Pemulihan ekonomi di tengah pandemi Covid-19 mesti mengedepankan konsep pembangunan ramah lingkungan atau ramah iklim. Jika menitikberatkan pada pembangunan ekonomi semata, penyebaran penyakit makin tak terkendali.
KOMPAS/LASTI KURNIA–Pemandangan deretan gedung bertingkat di Jakarta, Rabu (5/2/2020), menjadi salah satu simbol kemajuan ekonomi. Amerika Serikat mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang dan dipertimbangkan sebagai negara maju.
Di tengah penanganan pandemi Covid-19, sejumlah pihak mengingatkan agar langkah pemulihan ekonomi disiapkan secara hijau atau ramah iklim dan ramah lingkungan. Penyebaran penyakit tak terkendali serta sejumlah bencana hidrometeorologis dan penurunan mutu lingkungan menunjukkan pembangunan menitikberatkan eksploitasi sumber daya alam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Ini (pandemi Covid-19) pelajaran sangat berharga bagi kita. Di masa depan situasi bisa lebih buruk jika kita tak mengubah perilaku dan pola pembangunan kita,” kata Mahawan Karuniasa, Direktur Environment Institute yang juga Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia Network), Senin (13/4/2020) di Jakarta, seusai menggelar diskusi Indonesia Environment Talks 2020 yang diadakan secara virtual.
Ini (pandemi Covid-19) pelajaran sangat berharga bagi kita. Di masa depan situasi bisa lebih buruk jika kita tak mengubah perilaku dan pola pembangunan kita.
Mahawan yang juga pengajar di Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia menegaskan, pembangunan hijau dalam konteks tulang punggung perekonomian, yaitu energi, amat penting jadi perhatian. Saat ini, bahan bakar minyak yang menjadi kebutuhan utama transportasi di Indonesia sebagian besar impor dan menguras devisa.
Suatu saat cadangan minyak akan terus menipis dan harganya kian mahal. Apabila Indonesia tak mengantisipasinya dengan meletakkan sumber-sumber energi terbarukan, biaya ekonomi tinggi dalam pembangunan akan terjadi dan kontradiksi dengan ambisi meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Penurunan emisi
Salah satu yang disorotinya adalah Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja omnibus law yang tak selaras dengan upaya penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia. Meski perampingan instrumen perundangan dan administrasi/birokrasi diperlukan, konten RUU itu dinilai malah menegasikan pertimbangan pembangunan berkelanjutan.
Ia mencontohkan persyaratan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang semula menjadi syarat wajib dan penentu kelayakan suatu usaha, dalam RUU Cipta Kerja diubah hanya menjadi bahan pertimbangan. Menurut dia, peningkatan kualitas amdal beserta efektivitas penyusunan/penetapannya yang seharusnya diperbaiki.
Ia sepakat agar DPR mengembalikan ke pemerintah dan tidak terburu-buru membahasnya di tengah pandemi Covid-19. Ia pun mendorong proses inklusif dalam pembahasan-pembahasan omnibus law di masa mendatang.
Mahawan pun mengingatkan bahwa Indonesia memiliki komitmen Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), pembangun rendah karbon, serta telah menyampaikan komitmen aksi iklim global melalui dokumen pertama Rencana Pengendalian Perubahan Iklim Indonesia.
Dokumen yang disebut NDC itu berisi rencana mitigasi dan adaptasi dengan tahun 2030. Target mitigasi atau reduksi emisi gas rumah kaca adalah 29 persen dengan kemampuan sendiri dan sampai dengan 41 persen dengan kemitraan international. Indonesia memfokuskan penurunan emisi terbesar dari sektor hutan dan lahan serta sektor energi.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Foto udara perumahan yang telah dilengkapi panel surya di kawasan Summarecon Serpong, Tangerang, Banten, Rabu (4/3/2020). Kesadaran konsumen terhadap lingkungan dari penggunaan energi terbarukan dimanfaatkan oleh pihak pengembang perumahan dengan memberikan penawaran bonus panel surya di setiap unit rumah yang dijual.
Target global pengendalian perubahan iklim adalah menjaga agar rata-rata suhu permukaan bumi tidak meningkat lebih dari 2 derajat celsius. Namun, Kesepakatan Paris belum menjamin tercapainya target itu. Kemudian tahun 2018, Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPPC), yang melibatkan ribuan para ahli dari seluruh dunia, menyatakan tidak lagi kurang dari 2 derajat celsius, tetapi 1,5 derajat celsius.
Dasar ini mendorong perlunya ambisi lebih untuk menghadapi perubahan iklim. Setiap negara dituntut untuk lebih berambisi dalam upaya reduksi emisinya. Nur Masripatin, Penasihat Senior Menteri KLHK mengatakan, dokumen termutakhir (updated) NDC Indonesia belum disampaikan ke Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).
Indonesia pun sampai kini tidak meningkatkan target reduksi emisinya dan lebih banyak mendorong peningkatan adaptasi. Dalam strategi jangka panjang global, termasuk Indonesia, telah dimandatkan untuk menuju emisi nol bersih (net zero emission) pada tahun 2050.
Agus Susatya, pengajar Fakultas Kehutanan pada Universitas Bengkulu, dalam diskusi virtual itu, menekankan agar komitmen iklim NDC Indonesia diturunkan hingga pemerintah daerah.
”Kebijakan NDC itu sekilas kebijakan nasional, bagaimana diimplementasikan dalam subnasional ini yang menentukan keberhasilan pencapaian target pengurangan emisi,” katanya.
Ia pun menekankan akan implementasi NDC selaras dengan bagian-bagian dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Keduanya berperan untuk mempertemukan antara ekologi dan ekonomi.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 13 April 2020