Besaran anggaran riset Indonesia masih jauh dari ideal. Keterbatasan itu menuntut riset dan inovasi yang lebih terarah hingga mampu menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi.
Struktur Kementerian Riset dan Teknologi (Ristek) dalam kabinet Joko Widodo-Ma’ruf Amien berbeda dibanding kabinet sebelumnya. Kini, Menteri Ristek juga menjadi Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), lembaga yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Bambang Brodjonegoro memenuhi undangan Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (22/10/2019). Presiden Joko Widodo hari itu kembali mengudang sejumlah tokoh untuk masuk ke dalam daftar calon menteri di kabinetnya. Kompas/Heru Sri Kumoro
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk mengetahui rencana pengembangan riset dan teknologi lima tahun ke depan, Kompas mewawancari Menristek/Kepala BRIN Bambang PS Brodjonegoro di Jakarta, Rabu (27/11/2019). Sebelumnya, Bambang pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dalam Kabinet Kerja Jilid I. Berikut kutipan wawancara tersebut:
Bagaimana visi Presiden untuk pengembangan iptek?
Presiden ingin anggaran riset yang masih mencapai 0,25 persen produk domestik bruto (PDB) tepat sasaran dan efisien. Saat ini, dana sebesar Rp 32 triliun sampai Rp 33 triliun itu tersebar di berbagai kementerian dan lembaga hingga orientasinya hanya menyerap anggaran, bukan hasil risetnya. Ke depan, penggunaan anggaran harus terkendali.
Dalam kementerian kali ini, nama inovasi dicantumkan. Presiden ingin inovasi jadi penggerak ekonomi Indonesia hingga membuat Indonesia lepas dari jebakan negara kelas menengah dan menjadi maju.
Mengapa inovasi dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi?
Ekonomi Indonesia masih bergantung pada sumber daya alam (SDA). Pada 1990an, ekonomi sudah mengarah ke manufaktur meski tetap berbasis SDA. Polanya masih mengarah ke ekonomi yang digerakkan oleh efisiensi (efficiency driven). Walau mengadopsi teknologi, tapi sekedar merakit, belum jadi produsen riil yang menghasilkan produk berdasar ide, desain, dan purwarupa sendiri.
Pola itu harus diubah karena ekonomi Indonesia tidak akan pernah kompetitif selama bergantung pada teknologi atau membeli lisensi teknologi negara lain. Indonesia harus menjadi produsen yang dihormati karena memiliki daya saing dan keunggulan, bukan sekedar konsumen yang manis.
Karena itu, pertumbuhan ekonomi harus didorong inovasi (inovation driven). Itu butuh upaya sistematis dan fokus pada bidang yang jadi unggulan dan kebutuhan bangsa.
KOMPAS/ALIF ICHWAN–Karyawan stan pameran mengoperasikan alat pencetak mangkok plastik di pameran Plastic dan Rubber Indonesia 2019 yang berlangsung di Jakarta International Expo (JlExpo) Kemayoran, Jakarta, Rabu (20/11/2019). Pameran yang diikuti 500 perusahaan dari 22 negara,.menghadirkan mesin, pengolahan, teknologi dan inovasi terkini untuk pengemasan, cetakan, pewarna serta bahan plastik dan karet. Pameran berlangsung hingga 23 November 2019.Kompas/Alif Ichwan20-11-2019
Apa strategi mewujudkannya mengingat inovasi belum jadi napas industri kita?
Inovasi tidak selalu berkaitan dengan teknologi canggih, hal sederhana yang berdampak pada masyarakat pun bisa jadi inovasi.
Untuk menjangkau industri, ada dua pendekatan. Pertama, pemerintah mendorong industri memanfaatkan super deduction tax hingga 300 persen melalui Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan atas PP Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.
Fasilitas itu diberikan bagi perusahaan, swasta atau milik negara, yang melakukan penelitian dan pengembangan (litbang) atau menjadikan Indonesia sebagai hub (penghubung) litbang minimal di Asia Tenggara.
