatasan sosial berskala besar masih berlangsung di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, banyak warga mulai beraktivitas di luar rumah tanpa memperhatikan protokol kesehatan.
Dari aspek kemampuan deteksi disebutkan, kasus-kasus baru bisa diidentifikasi, dilaporkan, dan datanya dimasukkan dalam analisis epidemiologi dalam waktu 24 jam. Selain itu, 90 persen dari kasus yang dicurigai bisa diisolasi dan dikonfirmasi dalam waktu 48 jam setelah muncul gejala.
Persyaratan tersebut, menurut Iqbal, masih sangat sulit dipenuhi di Indonesia, mengingat ada keterbatasan dan keterlambatan pemeriksaan Covid-19 di Indonesia. Hingga saat ini, rata-rata sejak munculnya onset hingga dilaporkan masih lebih dari seminggu.
”Masih banyak indikator lain dan itu harus bisa dipenuhi dengan data yang benar. Salah satu kunci untuk memenuhinya dengan melakukan tes massal dan cepat pelaporannya, serta penelusuran harus dilakukan sehingga kasus yang ada ataupun yang diduga bisa segera diisolir,” kata Iqbal.
Dia mencontohkan, untuk Jawa Barat saja, misalnya, menurut perhitungan Iqbal, sesuai dengan panduan WHO tersebut, untuk menemukan kasus sesuai prevalensi infeksi diperlukan pemeriksaan dengan standar PCR, bukan tes cepat berbasis antibodi, terhadap 2,5 juta-3,7 juta orang. ”Angka ini berkisar 5-7 persen dari total orang yang diduga terinfeksi dan merupakan kelompok berisiko tinggi yang untuk menjadi berat yang memang harus diperiksa,” ungkapnya.
Padahal, total pemeriksaan yang dilakukan di Indonesia, menurut data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, hingga Senin, baru 143.035 dengan pemeriksaan rata-rata harian di bawah 5.000 orang. ”Dengan jumlah pemeriksaan seperti saat ini, banyak orang yang terinfeksi tidak akan ditemukan dan mereka bisa terus menularkan ke orang lain,” tuturnya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 19 Mei 2020