Perubahan iklim mengancam produksi pangan, terutama padi, yang kebutuhannya terus meningkat. Padi tahan kekeringan dan banjir menjadi solusi.
Perubahan iklim akan menyebabkan fluktuasi curah hujan yang ekstrem. Kondisi cuaca ini berdampak negatif bagi produksi padi yang memerlukan ketersediaan air yang optimal. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menghadapi ancaman ini adalah dengan mengembangkan varietas padi yang tahan kekeringan dan banjir.
Varietas baru yang dapat beradaptasi lebih baik terhadap perubahan iklim ini dihasilkan Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui kerja sama riset dengan International Rice Research Institute (IRRI) sejak tahun 1970-an. Varietas unggul padi itu antara lain Inpara (Inbrida Padi Rawa) 3 hingga Inpara 10, Inpari (Inbrida Padi Irigasi) 29 dan 30. Selain itu juga dihasilkan varietas padi Inpago (Inbrida Padi Gogo) yang disebut padi Amphibi yang tahan kekeringan dan banjir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH–Merontokkan Gabah – Petani merontokkan gabah hasil panen padi di kawasan Gampong Ujung Dua Belas, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Rabu (21/9/2016). Hasil panen gabah dirasakan petani meningkat sekitar 10-20 persen setelah menggunakan bibit padi jenis baru, yakni Inpari 30.
Kepala Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Kementerian Pertanian, Priatna Sasmita, Rabu (3/4/2019), di Jakarta, mengatakan, varietas padi rawa tersebut tahan genangan air selama dua minggu. Varietas baru yang dikembangkan itu juga tahan terhadap berbagai penyakit dan hama.
Dengan meningkatkan daya tahan terhadap cekaman cuaca ekstrem dan serangan penyakit, varietas baru padi tersebut memiliki produktivitas hingga 9 ton per tahun. Sekarang ini produksi padi nasional rata-rata 5,32 ton per tahun.
Hasil Sembiring, Representatif IRRI untuk Indonesia, menambahkan, hasil padi rata-rata telah meningkat dari 2,4 ton per hektar pada tahun 1972 menjadi sekitar 5,1 ton per hektar hingga 2017. Padi yang dirilis di Indonesia dari tahun 1980 hingga 2017 mencapai 257 varietas, 210 di antaranya memiliki progeni yang terkait dengan varietas yang dikembangkan IRRI.
Dua di antaranya adalah IR36 dan IR64, yaitu varietas yang saat ini dominan ditanam di Indonesia. “Pemuliaan saat ini fokus pada pengembangan varietas padi yang dapat beradaptasi terhadap efek perubahan iklim, yaitu, banjir, salinitas tanah, dan kekeringan,” kata Hasil Sembiring.
Tantangan
Sementara itu, Direktur Jenderal IRRI, Matthew Morell, saat meresmikan kantor IRRI yang baru di Bogor pada Senin (1/4/2019), mengatakan dalam beberapa tahun terakhir berbagai tantangan akan dihadapi Indonesia dalam meningkatkan produksi padi. Tantangan tersebut bukan hanya yang terkait dengan perubahan iklim dan menurunnya sumber daya air, tetapi juga perubahan pola penggunaan lahan dan pertumbuhan populasi.
Morell memperkirakan Indonesia akan membutuhkan 38 persen lebih banyak beras dalam 25 tahun mendatang. Hal ini berarti bahwa hasil rata-rata 5,1 ton padi per hektar harus naik menjadi lebih dari 6 ton per hektar untuk mengisi kesenjangan atau solusi alternatif perlu dikembangkan.
Lebih lanjut Priatna menjelaskan, untuk meningkatkan produktivitas padi diseminasi hasil riset harus sampai ke petani. Saat ini pemerintah telah mencanangkan program Desa Mandiri Benih (padi).
Namun menurutnya itu tidak cukup, perlu dikembangkan program Petani Mandiri Benih. Program ini memberdayakan petani untuk dapat membudidayakan varietas unggul untuk keperluan mereka sendiri. Diakui saat ini distribusi benih kepada petani belum memadai dan meluas.
Padi memang merupakan komoditas pertanian terpenting di Indonesia, yang memiliki populasi terbesar keempat di dunia. Rata-rata orang Indonesia mengkonsumsi sekitar 114 kilogram beras per tahun. Sekitar 20,5 persen dari luas lahan Indonesia seluas 39,7 juta hektar merupakan lahan tanaman padi. Diperkirakan, 14,2 juta rumah tangga pertanian Indonesia secara langsung mendapatkan mata pencaharian mereka dari padi.
Oleh YUNI IKAWATI
Sumber: Kompas, 4 April 2019