Dari 2.823 rumah sakit, hingga kini baru 3 persen atau 85 rumah sakit yang sudah menarik semua alat kesehatan berbahan merkuri tersebut.
Hingga akhir 2019, setidaknya baru sekitar 3 persen rumah sakit di Indonesia yang terbebas dari alat kesehatan mengandung merkuri. Padahal, pemerintah menargetkan alat kesehatan Indonesia 100 persen bebas dari merkuri pada 2020.
Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri menjelaskan bahwa pemerintah menargetkan penghapusan merkuri 100 persen untuk bidang prioritas kesehatan pada 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Anggota Ombudsman RI, Adrianus Meliala, menyerahkan dokumen rekomendasi kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (B3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati di Jakarta, Senin (16/12/2019).
Untuk mempercepat pemenuhan target tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mengeluarkan Permenkes Nomor 41 Tahun 2019 tentang Penghapusan dan Penarikan Alat Kesehatan Bermekuri di Fasilitas Layanan Kesehatan. Dari 2.823 rumah sakit, hingga kini baru 3 persen atau 85 rumah sakit yang sudah menarik seluruh alat kesehatan berbahan merkuri tersebut.
”Melalui data e-monev limbah medis dan merkuri, kami sudah mendapati 85 rumah sakit yang sudah melakukan penghapusan merkuri di 23 provinsi,” kata Kepala Subdirektorat Penanganan Limbah dan Radiasi Direktorat Kesehatan Lingkungan Kemenkes Jelsi Natalia Marampa di Jakarta, Senin (16/12/2019).
Bukan hanya rumah sakit, saat ini Kemenkes terus melakukan sosialisasi kepada seluruh fasilitas kesehatan untuk menarik penggunaan alat kesehatan bermekuri. Menurut Jelsi, masih ada waktu untuk fasilitas kesehatan di daerah meninggalkan merkuri hingga 31 Desember 2020.
Setidaknya, ada tiga alat kesehatan yang harus segera ditarik, yakni termometer, tensimeter, dan dental amalgam. Untuk penggunaan termometer dan tensimeter, Jelsi menyebutkan, bisa diganti dengan peralatan digital, sedangkan dental amalgam diganti dengan komposit.
Jelsi menambahkan, dalam Permenkes No 41/2019 sudah ada mekanisme inventarisasi terpisah alat kesehatan bermerkuri setelah ditarik. Alat-alat kesehatan tersebut tidak boleh disimpan dalam tempat serampangan, terlebih untuk alat kesehatan yang kondisinya pecah.
”Rumah sakit saat ini masih menyimpannya dalam wadah dan ditaruh di satu ruangan terpisah dari alat lain. Untuk yang pecah masuk dalam pengelolaan limbah B3,” kata Jelsi.
Tidak mudah
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (B3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, penanganan alat kesehatan yang sudah tidak digunakan tersebut menjadi kewenangan KLHK. Pengelolaannya, menurut dia, tidak mudah.
”Merkuri adalah bahan kimia yang tidak bisa larut ke lingkungan dan justru mencemari. KLHK kini masih menyusun standar dan teknologi untuk memusnahkan atau menyimpan merkuri,” katanya.
KOMPAS/KOMPAS/ERIKA KURNIA–Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah dan B3 Kementerian LHK Rosa Vivien Ratnawati.
Menurut Rosa, penyimpanan alat kesehatan bermerkuri, baik yang utuh maupun pecah, berbeda dengan tempat penyimpanan limbah B3 lainnya. Pengolahannya pun berbeda. Bukan lagi dimusnahkan menggunakan insinerator.
”Bukan berarti didiamkan. Sudah ada bantuan dari Jepang. Mereka juga membuat proyek percontohan,” kata Rosa.
Selain itu, Rosa menyampaikan bahwa pemulihan lingkungan terdampak merkuri juga masih menjadi tantangan utama yang dihadapi oleh KLHK. Kerja sama dengan banyak pihak saat ini terus dijalin KLHK, termasuk dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Saat ini, KLHK tengah membuat sebuah proyek percontohan pengolahan merkuri di Kabupaten Lebak, Banten, yang menjadi lokasi bekas penambangan emas skala kecil. Rosa berharap agar proyek percontohan tersebut segera selesai sehingga bisa direplikasikan ke daerah lain.
Malaadministrasi
Terkait dengan upaya pengurangan dan penghapusan merkuri tersebut, Ombudsman RI berkomitmen untuk ikut mengawasi prosesnya lantaran memiliki potensi malaadministrasi. Untuk itu, Ombudsman menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada sejumlah kementerian yang menjadi regulator.
Dalam hal ini, anggota Ombudsman RI, Adrianus Meliala, mengamati, potensi malaadministrasi yang memungkinkan terjadi adalah penundaan yang berlarut. Hal ini bisa menyebabkan target yang ditentukan tidak tercapai sehingga perlu ada penundaan target.
Untuk itu, Adrianus memberikan masukan kepada KLHK untuk membentuk tim sekretariat dan kelompok kerja pelaksanaan rencana aksi nasional dengan melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan unsur penegak hukum. Selain itu, mereka juga perlu menyusun petunjuk pelaksanaan teknis.
”KLHK perlu membuat mekanisme penarikan dan penghentian alat kesehatan serta memulihkan lahan terkontaminasi,” katanya.
Paparan penambang emas
Kepada Kemenkes, Adrianus menyarankan agar memantau dan mengevaluasi seluruh rumah sakit di daerah dan puskesmas terkait pengendalian pajanan merkuri. Hal tersebut perlu disertai dengan hasil kajian.
”Perlu dilakukan pemetaan kelompok kerja petambang emas rakyat dan masyarakat yang terpapar merkuri berdasarkan data wilayah kerja merkuri,” ucapnya.
KOMPAS/NIKSON SINAGA–Para pekerja tambang emas rakyat melakukan aktivitas penggalian dengan mesin dompeng di Kecamatan Batang Natal, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Selasa (12/11/2019). Meskipun tidak menggunakan bahan kimia berbahaya, seperti merkuri dan sianida, pertambangan itu membuat lubang besar dan air yang keruh di sepanjang Sungai Batang Natal. Tambang rakyat perlu ditata agar tidak merusak lingkungan, tetapi tetap memberikan kesejahteraan kepada rakyat.
Sementara itu, Perpres Nomor 21 Tahun 2019 juga mewajibkan pimpinan daerah menyusun rencana aksi daerah penghapusan dan pengurangan merkuri. Menurut Adrianus, dari sekitar 800 pemerintah daerah, akan ada daerah yang serius menghapus merkuri dan ada yang tidak. Belum lagi jika mereka menghadapi petambang emas ilegal.
”Misal ada petambang yang dikuasai oleh pihak-pihak hebat di belakangnya. Untuk itu, regulasi di pemerintah daerah harus dikawal,” ujarnya.
Oleh FAJAR RAMADHAN
Editor: HAMZIRWAN HAM
Sunber: Kompas, 16 Desember 2019