Hidup di Luar Angkasa Picu Penuaan Dini

- Editor

Senin, 15 April 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dalam fisika, terdapat paradoks kembar tentang orang kembar yang salah satunya melakukan perjalanan antariksa menggunakan roket dan satunya tetap tinggal di Bumi. Saat kembali, orang yang melakukan perjalanan antariksa menjadi lebih muda dibanding yang tetap ada di Bumi.

Pelambatan proses penuaan orang yang melakukan perjalanan itu adalah buah dari konsep tentang dilatasi atau pemuluran waktu. Namun, situasi itu hanya berlaku jika orang yang melakukan perjalanan itu bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya, yaitu 300.000 kilometer per detik.

ROBERT MARKOWITZ/NASA–Antariksawan kembar NASA Scott Kelly (kanan) dan Mark Kelly yang menjadi obyek Studi Kembar NASA untuk mengetahui dampak kesehatan akibat tinggal lama di luar angkasa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Situasi itu akan berbeda jika orang yang melakukan perjalanan antariksa bergerak dengan kecepatan yang jauh lebih rendah dari kecepatan cahaya. Kondisi itulah yang dialami sejumlah antariksawan yang tinggal cukup lama di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).

Studi yang dilakukan Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional (NASA) Amerika Serikat terhadap dua antariksawan kembar, Scott Joseph Kelly dan Mark Edward Kelly. Meski pernah sama-sama bertugas di ISS, Scott Kelly menghabiskan waktu lebih lama di ISS.

Namun yang ditemukan, Scott justru menua lebih cepat secara biologis dibanding kembarannya Mark yang lebih banyak berada di Bumi. Kondisi yang berbeda dengan paradoks kembar itu logis mengingat Scott hanya mengikuti gerak ISS yang mengorbit Bumi dengan kecepatan 7,66 kilometer per detik atau 0,000025 kecepatan cahaya.

Percepatan penuaan yang justru dialami Scott Kelly bisa dipicu banyak hal, mulai dari radiasi tinggi, gaya berat atau gaya gravitasi mikro, kurang tidur, hingga tinggal di lingkungan ISS yang sempit dalam waktu lama. Semua kondisi itu bisa memengaruhi tubuh yang memicu penunaan, juga meningkatkan risiko kanker.

Meski demikian, dari studi yang dipublikasikan di jurnal Science, Jumat (12/4/2019) itu, kondisi yang mempercepat penuaan seperti yang dialami Scott Kelly dan antariksawan lain itu tidak ekstrem. Saat mereka kembali ke Bumi, efek buruk itu pun hilang dan kondisi biologis antariksawan pulih kembali.

Studi kembar
Mempelajari perbedaan biologis yang terjadi dari orang-orang yang tinggal di luar angkasa, namun durasinya berbeda, dan membandingkannya dengan yang tinggal di Bumi adalah kesempatan langka. Apalagi, jika responden kembar identik. Karena itu, NASA tak melewatkan kesempatan saat dua saudara kembar Scott dan Mark sama-sama terpilih sebagai antariksawan.

Mark melakukan perjalanan luar angkasa sebanyak empat kali, yaitu pada misi STS-108 pada 2001, STS-121 pada 2006, STS-124 pada 2008 dan STS-134 pada 2011. Lama Mark tinggal di luar angkasa dari setiap misi adalah kurang dari dua minggu. Sepanjang karir antariksawannya hingga 2011, Mark telah mengumpulkan waktu di luar angkasa sebanyak 54 hari.

Sementara Scott, juga telah empat kali terbang menuju luar angkasa, yaitu pada misi STS-103 pada 1999, STS-118 pada 2007, Soyuz TMA-01M (Expedition 25/26) pada 2010 dan Soyuz TMA-16 M (Expedition 43/44/45/46) pada 2015.Total waktu yang dijalani Scott di luar angkasa mencapai 520 hari atau 1,5 tahun.