Kedua, pemerintah akan mendorong swasta yang tertarik melakukan riset untuk bekerja sama dengan lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) di bawah Kemristek atau lembaga litbang kementerian dan lembaga lain meski tanpa insentif khusus. Namun, riset yang dilakukan harus sesuai prioritas riset nasional.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO–Menteri Riset dan Teknologi / Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro (kiri) berbincang dengan Ketua Dewan Pengurus SDM-Iptek The Habibie Center Prof Eng Wardiman Djojonegoro (kanan) saat acara Habibie Award Periode ke 21/2019 di Hotel Le Meridien, Jakrarta, Selasa (12/11/2019). Kompas/Rony Ariyanto Nugroho
Kembali soal anggaran riset, ada rencana naikkan anggaran hingga 2 persen PDB sesuai saran Unesco (Badan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa)?
Saat menyusun visi Indonesia 2045 di Bappenas, Indonesia ditarget jadi negara maju pada 2040 dengan pendapatan per kapita lebih dari 13.000 dollar Amerika Serikat (sekitar Rp 182 juta per orang per tahun). Anggaran litbang ditarget 2,5 persen PDB atau sekitar 7 triliun dollar AS. Itu dana besar yang bisa gerakkan riset lebih masif dan berkualitas.
Dana sebesar itu, sebagian besar diharapkan disumbang swasta. Selama ini, kondisnya terbalik karena sebagian besar anggaran riset dari pemerintah. Dengan fasilitas pajak yang diberikan, diharapkan makin menarik swasta melakukan litbang. Keterlibatan swasta juga akan memberdayakan peneliti Indonesia hingga peneliti bisa menjadi profesi yang menarik.
Bicara soal peneliti, Indonesia menargetkan punya rasio 6.000 peneliti per sejuta penduduk pada 2045 dari rasio saat ini 1.000 peneliti per sejuta penduduk. Bagaimana mencapainya?
Itu harus berangkat dari akar masalah. Saat ekonomi mengarah ke inovasi, akan tahu kebutuhan sumber daya manusia. Dari aspek pendidikan, lulusan sains, teknologi, rekayasa dan matematika (STEM) harus diperbanyak agar lebih mampu beradaptasi dengan teknologi terbaru. Insentif perlu diberikan ke perguruan tinggi yang mau mengembangkan STEM.
Jika lulusan STEM banyak, maka bisa didorong munculnya perusahaan rintisan (startup) berbasis teknologi. Ini akan mendorong inovasi sekaligus munculnya wirausahawan baru yang masih terbatas.
Ada pesan khusus Presiden terkait Industri 4.0?
Kemristek berada dibawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sehingga invensi dan inovasi yang dihasilkan harus berdampak langsung pada peningkatan daya saing dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Inovasi harus bermanfaat langsung pada masyarakat.
Untuk pengembangan perusahaan rintisan, pemerintah akan mendorong semua bentuk perusahaan rintisan, bukan hanya yang terkait dengan teknologi digital. Selama ini, dana investor memang lebih banyak tertuju ke perusahaan rintisan digital hingga banyak muncul perusahaan rintisan berbasis teknologi digital.
Pemerintah ingin fokus mengembangkan perusahaan rintisan teknologi non digital yang mampu membuat produk baru atau mempermudah proses. Perusahaan rintisan digital yang ada pun diarahkan untuk mampu menggerakkan sektor riil dan fokus pada produk dalam negeri.
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA –Sepeda-sepeda listrik hasil riset Universitas Sebelas Maret UNS), Solo berderet di halaman Rektorat UNS, Selasa (12/4/2016). UNS meluncurkan produk sepeda listrik sebagai wujud hilirisasi hasil riset perguruan tinggi. Untuk tahap awal, sepeda listrik ini digunakan para petugas pengantar surat di lingkungan kampus UNS, Solo.
Inovasi jadi fokus pemerintah, lantas dimana posisi riset, termasuk riset dasar dan sosio-humaniora?
Riset apapun seharusnya bisa dilanjutkan atau diturunkan menjadi riset terapan, tidak terhenti pada riset dasar. Karena itu, litbang yang memunculkan invensi harus terus dihilirkan hingga menghasilkan inovasi. Itu adalah satu rangkaian proses penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap) yang harus dijalankan berbagai pihak dan diamanatkan dalam UU Sisnas Iptek.
