Organisasi Kesehatan Dunia memastikan Indonesia telah siap menghadapi penyebaran virus korona tipe baru. Namun, surveilans mengenai kasus ini perlu ditingkatkan untuk mendeteksi masuknya virus tersebut di Tanah Air.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memastikan Indonesia telah siap menghadapi penyebaran virus korona tipe baru. Meskipun belum ada laporan kasus positif di Indonesia, pemeritah dinilai harus sigap jika ada kasus yang terkonfirmasi.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 10 Februari 2020 pukul 18.00, ada 64 spesimen dari pasien dalam pengawasan virus korona tipe baru yang diterima Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Dari jumlah itu, 62 spesimen menunjukkan hasil negatif, sedangkan dua spesimen lain masih diperiksa. Kasus itu tersebar di 16 provinsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepala Perwakilan WHO untuk Indonesia Paranietharan memastikan tak ada laporan kasus positif terinfeksi virus korona tipe baru di Indonesia. Meskipun demikian, surveilans aktif dalam penanganan virus itu harus ditingkatkan di seluruh wilayah Indonesia.
”Dari laporan yang diterima WHO, Indonesia tak ada kasus terkonfirmasi. Dari semua tes yang dilakukan dalam pemeriksaan (spesimen), hasilnya semua negatif. Jika ada, pasti pemerintah melalui Kementerian Kesehatan akan laporkan langsung,” tuturnya seusai seminar bertajuk ”nCoV-Public Health International Emergency Concern: Peningkatan Kewaspadaan”, di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (11/2/2020).
Indonesia juga memiliki kompetensi terstandar untuk menangani penularan virus korona baru. Kapasitas laboratorium yang dimiliki Indonesia untuk mendeteksi virus itu sudah teruji. Untuk itu, menurut dia, tidak benar jika Indonesia tidak mampu mendeteksi virus korona tipe baru.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan Siswanto menjelaskan, Indonesia memiliki alat yang digunakan untuk mendeteksi virus korona tipe baru. Balitbangkes juga dilengkapi sarana Biosafety Level 3 (BSL-3) yang bisa memeriksa agen atau penyebab infeksi sejumlah virus, seperti flu burung (H5N1), sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS CoV), sindrom pernapasan akut parah (SARS CoV), dan virus korona jenis baru (2019-nCoV).
Setidaknya ada dua metode yang digunakan dalam pemeriksaan spesimen orang dalam pengawasan virus korona tipe baru. Metode pertama dengan memakai proses whole genome sequencing (pengurutan seluruh genom). Adapun metode kedua memakai reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR).
”Balitbangkes memiliki primers untuk novel coronavirus dengan metode RT-PCR. Pemeriksaan dengan metode ini bisa lebih cepat menjadi satu hari,” katanya.
Berdasarkan data WHO per 10 Februari 2020, total kasus virus korona tipe baru secara global yang terkonfirmasi 40.554 kasus. Jumlah itu meningkat lebih dari 3.000 kasus dari kemarin. Dari total kasus yang dilaporkan, sebanyak 319 kasus dikonfirmasi berada di luar China yang tersebar di 24 negara. Jumlah kematian terjadi akibat virus ini tercatat 909 kasus di China dan 1 kasus di Filipina.
Surveilans
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Ascobat Gani menyatakan, upaya surveilans dalam penanganan virus korona tipe baru perlu diperkuat di Indonesia. Pemerintah mesti memastikan sumber daya yang dimiliki, baik anggaran maupun tenaga surveilans, disiapkan di seluruh wilayah.
”Yang ideal, setiap puskesmas yang menjadi ujung tombak kesehatan masyarakat memiliki tenaga surveilans profesional. Begitu pula di rumah sakit yang ada di daerah. Indonesia memiliki wilayah kepulauan yang luas sehingga pemenuhan tenaga surveilans menjadi kendala. Karena itu, pemerintah perlu memiliki peta wilayah prioritas yang harus diperkuat surveilansnya,” tuturnya.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam memaparkan, selain upaya surveilans pada masyarakat, pemantauan lebih lanjut pada pasien yang pernah dicurigai terinfeksi virus korona jenis baru juga perlu dilakukan. Meskipun hasil pemeriksaan dari pasien itu menunjukkan hasil negatif, pemantauan lanjutan tetap dijalankan tenaga kesehatan.
”Penanganan pada kasus yang pernah dicurigai juga penting. Kita perlu menindaklanjuti kasus suspect yang sudah diperiksa dengan hasil negatif. Hal ini diperlukan mengingat ada temuan kasus di Jepang yang dari hasil pemeriksaan sebelumnya dinyatakan negatif, tetapi setelah diperiksa kembali ternyata positif,” tuturnya.
Oleh DEONISIA ARLINTA
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 11 Februari 2020