NASA–Antariksawan Scott Kelly saat bertugas di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) pada 2015.

Misi terakhir Scott memang untuk melihat dampak biologis dan kesehatan akibat tinggal lama di luar angkasa. Pada saat itu, Scott terbang ke ISS pada 27 Maret 2015 dan baru kembali ke Bumi pada 1 Maret 2016. Itu berarti, hanya di misi keempatnya saja, Scott menghabiskan waktu selama 342 hari di luar angkasa.

Studi tentang dampak tinggal dalam waktu lama di luar angkasa itu dipergunakan untuk melihat kemungkinan manusia melakukan perjalanan ke Mars yang butuh 9 bulan untuk sekali jalan. Agar perjalanan ke Mars efisien, manusia harus disiapkan tinggal di luar angkasa selama 30 bulan yang terdiri dari 9 bulan perjalanan Bumi ke Mars, 12 bulan tinggal di Mars dan 9 bulan perjalanan kembali Mars ke Bumi.

Sementara itu, studi dengan responden orang kembar identik akan memberikan perbandingan yang baik karena orang kembar identik memiliki kondisi genetika atau asam deoksiribonukleat yang sama.

Dalam studi yang dipimpin Francine E Garrett-Bakelman dari Weill Cornell Medicine, New York, AS itu, kondisi kesehatan kedua antariksawan kembar itu dipantau, baik sebelum, selama dan sesudah salah satunya pulang dari luar angkasa.

Penyelidikan dampak kesehatan antariksawan itu terdiri atas 10 penelitian terpisah, dengan obyek riset dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tema penelitian itu antara lain tentang kemampuan kognisi otaknya, kesehatan penglihatan dan perubahan bakteri usus. Sebagian besar penelitian itu dilakukan oleh peneliti biomedis dari berbagai universitas yang tidak berafiliasi dengan NASA.

Meski kondisi kesehatan Scott secara umum pulih setelah kembali ke Bumi, namun peneliti juga menemukan banyak hal janggal yang masih jadi pertanyaan mereka hingga kini.

Telomer
Salah satu kondisi unik yang ditemukan peneliti adalah selama Scott berada di luar angkasa, telomer yang merupakan tudung molekuler yang ada disetiap ujung kromosom, menjadi lebih panjang.

Dalam kondisi normal di Bumi, seiring bertambahnya usia, panjang telomer manusia akan ikut memendek. Namun yang terjadi pada Scoot adalah kebalikannya.

Meski selama di luar angkasa dia bertambah tua, telomernya justru bertambah panjang. “Ini adalah bukti pertama yang meyakinkan tentang pemanjangan telomer baik di Bumi maupun di luar angkasa,” kata profesor onkologi dan biologi kanker di Universitas Negeri Colorado, AS, Susan Bailey yang juga salah satu peneliti dalam riset tersebut.

GENOME RESEARCH LIMITED–Telomer yang terletak di ujung kromosom.

Rata-rata panjang telomer Scott setelah kembali ke Bumi stabil hingga mendekati panjangnya sebelum berangkat ke luar angkasa. Namun, sesaat sesudah kembali dari ISS, telomer Scott banyak yang lebih pendek dibanding sebelumnya.

Namun, Scoot kehilangan manfaat dari memanjangnya telomer itu saat dia kembali ke Bumi. Meski demikian, hingga kini belum jelas apa yang membuat telomer memanjang selama berada di luar angkasa.

“Saya pikir, salah satu dampak kesehatan jangka panjang dari penerbangan ke luar angkasa adalah meningkatnya percepatan penuaan atau meningkatnya risiko penyakit yang terkait dengan penuaan, seperti penyakit jantung dan sejumlah kanker,” tambah Bailey.

Selain itu, hingga setahun setelah kembali dari ISS, tanda-tanda perubahan dari sistem kekebalan tubuh dan perbaikan DNA milik Scott masih terjadi jika dibandingkan dengan kondisi sebelum terbang.

