Pembatasan Setengah Hati

- Editor

Selasa, 19 Mei 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pembatasan sosial berskala besar yang diharapkan mampu menekan penularan Covid-19, berubah menjadi pembiaran dan kekecawaan. Pelanggaran menjadi banal, dan kini Indonesia terancam gagal mengendalikan wabah.

“Terserah-terserah, lu tuh kebal korona. Terserah-terserah, kebal sekeluarga. Terserah-terserah, ibu bapak semua. Terserah-terserah, gua ikutin aja. Tiba-tiba PSBB dilonggarkan. Kendaraan sudah mulai mau penuh…”

Video musik rap yang dilantunkan Willy Winarko dari The Rap Up itu mendapat antusiasme pengguna sosial media, karena seperti mewakili kegeraman banyak orang yang memuncak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Itu lagu juga mengungkapkan kekecewaan dan kebingungan kami sebagai warga negara. Selama ini kami telah taat mengikuti anjuran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dari pemerintah. Dua bulan di rumah saja. Tapi, semua seperti jadi sia-sia,” kata Willy, Senin (18/5/2020).

Sejak pertengahan 2019 The Rap Up merilis rap baru rata-rata seminggu sekali. “Kami ingin merangkumkan berita yang aktual tiap minggu dan menceritakan kepada orang-orang yang tidak sempat baca berita,” kata Willy, yang juga penyiar radio lulusan Universitas Indonesia ini.

Rap berjudul “Terserah” ini merupakan yang keempat dibuatnya selama bulan Mei 2020. “Sebagai rapper, kami dukung PSBB, karena kita ingin cepat melewati wabah ini,” tuturnya.

Dukungan itu, membuat Willy dan kawan-kawannya membuat lagu “Ayo Rebahan di Rumah Saja” dan pentingnya cuci tangan. “Namun, tiba-tiba kami melihat banyak orang dibiarkan berkumpul di Sarinah, antrean di bandara, jalanan juga mulai macet. Terasa sekali bahwa kebijakan Pemerintah berubah-berubah dan membingungkan. Katanya memang belum dilonggarkan, tetapi praktiknya sudah,” katanya.

Puncaknya, pada Jumat (15/5), Willy melihat foto seorang tenaga kesehatan yang mengunggah foto diri di media sosial, lengkap dengan alat pengaman diri sambil membawa tulisan,”Indonesia??? Terserah!!! Suka-suka kalian saja.”

“Saya melihat dan merasakan kekecewaan yang sangat. Banyak orang sudah berkorban. Bisnis terpuruk, bahkan banyak nyawa hilang, terutama tenaga kesehatan. Sementara itu, sebagai awam kami juga melihat rencana pelonggaran ini tidak didukung data yang jelas,” kata dia.

Epidemiologi Iqbal Elyazar, kolaborator Laporcovid19.org juga menilai, Indonesia belum saatnya melonggarkan PSBB. “Belum ada indikator yang menunjukkan kasus di Indonesia turun dan layak melonggarkan PSBB,” kata dia.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memang menyatakan wabah ini akan berlangsung lama, sampai ditemukan dan diterapkannya vaksin secara efektif. Namun, ajakan berdamai dengan Covid-19 itu merupakan kekeliruan.

—Suasana kerumunan di Pasar Cikutra, Kota Bandung, Jawa Barat, pada hari ke-13 Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB skala provinsi, Senin (18/5/2020). Rencana relaksasi atau pelonggaran PSBB di Jabar mesti diikuti dengan kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan agar penyebaran Covid-19 tidak semakin luas.

“WHO sudah mendorong kita untuk melawan dan mengendalikan Covid-19 dengan memberikan panduan atau syarat yang harus dipenuhi sebelum masuk ke ‘new normal’. Itu harus diikuti,” kata Iqbal.

Perjuangan sia-sia
Kebijakan pemerintah yang simpang siur dan pengabaian PSBB juga memicu kekecewaan dan kemarahan para tenaga kesehatan, yang menjadi garda depan penanggulangan Covid-19. “Jangan sia-siakan pengorbanan banyak sejawat kami. Mohon, tegakkan PSBB. Kami juga ingin situasi segera normal, tidak lagi dihantui ketakutan saat bertugas di rumah sakit,” kata Tri Maharani, dokter emergensi dari Kediri, Jawa Timur.

Menurut catatan Halik Malik dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), jumlah dokter yang meninggal karena Covid-19 sebanyak 26 orang dan perawat 20 orang. Hari Senin ini satu lagi perawat dan dokter meninggal dunia, yaitu Ari Puspita dari RS Royal Surabaya, dalam kondisi hamil, dan Irsan Lubis, dokter spesialis saraf di Rumah Sakit Royal Maternity Medan.

Peneliti dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) yang tergabung dalam Tim Panel Studi Sosial Covid-19 Dicky Pelupessy mengatakan, saat ini sebagian masyarakat mulai mencapai titik tidak peduli terhadap risiko. “Reaksi alamiah saat terjadi wabah dan bencana adalah kecemasan dan ini bisa memicu respon untuk fight (melawan) atau flight (abai),” ujarnya.

Berdasarkan survei yang dilakukan Panel Studi Sosial Covid-19 terbaru, PSBB ini telah berdampak pada penghasilan. Sebanyak 17,3 persen responden kehilangan pekerjaaan dan 44,3 persen sebagian besar penghasilannya berkurang.

Sebanyak, 43,4 persen merasa bisa bertahan tanpa bantuan pemerintah. Sisanya ada yang menyatakan bisa bertahan hingga PSBB berakhir 22,1 persen, lainnya hanya dalam beberapa hari.

Ditemukan juga, sebanyak 10,2 persen orang mengalami dampak psikologis dengan gejala serius dan cukup serius. Mereka yang alami gejala serius dan cukup serius itu ternyata didominasi kelompok usia 45 tahun ke bawah yang merupakan kelompok aktif produktif.

Rentang usia 45 tahun ke bawah, dalam bahasa psikologi perkembangan memasuki tugas perkembangan, meliputi bersosialisasi, berkeluarga, dan menghidupi keluarga. “Kalau kami tafsirkan, umumnya pada awalnya orang mencoba bertahan dan melawan saat terkenan secara ekonomi maupun psikologis,” kata Dicky.

Namun pada titik tertentu, ketika tekanan ekonomi ini semakin kuat dan secara psikologis mereka lelah, respons berubah jadi tidak peduli. “Turunnya kepercayaan terhadap pemerintah karena inkonsistensi dan komunikasi risiko yang buruk akan menambah sikap abai terhadap risiko ini seperti terlihat dengan pengabaian PSBB,” ungkapnya.

Dengan bahasa lain, jika pemerintah dianggap inkonsisten, maka masyarakat pun bakal bertindak semaunya: “terserah, terserah,” yang disampaikan dengan kemarahan adalah ungkapan kekecewaan terdalam. Padahal, jika rakyat kian kecewa terhadap sesama rakyat dan penguasa, modal sosial yang merupakan benteng terakhir bangsa ini dalam menghadapi pandemi, bakal makin terkoyak.

Oleh AHMAD ARIF

Editor EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 19 Mei 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan
Haroun Tazieff: Sang Legenda Vulkanologi yang Mengubah Cara Kita Memahami Gunung Berapi
BJ Habibie dan Teori Retakan: Warisan Sains Indonesia yang Menggetarkan Dunia Dirgantara
Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Jumat, 13 Juni 2025 - 13:30 WIB

Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia

Jumat, 13 Juni 2025 - 11:05 WIB

Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer

Jumat, 13 Juni 2025 - 08:07 WIB

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Rabu, 11 Juni 2025 - 20:47 WIB

Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan

Berita Terbaru

Artikel

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Jumat, 13 Jun 2025 - 08:07 WIB