Semua bidang keilmuan dicakup BRIN, termasuk riset bidang sosiohumaniora, seperti pendidikan, seni budaya, keagamaan dan olahraga. Proses riset dalam satu bidang juga akan dilakukan lebih terintegrasi, misal untuk riset kesehatan akan diarahkan tidak hanya pada riset di laboratorium, tapi juga riset untuk produksi alat-alat kesehatan, cangkang kapsul berbahan rumput laut, atau apapun terkait kesehatan.
Bagaimana pengelolaan BRIN ke depan?
BRIN adalah amanat UU Sisnas Iptek untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan (litbangjirap) iptek hingga menghasilkan invensi dan inovasi yang terintegrasi. BRIN akan menjadi rumah (holding) yang mengoordinasikan perencanaan, pemrograman, penyusunan anggaran hingga pengawasan dan evaluasi semua riset dan inovasi di Indonesia.
LPNK maupun lembaga litbang kementerian dan lembaga akan tetap ada namun dibawah koordinasi BRIN. Demikian pula litbang yang ada di perguruan tinggi. Agenda riset berbagai lembaga itu akan mengacu pada prioritas riset nasional yang diturunkan dari Rencana Induk Riset Nasional.
Lembaga-lembaga itu tidak bisa menentukan agenda riset sendiri. Anggaran riset mereka tidak akan keluar jika tidak disetujui BRIN dan BRIN hanya akan menyetujui anggaran mereka jika risetnya mengacu ke prioritas nasional.
Proses litbangjirap akan diarahkan untuk memberi solusi atas permasalahan riil masyarakat. Saat ini, pemerintah belum bisa memberi peneliti kemewahan (luxury) untuk bisa melakukan riset sesuai keinginan peneliti.
Karena itu, peneliti dan perekayasa tidak perlu resah (dengan kehadiran BRIN) karena tidak ada perubahan signifikan. Kalau ada perubahan, itu untuk mengarah kepada hal yang lebih baik.
Apa ada proyek mercusuar yang ingin Bapak dorong dalam lima tahun ke depan?
Saya ingin proses komersialisasi dan produksi motor listrik, bukan mobil listrik, benar-benar bisa berjalan hingga paling lambat pada tahun 2021, motor listrik bisa menjadi alat transportasi alternatif di kota-kota besar. Motor listrik dipilih karena tingkat kesiapan teknologinya sudah mencapai tingkat tertinggi. Industri motor listrik itu juga akan memunculkan riset dan industri pendukung, seperti komponen atau suku cadang motor listrik. Saya ingin, komponen dalam negeri motor listrik ini benar-benar tinggi.
Motor listrik memang belum menjadi pilihan masyarakat atau pasar. Karena itu, pola kerja sama triple helix dimana pemerintah menjembatani akademisi dan industri akan terus didorong. Kerja sama itu diperlukan karena dunia usahalah yang memahami selera masyarakat dan membentuk pasar.
Triple helix ini adalah skema kerja sama untuk menghilirisasi riset yang paling sederhana. Pola ini pula yang mampu mengantarkan Swedia menjadi negara paling inovatif di dunia. Kita tinggal mencontohnya, tentu dengan sedikit penyesuaian.
Ada target 100 hari?
Saya harus segera menyelesaikan struktur lengkap BRIN. Saya juga ingin Peraturan Menteri Keuangan sebagai turunan PP 45 Tahun 2019 tentang super deduction tax segera keluar hingga bisa mendorong swasta segera terlibat dalam kegiatan litbang. Selain itu, peraturan pemerintah sebagai turunan UU Sisnas Iptek juga harus segera dirancang.
Kemristek/BRIN juga tidak mungkin menjalankan riset sendiri. Karena itu, koordinasi dengan kementerian dan lembaga lain harus segera dilakukan. Saya juga ingin melakukan pendekatan khusus ke sejumlah kementerian, khususnya yang memiliki fungsi litbang besar, hingga mereka bisa segera sejalan dengan prioritas riset nasional dan sesuai dengan garis riset yang diinginkan Presiden.
Oleh LARASWATI ARIADNE ANWAR/M ZAID WAHYUDI
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 29 November 2019