“Kami belum tahu apakah itu baik atau buruk, tetapi, sepertinya proses adaptasi kembali ke kondisi awal di Bumi memerlukan sedikit waktu,” kata Christopher Mason, profesor fisiologi dan biofisika di Weill Cornell Medicine, New York, AS yang juga terlibat dalam penelitian kepada Livescience, Kamis (11/4/2019).

Hingga kini, apakah Scott juga mengalami peningkatan risiko serangan kanker dalam jangka panjang juga belum diketahui. Peningkatan risiko itu terjadi karena selama di ISS, antariksawan akan terpapar radiasi sinar kosmik dan sinar Matahari dalam intensitas tinggi. Namun, kondisi itu cukup menggambarkan bahwa Scott memiliki kerentanan yang tinggi terhadap kanker dan bisa jadi bom waktu bagi dirinya di masa depan.

Selain itu, Scoot maupun saudara kembarannya Mark sama-sama memiliki riwayat kanker prostat pada 2007 dan berhasil diobati.

Eksplorasi Mars
Meski studi ini hanya memiliki sampel satu orang yang tinggal di luar angkasa cukup lama dan dibandingkan dengan satu orang lain dengan kondisi genetika mirip, namun cukup memberi gambaran besarnya risiko kesehatan dari perjalanan antariksa jangka panjang.

Markus Löbrich, profesor biologi radiasi dan perbaikan DNA dari Universitas Teknologi Darmstadt, Jerman yang tidak terlibat dalam penelitian mengatakan, dampak kesehatan dari perjalanan panjang antariksa masih sangat sedikit yang diketahui. Namun, studi antariksawan kembar ini telah memberi gambaran dan ukuran risiko yang akan mereka hadapi saat akan pergi ke luar angkasa.

“Perubahan telomer itu bisa jadi akibat radiasi partikel,” katanya. Selama misi ke Mars, antariksawan akan menghadapi paparan radiasi lima kali lebih besar dibanding radiasi yang diterima di ISS. Karena itu, NASA perlu memikirkan cara melindungi antariksawan yang akan melakukan perjalanan ulang alik Bumi-Mars.

NASA–Ilustrasi artis tentang atmosfer tipis Mars yang kini 95 persennya berupa karbondioksida. Di masa awal pembentukan Mars, atmosfer planet merah itu diyakini lebih tebal dibanding kondisi sekarang. Tipisnya atmosfer Mars membuat paparan radiasi di planet merah itu jauh lebih besar dibanding Bumi.

Walau demikian, Robert Zubirin, ahli radiasi dan pendiri Masyarakat Mars (Mars Society) menegaskan, persoalan radiasi tidak akan jadi penghambat manusia untuk menaklukkan Mars. Studi terhadap Scott Kelly dan Mark Kelly menunjukkan meski perjalanan ke Mars sulit, kemungkinan besar perjalanan itu tidak akan mematikan.

Zubirin yang tidak terlibat dalam penelitian mengatakan, dosis radiasi selama satu tahun di ISS (dengan sebagian waktu terlindung dari radiasi sinar kosmik dan Matahari) akan setara dengan dosis radiasi perjalanan ke Mars selama enam bulan jika menggunakan roket dengan kecepatan terbaik saat ini.

Fakta bahwa Scott Kelly tidak menunjukkan efek buruk langsung selama tinggal di ISS jadi pertanda baik untuk penjelajahan menuju Mars. Risiko paparan radiasi itu juga bisa diminimalkan jika lama perjalanan menuju Mars bisa lebih dipersingkat menggunakan roket yang kecepatannya mendekati kecepatan cahaya. Selama roket dengan kecepatan fantastis itu belum tersedia, manusia masih butuh 6-9 bulan untuk sekali perjalanan menuju Mars.–M ZAID WAHYUDI

Editor EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 13 April 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB