Dalam Shell Eco-Marathon Asia, mobil-mobil buatan para mahasiswa Indonesia tampak compang-camping dibandingkan dengan buatan dari negara-negara lain. Namun, kemampuan mobil-mobil buatan tim Indonesia itu tidak bisa dipandang remeh, bahkan merajai sejumlah kategori mobil hemat energi.
Tampilan mobil-mobil karya para mahasiswa Indonesia tidak mulus. Jendela dan kap mobil direkatkan lakban tak simetris, sisa potongan seperti pintu dan ban pun tak simetris.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Tim 5 Institut Teknologi Sepuluh Nopember bersama mobil mereka, Antasena, usai memenangi juara dua Drivers World Championship Shell Eco-Marathon Asia 2019 di Sirkuit Internasional Sepang, Malaysia, Kamis (2/5/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Karena buatan sendiri, banyak bagian tak rata,” kata Manajer Tim 5 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Ghalib Abyan saat pemeriksaan teknis di Shell Eco-Marathon (SEM) Asia 2019 di Sirkuit Internasional Sepang, Malaysia, Senin (29/4/2019). Tim 5 ITS menurunkan Antasena, mobil konsep urban bahan bakar hidrogen, berkompetisi kategori pembakaran internal.
Antasena adalah mobil urban berbahan bakar hidrogen pertama di Indonesia. Universitas Pendidikan Indonesia pun mengembangkan mobil hidrogen, yakni Simha Cetha. Keduanya berlaga di SEM Asia 2019.
Pada kategori itu hanya ada lima mobil konsep urban yang ikut serta. Menurut Direktur Teknis SEM Asia Colin Chin, hal itu karena mesin hidrogen baru di Asia. Sedikit perguruan tinggi meneliti dan mempraktikkannya dalam rancang bangun mobil hemat energi. ”Kompetisi berat karena semua negara peserta pemula di kategori hidrogen. Hasil lomba tak bisa diduga,” katanya.
Antasena di kategori ini jadi pemenang kedua. Posisi pertama mobil konsep urban kategori hidrogen direbut NTU Venture 10 dari Universitas Teknologi Nanyang, Singapura.
Kejutan terjadi di final SEM Asia 2019, yakni Drivers World Championship (DWC). Sembilan mobil konsep urban yang jadi pemenang tiga besar di tiga kategori diadu. Selain hidrogen, kategori lain ialah pembakaran internal (bensin, solar, dan etanol) serta baterai elektrik.
Chin memaparkan, mobil hidrogen tak pernah jadi jagoan di DWC karena mesinnya cepat panas dan mogok di tengah lomba. Biasanya DWC dikuasai mobil-mobil pembakaran internal yang dirajai Indonesia. Di kategori ini, 9 dari 10 besar adalah mobil-mobil Indonesia.
Tak disangka, NTU Venture 10 menjadi juara DWC, disusul Antasena di posisi kedua. Posisi ketiga ialah LH Green bertenaga baterai listrik dari Universitas Lac Hong, Vietnam. ”Jadi, riset mesin mobil bertenaga hidrogen berkembang di perguruan tinggi. Kami berharap banyak variasi kendaraan di SEM mendatang,” kata Chin.
Modal sendiri
SEM menekankan prinsip tiap tim mandiri merancang dan membangun mobil. Mereka harus mencari sponsor dan menyiasati keterbatasan dana. Yoga Mugiyo Pratama, pengemudi Antasena, menuturkan, tim mengirit dana pembuatan mobil ini dengan biaya Rp 160 juta. Rp 100 juta di antaranya untuk impor sel bahan bakar (fuel cell) bagi hidrogen.
Tim membuat sasis dan badan Antasena. Badan dari serat karbon yang mereka cetak manual dari papan tripleks dan gipsum. Badan mobil dihaluskan agar rata dan seimbang. ”Mengampelasnya sepenuh jiwa dan raga. Hampir satu tahun tidur hanya tiga jam tiap hari demi membangun mobil,” kata Yoga sambil tertawa mengenang perjuangan timnya.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–NTU Venture 10, mobil konsep urban berbahan bakar hidrogen karya Universitas Teknologi Nanyang, Singapura menjadi juara pertama Drivers World Championship Shell Eco-Marathon Asia 2019 di Sirkuit Internasional Sepang, Malaysia, Kamis (2/5/2019).
Berbeda dengan NTU Venture 10. Dosen Fakultas Teknik Mesin dan Luar Angkasa NTU Ng Heong Wah mengungkapkan, pihak universitas menanggung biaya pembuatan mobil tersebut. Ia enggan menyebutkan jumlah biayanya, namun mahasiswa merancang bentuk dan komponennya yang kemudian dicetak secara profesional di industri.
Walhasil, mobil NTU Venture 10 tampak mulus. Kubahnya terbuat dari polikarbonat dan badan mobil dari serat karbon kevlar. Bahan ini digunakan sebagai bahan rompi antipeluru di kepolisian dan militer sehingga sangat ringan. Bentuk badan juga komposit, yaitu kursi pengemudi dicetak menyatu dengan badan mobil. Mahasiswa tinggal memasang mesin dan roda.
Yoga mengutarakan, Tim 5 ITS juga akan mengembangkan riset untuk cetak komposit badan mobil yang melebur dengan kursi pengemudi. Akan tetapi, prioritas saat ini adalah bisa membual sel bahan bakar hidrogen sendiri.
“Sudah ada beberapa ide yang didiskusikan tim, tapi kami mau memakai kesempatan SEM Global di Inggris untuk melihat mobil-mobil hidrogen dari negara lain, terutama Eropa. Siapa tahu mereka punya cara yang lebih efisien,” katanya.
Kreatif
Kreativitas mahasiswa Indonesia diakui oleh para dosen. Menurut mereka, minimnya pendanaan memaksa mahasiswa untuk benar-benar memanfaatkan segala hal yang mereka punya sebaik mungkin.
Salah satu contohnya adalah mobil konsep urban Pandawa dari Universitas Negeri Semarang (Unes). Pada SEM Asia 2018 mereka tidak masuk ke dalam sepuluh besar di kategori pembakaran internal. Tahun 2019, mobil bermodalkan Rp 30 juta ini menduduki peringkat kedelapan. Demikian pula dengan Moran alias “Modal Iuran” dari Universitas Lampung yang juga menghabiskan biaya Rp 30 juta. Ia kini duduk di peringkat kesembilan di kategori pembakaran internal.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Moran alias “Modal Iuran” dari Universitas Lampung berhasil menduduki peringkat kesembilan di sepuluh besar mobil konsep urban kategori pembakaran internal di Shell Eco-Marathon Asia 2019 di Sirkuit Internasional Sepang, Malaysia, Rabu (1/5/2019).
Pandawa dan Moran terbuat dari serat kaca. Bahan ini sangat murah, walaupun tidak seringan dan sekuat serat karbon yang digunakan oleh mobil-mobil lain. Dosen Teknik Otomotif Unes Ahmad Mustamil Khoiron mengatakan, keterbatasan ini membuat mahasiswanya luar biasa kreatif.
” Mereka memodifikasi mesin motor menjadi lebih hemat sekaligus tarikannya lebih kencang. Ini yang membedakan mahasiswa Indonesia dengan negara-negara lain. Anak-anak luar negeri modifikasi mesinnya masih konservatif, tidak seekstrem mahasiswa kita,” ujarnya.–LARASWATI ARIADNE ANWAR
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 5 Mei 2019