Mahasiswa-mahasiswi dirundung ketidakpastian dalam merampungkan tugas akhir di tengah meluasnya pandemi Covid-19. Mereka harap-harap cemas menanti kebijakan kampus terkait penyelesaian tugas akhir itu.
Pandemi Coronavirus disease atau Covid-19 menggantung nasib mahasiswa-mahasiswi tingkat akhir. Alih-alih punya lebih banyak punya waktu longgar, mereka justru kesulitan karena tidak leluasa mengumpulkan materi tugas akhir.
Berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta memberlakukan perkuliahan jarak jauh secara daring sehubungan dengan pandemi virus korona jenis baru. Sistem tersebut tidak sepenuhnya efektif, salah satunya dialami mereka yang tengah merampungkan tugas akhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Enggit Glory (21) gusar lantaran sidang usulan penelitian beserta perbaikan sudah diselesaikannya sedari awal Maret. Akan tetapi, hingga kini dia belum mengumpulkan data lapangan untuk merampungkan tugas akhir.
Padahal, program studinya di fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, salah satu perguruan tinggi di Depok, Jawa Barat, mewajibkan data primer dari laboratorium kampus atau pengambilan sampel di lapangan.
Data primer itu tidak bisa dikumpulkan dalam waktu singkat. Butuh waktu minimal sepekan di laboratorium atau di lapangan dengan melibatkan banyak orang. ”Saya seperti menyia-nyiakan waktu tanpa bisa berbuat apa pun karena masuk laboratorium belum memungkinkan dan pengambilan sampel di lapangan juga belum diperbolehkan,” ujar Enggit di Jakarta, Senin (30/3/2020).
Sejauh ini belum ada kepastian akses untuk penelitian di laboratorium kampus. Pihak kampus baru mulai mendata mahasiswa yang tengah mengerjakan tugas akhir. Pendataan berlangsung pada 30 Maret hingga 2 April.
Namun, mahasiswi semester 8 ini tidak tahu tujuan kelanjutan pendataan karena belum ada penjelasan dari pihak kampus. Dia hanya berharap ada kebijakan, seperti perubahan mekanisme pengumpulan data menyesuaikan kondisi saat ini, keringanan biaya uang kuliah tunggal karena harus menambah masa studi untuk menyelesaikan tugas akhir, penambahan waktu pengerjaan, dan perpanjangan tenggat waktu pengumpulan atau sidang.
”Mungkin yang paling utama penambahan waktu pengerjaan skripsi dan keringanan biaya karena tidak mau pembayaran sia-sia dan harus bayar lagi di semester depan,” katanya.
Hal serupa juga dialami Ditheosvi Alvira (20). Dia harus menyelesaikan tulisan dan rancang bangun aplikasi untuk meraih gelar diploma tiga teknik elektro. Praktis selama kuliah daring, Alvira hanya bisa mengerjakan tulisan tugas akhir. Sebab, pembuatan aplikasi membutuhkan peralatan yang ada di kampusnya di Jakarta.
Kampusnya memberlakukan kuliah daring hingga 11 April. Untuk itu, mahasiswa diminta menyelesaikan tugas akhir dari rumah. Sejauh ini belum ada kebijakan lain.
”Pengerjaan tugas akhir sudah terjadwal menggunakan alat-alat di kampus. Waktu terus berjalan dan belum bisa mengerjakan karena tidak ke kampus. (Saya) khawatir karena situasi belum pasti dan berkepanjangan,” kata Alvira.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Suasana di gedung rumpun ilmu kesehatan Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu (18/3/2020). Untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19, Universitas Indonesia mengeluarkan kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) mulai efektif Rabu, 18 Maret 2020, hingga berakhirnya semester genap tahun ajaran 2019/2020 pada Juni 2020.
Dia berharap waktu perkuliahan dihitung libur untuk jadwal pengerjaan tugas akhir agar tidak ada pembayaran uang kuliah lagi. Kegusaran juga dirasakan Andriyani (23) karena belum memulai penelitian. Mahasiswi manajemen sumber daya manusia dari salah satu perguruan tinggi di Tangerang Selatan, Banten, ini belum bisa menyebarkan kuesioner ke perkantoran karena pemberlakuan bekerja dari rumah.
Padahal, pihak kampus telah menentukan sidang tugas akhir berlangsung pada Juli mendatang. ”Juli itu skripsi sudah siap disidangkan, tetapi sampai sekarang belum ada yang bisa dikerjakan,” ucap Andriyani.
Kegusaran kian bertambah karena harus membayar lagi apabila tugas akhir tidak selesai pada semester ini. Mahasiswi semester 8 ini berharap ada solusi berupa perpanjangan waktu penyelesaian tugas akhir dan keringanan pembayaran sistem kredit semester. ”Skripsi juga penting bagi kami, tidak hanya ujian nasional saja,” ujarnya.
Selain itu, bimbingan daring dinilai kurang efektif karena konsentrasi dosen terbagi untuk pengajaran daring dan ada hal teknis yang sulit dipahami. Andriyani, misalnya, kesulitan berkonsultasi karena dosen harus membagi waktu untuk mengajar mahasiswa lain secara daring.
Kurang efektif
Demikian juga yang dialami Hafiiz (21). Mahasiswa sistem informasi salah satu perguruan tinggi swasta di Depok ini kesulitan menyusun tugas akhir karena bimbingan secara daring tidak berjalan lancar. ”Susah mengerti hal teknis kalau komunikasi secara daring. Semoga selalu ada jalan keluar yang baik,” ujarnya.
Sementara Fitria (22), mahasiswi ilmu perpustakaan salah satu kampus negeri di Tangerang Selatan, Banten, seharusnya menjalani sidang tugas akhir pada 18 Maret, tetapi sidangnya tertunda karena pandemi.
Kampusnya telah mengeluarkan edaran perkuliahan daring hingga akhir semester. Tidak ada penjelasan tentang sidang ujian akhir secara daring di dalam edaran itu.
Kendati demikian, beberapa jurusan di kampusnya sudah memberlakukan sidang ujian akhir secara daring. ”Katanya (pihak kampus) belum ada sidang daring untuk jurusan ilmu perpustakaan. Masih sidang biasa, tetapi harus menunggu waktu yang memungkinkan,” ucap Fitria.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA–Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Primakara, Denpasar, Sabtu (21/3/2020), menghasilkan purwarupa peralatan penyemprot disinfektan otomatis dengan memanfaatkan teknologi sensor dan internet of things (IoT). Alat penyemprot disinfektan otomatis itu dibuat tim STMIK Primakara di tengah situasi perkembangan penyakit Covid-19, khususnya di Bali.
Menurut dia, sidang secara daring memang praktis. Namun, dia kesulitan menyiapkan peralatan, seperti webcam dan memastikan koneksi stabil. Aksara (21), mahasiswi Tata Rias dan Busana dari kampus seni di Bandung, Jawa Barat, juga kesulitan berkonsultasi daring melalui surel karena penjelasan dosen pembimbing yang kurang lengkap.
Contohnya, dosen pembimbing memintanya memperbaiki bab dua tanpa menandai bagian mana yang harus diperbaiki ”Kalau bimbingan tatap muka bisa dijelaskan, lebih dipahami,” ujarnya. Selain itu, Aksara, Hafiiz, dan Andriyani cukup kesulitan mencari referensi karena tidak tersedia secara daring, baik di internet maupun perpustakaan digital.
Di sisi lain, mahasiswa juga harus mengeluarkan ongkos ekstra selama kuliah daring dan pembatasan sosial. Ongkos ini untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Aksara, misalnya, mengeluarkan ongkos ekstra untuk eksperimen membuat busana, mencetak desain, dan pulsa bimbingan daring. Imbasnya, keperluan sehari-hari selama di indekos terganggu. ”Semoga kampus menyikapi dengan meniadakan bayaran untuk semester depan bagi mahasiswa yang mengerjakan skripsi,” ucapnya.
Keluhan mereka mendapat respons dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Minggu (29/3/2020). Melalui akun Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan @Itjen_Kemdikbud, admin menyampaikan, “Terima kasih aspirasinya kak,” seraya meneruskan ke akun Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi @ditjendikti. Semoga ada langkah lebih kongkret untuk mereka.
Oleh FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
Editor: ANDY RIZA HIDAYAT
Sumber: Kompas, 30 Maret 2020