Atasi Gempa, Perlu Standar Baru Infrastruktur

- Editor

Kamis, 11 Juli 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bencana-bencara besar sering mendapat perhatian besar publik. Namun, bencana berdampak lebih kecil ternyata lebih sering terjadi, nyaris mingguan frekuensinya. Negara-negara berkembang terdampak signifikan. Dampak bencana berupa kematian, pengungsian warga, dan penderitaan lainnya terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan. “Ini bukan masalah masa depan, ini masalah sekaang,” ujar Mami Mizutori, perwakilan Sekjen PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana, dikutip dari “The Guardian”, Minggu (7/7/2019)

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO–Longsor di Cililin – Rumah milik Asep Suratman (45) di Kampung Jati Radio, Desa Cililin, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, rusak parah setelah diterjang tanah longsor, Maret 2017. Musibah ini merusak dua rumah warga, dan mengakibatkan 2 warga terluka. Tidak ada korban jiwa dalam musibah ini namun warga masih trauma serta khawatir terjadi longsor susulan. Perlu perubahan standar untuk bangunan infrastruktur baru yang lebih tahan terhadap dampak perubahan iklim. –Kompas/Rony Ariyanto Nugroho (RON)–11-03-2017

Menurut Mizutori, pembahasan harus mulai bergeser pada bagaimana membuat standar baru untuk bangunan infrastruktur yang baru. Perubahan itu agar bangunan infrastruktur lebih tahan terhadap efek pemanasan global atau dampak perubahan iklim seperti banjir, suhu ekstrem, badai. Pembaruan standar juga perlu dilakukan untuk pembangunan jalan, rel KA, pabrik-pabrik, pembangkit listrik, dan jaringan air minum.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dia memperkirakan, tambahan biaya untuk perubahan itu hanya sekitar tiga persen. Nilai secara global sekitar 2,7 triliun dollar AS (sekitar Rp 37.800 triliun). “Jumlahnya tidak besar namun investor tidak menyediakan, Ketahanan harus menjadi hal yang kita bayar. Tanpa memperhitungkan investasi di bidang adaptasi, kita tidak akan selamat,” ujar Mizutori.

Pekan lalu beberapa negara Eropa diserang arus udara panas dari Gurun Sahara. Suhu panas tersebut merupakan rekor terpanas, melebihi rekor sebelumnya pada Juni 2016. Pekan lalu, catatan udara panas mencapai 45,5 derajat Celsius.

Sebagai langkah adaptasi dan mitigasi untuk mengurangi risiko bencana, dibutuhkan beberapa hal. Di antaranya, sistem peringatan dini untuk cuaca buruk atau ancaman bencana, infrastruktur yang lebih baik guna menghadapi kekeringan atau pun banjir, serta kejelian pemerintah melihat kerentanan. Solusi terbaik adalah menggunakan kondisi ekosistem secara alami untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Ekosistem seperti hutan mangrove, gambut, dan hutan alam, harus diutamakan.

Mereka yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah kaum miskin, perempuan, anak-anak, kaum difabel, pengungsi. Selain itu, mereka yang tinggal di permukiman yang tidak memiliki akses pada kebutuhan dasar kebersihan dan kesehatan.

Mizutori menggarisbawahi pendekatan persoalan perubahan iklim yang amat sektoral. Persoalan iklim dan emisi gas rumah kaca biasanya diurusi kementerian-kementerian khusus: ekonomi, lingkungan, atau energi. Sementara yang bertanggung jawab membangun infrastruktur adalah kementerian yang berbeda, sedangkan urusan perlindungan masyarakat diurusi bagian pemerintahan yang lain lagi. (The Guardian/ISW)

Sumber: Kompas, 9 Juli 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB