Momen Bangun Kota Sehat dan Berkelanjutan

- Editor

Kamis, 25 Juni 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pandemi diharapkan bisa mendorong perbaikan tata kota yang lebih sehat dan berkelanjutan. Kota tersebut memiliki keseimbangan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Arah pengelolaan wilayah pascapandemi diharapkan agar tetap berpijak pada pembangunan rendah karbon yang terimplementasikan. Perbaikan tata kelola kota menuju berkelanjutan yang baru tersebut di antaranya memiliki protokol kesehatan, jaminan sistem perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi.

Guru Besar Pengelolaan Lanskap IPB University Hadi Susilo Arifin menyampaikan, masa pandemi dan normal baru dapat dijadikan sebagai tonggak untuk menerapkan kota yang berkelanjutan. Kota yang berkelanjutan juga menerapkan konsep ramah lingkungan atau eco city.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Konsep ini dibangun berdasarkan aspek lingkungan kota yang bertujuan mereduksi limbah karbon atapun menghasilkan energi melalui sumber terbarukan. Pada akhirnya, konsep ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, mengatur kepadatan penduduk, dan meningkatkan kesehatan.

”Semua pembangunan ini tergantung dari goodwill dan political will dari pemerintah. Selain itu, juga didukung semangat masyarakatnya dalam mengusulkan, melaksanakan, memantau, dan mengevalusi kota itu,” tuturnya alam webinar bertajuk ”Kota Sehat yang Tangguh dan Berkelanjutan dalam Tatanan Kehidupan Baru” yang diselenggarakan Program Pascasarjana Universitas Terbuka, Rabu (24/6/2020).

Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Terbuka Ake Wihadanto mengatakan, pandemi Covid-19 telah mengubah kehidupan kota secara signifikan. Kondisi ini dapat menjadi sebuah pelajaran bagi semua pihak untuk merencanakan kota sehat yang berkelanjutan dalam tatanan normal baru.

Ia menambahkan, para pemangku kepentingan beserta pakar perkembangan kota hingga pakar kesehatan masyarakat perlu dilibatkan dalam transformasi menuju perencanaan kota sehat tersebut. Pihak-pihak tersebut perlu mendesain dan menyediakan fasilitas ataupun kebijakan akibat perubahan lanskap kota akibat pandemi Covid-19.

”Selama pandemi, orang cenderung lebih suka naik sepeda. Tentunya hal ini perlu disikapi bagaimana menyediakan fasilitas bersepeda atau trotoar untuk pejalan kaki yang membuat masyarakat nyaman menggunakannya,” ujarnya.

Pemilihan detergen
Kota yang sehat tersebut juga memerlukan dukungan perubahan perilaku industri dan konsumen. Semisal dari pembuatan, penyediaan, dan pemilihan produk yang lebih ramah lingkungan.

Dalam webinar tersebut, Guru Besar Bidang Ekobiologi IPB University Etty Riani mengatakan, selama pandemi, masyarakat kerap menggunakan sabun untuk mencuci tangan berkali-kali setiap hari. Pun demikian, dengan penggunaan detergen yang meningkat seiring kecenderungan masyarakat untuk mencuci pakaian setiap pulang ke rumah.

Pada dasarnya, sabun dan detergen memiliki kesamaan struktur molekul dan bahan tambahan, seperti parfum, pemutih, dan antiseptik. Namun, molekul yang ada pada sabun lebih mudah terdegradasi dibandingkan dengan detergen. Hal ini karena komponen utama pada detergen adalah surfaktan yang berfungsi menurunkan tegangan pada permukaan air.

”Semakin panjang dan bercabang rantai surfaktan, harga detergen juga akan semakin murah. Akhirnya detergen yang banyak digunakan umumnya yang sulit terdegradasi (yang murah),” ujarnya.

Detergen yang tidak terdegradasi secara sempurna di perairan akan masuk ke dalam jaringan dan terakumulasi. Adanya senyawa fosfat dalam detergen dan sabun semakin mengakibatkan ketidakseimbangan antara nitrogen dan pospor dalam perairan.

Kandungan yang berlebihan dan terjadi secara terus-menerus inilah yang nantinya menyebabkan eutrofikasi atau pengayaan nutrien berlebih pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah fosfat. Eutrofikasi menjadi masalah besar karena dapat mengurangi kandungan oksigen sehingga menurunkan mutu air dan memicu sedimentasi perairan.

”Sebelum ke manusia, dampak kerusakan terlebih dulu dirasakan pada ekosistem di perairan. Ikan, moluska, udang, dn kepiting bisa terganggu metabolismenya. Akhirnya tidak hanya pencemaran, tetapi pada akhirnya mengakibatkan kerusakan lingkungan dan gangguan pada kesehatan,” katanya.

Pada masa pandemi dan normal baru nantinya, Etty pun mendorong agar masyarakat dapat beretika pada lingkungan. Penggunaan sabun dan detergen secara masif ini dapat mulai diganti dengan bahan alami yang tidak berpotensi mencemari lingkungan.

Oleh PRADIPTA PANDU

Sumber: Kompas, 24 Juni 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Berita Terbaru

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB

Artikel

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Jun 2025 - 14:32 WIB