Dimensi sosial terkait kebencanaan terabaikan dalam manajemen pengurangan risiko di Indonesia. Pengabaian dimensi sosial itu menjadi salah satu penyebab terus tingginya korban dan kerugian ekonomi dari setiap bencana, termasuk dalam gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi yang melanda Sulawesi Tengah pada 28 September lalu.
”Bencana di Palu ini harus jadi momentum perubahan. Kenapa pengetahuan yang sudah ada selama ini, terutama sejak tsunami Aceh 2004, tidak mampu mengurangi besarnya jumlah korban dan kerugian ekonomi di Palu,” kata Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Herry Yogaswara dalam pertemuan dengan para peneliti kebencanaan, Senin (3/12/2018), di Jakarta.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Masjid Apung di tepi Pantai Talise, Kota Palu, benar-benar terapung di tengah laut setelah gempa dan tsunami yang melanda kawasan ini pada 28 September 2018. Pergeseran tanah di Lembah Palu mencapai 6 meter dan penurunan tanahnya secara vertikal mencapai 3 meter setelah gempa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertemuan itu diinisiasi LIPI dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk mendiskusikan kontribusi yang bisa dilakukan ilmuwan sosial di bidang kebencanaan, terutama untuk membantu memulihkan Sulawesi Tengah pascabencana. Peneliti bidang keteknikan juga turut hadir.
Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia Gegar Prasetya mengatakan, risiko gempa bumi dan tsunami di Teluk Palu telah diketahui sejak lama. Pada 1996 dan 2001 pihaknya juga memublikasikan kajian tentang keberulangan gempa dan tsunami di kawasan itu.
”Salah satu publikasi saya menyebutkan, peringatan dini tsunami tak akan efektif di Palu karena sumbernya dekat daratan sehingga waktu tibanya amat pendek. Selain persoalan komunikasi di publik, masalah kita sebenarnya juga di birokrasi yang menangani kebencanaan,” kata Gegar.
Kapasitas lokal
Menurut antropolog Universitas Gadjah Mada, Esti Anantasari, sejak 2010 sebenarnya penguatan kapasitas lokal terkait risiko bencana di Palu dan Donggala telah dilakukan bekerja sama dengan pihak Selandia Baru.
”Palu dan Donggala merupakan proyek percontohan untuk intervensi risiko ini. Sejak 2010 kami sampaikan kepada DPRD dan pemerintah daerah, tetapi risiko bencana ini tidak menjadi perhatian di daerah, bahkan kerap dianggap mengganggu investasi. Ini salah satu tantangan besar yang harus diatasi,” ujarnya.
Hasil kaji cepat peneliti LIPI, Syarifah Dalimunthe, terhadap kelompok penyintas bencana di Sulawesi Tengah menunjukkan, warga umumnya belum memahami apa yang harus dilakukan untuk menghindari fatalitas.
Iriana Rafliana dari Center for Interdisciplinary and Advanced Research-LIPI menambahkan, kejadian di Sulawesi Tengah menunjukkan, alur sistem peringatan dini belum berjalan baik sehingga tidak dapat memperingatkan penduduk segera menyelamatkan diri. ”Ini harus jadi pelajaran,” katanya.
Para peneliti yang datang dalam diskusi itu menyepakati pentingnya pendekatan multidisiplin dalam pengurangan risiko bencana, termasuk dalam pembangunan kembali Sulawesi Tengah.–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 4 Desember 2018