Angka kematian terkait Covid-19 di Indonesia jauh lebih besar dari laporan resmi pemerintah. Itu menunjukkan pendataan pasien penyakit yang disebabkan virus korona itu belum terbuka dan terkonsolidasi. secara nasional.
Jumlah korban jiwa terkait Covid-19 di Indonesia jauh lebih besar daripada angka resmi pemerintah. Keterlambatan pemeriksaan dan penanganan menyebabkan banyak orang dalam pemantauan dan pasien dalam pengawasan Covid-19 meninggal sebelum dites, tetapi hal ini tidak dilaporkan.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, di Jakarta, Rabu (22/4/2020) menyebutkan, jumlah orang dalam pemantauan (ODP) sebanyak 193.571 orang dan pasien dalam pengawasan (PDP) 17.754 orang. Sebanyak 7.418 orang dipastikan positif Covid-19. Dari jumlah tersebut, sebanyak 635 orang meninggal dan 913 orang sembuh. Korban meninggal ini bertambah 19 orang dibandingkan dengan sehari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam data perkembangan yang dirilis setiap hari ini, Yurianto tidak pernah mengumumkan berapa banyak ODP dan PDP Covid-19 yang meninggal. Padahal, data di sejumlah daerah menunjukkan, ODP dan PDP yang meninggal rata-rata jauh lebih tinggi dibandingkan yang sudah positif dan meninggal.
Berdasarkan laman resmi Pemerintah Provinsi Banten, misalnya, disebutkan dari 1.287 jumlah PDP Covid-19, sebanyak 129 orang meninggal. Dari 286 kasus positif Covid-19, yang meninggal sebanyak 43 orang.
Pemprov DKI Jakarta tidak melaporkan jumlah PDP Covid-19 yang meninggal. Namun, mereka mencantumkan sejak awal Maret hingga 20 April 2020 telah memakamkan 1.229 jenazah dengan prosedur Covid-19.
Sementara dari 3.399 kasus positif di Jakarta, 308 orang di antaranya meninggal. Itu berarti orang yang meninggal sebelum dites dan dikuburkan dengan prosedur Covid-19 selama dua bulan terakhir setidaknya 921 orang.
Sementara di Jawa Timur, dari 6.330 ODP, yang meninggal 42 orang dan dari 1.303 PDP sebanyak 185 orang meninggal. Adapun jumlah positif Covid-19 sebanyak 637 orang dan 60 orang di antaranya meninggal.
Di Yogyakarta, dari 222 PDP ada 9 orang meninggal, sedangkan dari 75 pasien positif sebanyak 7 orang meninggal. Jawa Barat dan Jawa Tengah tidak mencantumkan jumlah ODP dan PDP yang meninggal dalam laman resmi mereka.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–Petugas medis bergantian untuk beristirahat saat melakukan tes cepat (rapid test) pemeriksaan Covid-19 terhadap warga secara drive thru di halaman parkir Cibis Park, Cilandak Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (22/4/2020). Tes cepat gratis yang diselenggarakan Allianz Peduli bekerja sama dengan Halodoc ini untuk menekan laju peningkatan kasus Covid-19 di wilayah DKI Jakarta yang merupakan episentrum penyebaran Covid-19.
Namun, menurut pendataan yang dilakukan Laporcovid19.org, jumlah ODP dan PDP yang meninggal di Jawa Barat setidaknya 45 orang. Data ini diperoleh dari informasi sejumlah kabupaten dan kota di Jawa Barat serta laporan warga. Di Sulawesi Selatan, PDP dan ODP yang meninggal 53 orang, sedangkan di Batam tercatat 25 orang meninggal.
Dari data di Jawa ini saja, kecuali Jawa Tengah, jika ditotal sudah ada 1.331 ODP dan PDP Covid-19 yang meninggal. Angka ini sejalan dengan informasi yang diperoleh Kompas dari salah satu sumber di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menyebutkan jumlah ODP dan PDP meninggal di seluruh Indonesia lebih dari 1.600 orang.
Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengatakan, data kematian ODP dan PDP ini penting untuk dibuka. Namun, selama ini prosedur pendataan dilakukan Kementerian Kesehatan. ”Pusdalops (Pusat Pengendalian Operasi) BNPB juga melakukan pendataan berdasarkan laporan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah),” ungkapnya.
Kepala Pusdalops BNPB Bambang Surya Putra mengatakan, pihaknya sedang melakukan pendataan. ”Kami masih merekapnya karena ada yang melaporkan dan tidak,” katanya.
Mayoritas pasien positif
Irma Hidayana, salah satu pendiri Laporcovid19.org mengatakan, data mengenai PDP dan ODP yang meninggal seharusnya dibuka secara transparan dan dikompilasi secara nasional. Apalagi, Presiden Joko Widodo sudah menyampaikan bahwa data mengenai Covid-19 harus lebih terbuka dan tidak ada lagi yang ditutupi.
Dengan tidak diumumkannya data ODP dan PDP yang meninggal, hal itu menunjukkan pemerintah masih menutupi dampak sesungguhnya Covid-19. ”Data ODP dan PDP yang meninggal ini menunjukkan terbatasnya kapasitas pemeriksaan kita dan jauh lebih besarnya skala dan dampak Covid-19 ini,” tuturnya.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dan dianalisis Laporcovid19.org, sebanyak 83,1 persen orang yang dimakamkan dengan prosedur Covid-19 di banyak wilayah di Indonesia belum diperiksa spesimennya. Sebanyak 88,2 persen dari korban yang belum dites ini adalah PDP dan 11,8 persen ODP.
Tri Maharini, dokter emergensi dari Persatuan Dokter Emergensi Indonesia (Perdamsi) yang saat ini diperbantukan di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso Jakarta, mengatakan, berdasarkan pantauannya, 80 persen PDP yang telah dites kemudian menjadi positif.
”Jika PDP meninggal sebelum dites, besar kemungkinan dia sebenarnya positif Covid-19. Meski ada yang bilang itu karena komorbid (penyakit penyerta), jika tidak terinfeksi korona, kemungkinan masih bertahan. Jadi, seharusnya itu juga dihitung sebagai korban Covid-19,” katanya.
Permintaan untuk membuka data ODP dan PDP ini juga sebelumnya disampaikan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Pengurus IDI Halik Malik mengatakan, data ODP dan PDP yang meninggal ini harus dibuka karena penting untuk menunjukkan kondisi sesungguhnya di lapangan.
Beben Benyamin, ahli biostatistik Indonesia yang juga pengajar di School of Health Sciences of South Australia mengatakan, sesuai panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), korban Covid-19 memang yang sudah dikonfirmasi positif sesuai tes PCR. Masalahnya, test PCR di Indonesia sangat kecil dan merupakan terendah di dunia.
”Kalau data PDP dan ODP meninggal tidak diumumkan, secara administrasi mungkin tidak salah, tetapi niat baiknya perlu dipertanyakan karena itu menutupi skala wabah yang sesungguhnya,” ungkapnya.
Menurut Beben, selain transparansi data korban, pemerintah diharapkan membuka informasi pasien yang meninggal meliputi umur, jenis kelamin, termasuk gejala hingga penyakit penyerta. Sebab, hal itu penting untuk melakukan analisis klinis dan studi ilmiah. ”Untuk nama bisa di-koding agar tidak memicu masalah atau stigmatisasi,” ujarnya.
Beben menambahkan, hampir semua negara saat ini sudah membuat laporan ilmiah mengenai kondisi klinis terkait Covid-19, kecuali Indonesia. Hal ini karena tertutupnya data. Ketidaktransparanan data juga pasti akan menyulitkan para epidemiolog untuk menganalisis dan memproyeksikan kasus di Indonesia.
Untuk dapat mengakses konten ini, silakan berlangganan paketKompas Digital Premiumatauloginjika sudah berlangganan. Bagi pengguna baru,daftardan dapatkan akses bebas ke semua berita bebas akses.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 23 April 2020