Dari Jurang Pendidikan Digital ke Kemerdekaan Pendidikan Digital

- Editor

Sabtu, 21 Juli 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pernahkah terbayang oleh kita, saat kita mempelajari hukum fisika dasar di sekolah, yang bicara di depan adalah Newton sendiri. Dia adalah sang genius yang konon mendapatkan inspirasinya karena kaget saat tertimpa apel yang jatuh ketika ia duduk di bawah pohon apel dan kemudian kita mengenal hukum gravitasi.

Rasanya mustahil. Akan tetapi, di masa kini, bukan lagi sesuatu yang mustahil untuk bisa melihat kuliah dari tokoh atau sekolah terkenal dengan murah, kapan saja, dan di mana saja. Yang dibutuhkan mungkin hanya dua hal: akses Youtube serta kemampuan mendengarkan dalam bahasa Inggris. Tentu saja dengan asumsi tokoh-tokoh pengajarnya masih hidup pada era ketika perekaman video pengajaran sudah tersedia.

Mahasiswa komputer, sebagai contoh, beruntung bisa dengan mudah mendengarkan langsung beberapa tokoh sains komputer terkenal, seperti Grady Booch atau Martin Fowler, dalam berbagai seminarnya mengenai pemikiran-pemikiran mereka tentang metodologi rekayasa software. Atau mendengarkan-melihat berbagai diskusi ilmiah terakhir di Google Academy atau GOTO Conference dan berbagai seminar software di dunia. Atau tertarik soal bagaimana Alexander Osterwalder bicara tentang pengembangan model bisnis kanvas yang populer saat ini, Anda pun dapat langsung mendengarnya via Youtube.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Apa yang menarik dari fenomena ini adalah bahwa kita bisa belajar langsung dari para penemu/ahli—yang sebelum adanya internet merupakan hal yang mustahil—tanpa keterbatasan waktu dan ruang. Jika Anda merasa belum mengerti, Anda bisa pause dan replay sesuka hati. Bagi anak-anak didik yang sudah terbiasa dengan hal ini mungkin tidak terasa aneh. Akan tetapi, jika kita mundur ke era 1970-an, ketika murid SMA yang di luar Jawa belajar fisika hanya punya akses dari buku Energi Gelombang dan Medan dari pemerintah, yang susahnya setengah mati untuk dimengerti, sungguh terasa ketidakadilan pendidikan di kota besar yang mungkin relatif lebih punya guru-guru matematika-fisika yang kompeten dibandingkan anak didik di daerah terpencil, seperti di Muaro Bungo, Jambi, atau di sebuah kampung di Papua sana.

Khan Academy
Bill Gates menuliskan dalam Facebook-nya bahwa pelajaran-pelajaran dari Khan Academy bagus sekali. Anak-anaknya menyukainya. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa Sal Khan tetap merupakan salah seorang inovator dalam teknologi dan pengajaran yang paling menarik, penemu suatu pergerakan.

Hal lain yang membuat kagum Bill Gates adalah bahwa Khan mulai melakukan itu dengan fasilitas sederhana dan didasari niat mulia untuk menyebarkan pendidikan. Ia bicara tentang tersedianya pelajaran gratis yang bisa diakses di Youtube yang disediakan oleh Sal Khan. Misinya mulia sekali: menyediakan pendidikan berkelas dunia, gratis, untuk siapa pun, di mana pun. Bidang ilmu yang disediakan, mencakup biologi, kimia, fisika, sejarah, ekonomi, keuangan, grammar, dan lain-lain, sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan diakses oleh sekitar 15 juta orang setiap bulan. Jika Anda mencoba belajar aljabar atau matematika kembali dengan mengunjungi situsnya, mungkin Anda akan mengatakan hal yang sama: ”Kalau saja dulu waktu SMA ada yang seperti ini, tentu saya akan lebih menyukai dan menguasai pelajaran-pelajaran ini”.

KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS–Tien Suharni (47), guru kelas empat SD Negeri Sukatani 4 Depok, Jawa Barat, mendampingi anak-anak yang diberinya tugas menggambar pada Kamis (26/4/2018).

Khan Academy yang tersedia di Youtube adalah contoh nyata tersedianya materi pembelajaran bermutu tinggi (world class) yang bisa diakses siapa saja, kapan saja, di mana saja. Bayangkan, betapa kuatnya pernyataan ini. Materi pembelajaran yang bermutu tinggi bisa diakses oleh anak-anak kita di daerah terpencil bukan lagi suatu mimpi yang terlalu mustahil jika kita bandingkan dengan alternatif konvensional penyediaan guru dan fasilitas pendukung lain di daerah-daerah terpencil.

Code.org
Internet telah menjadikan penyebaran informasi tidak lagi mengikuti hukum Newton. Anda membaca suatu informasi dari majalah atau koran yang harus dicetak, lalu didistribusikan ke kota-kota tujuan. Sekarang, dengan kesaktian internet, diseminasi informasi mengikuti hukum kecepatan sinyal elektronis. Apa yang kita tulis di aplikasi WhatsApp kita dari Bandung, misalnya, bisa tersebar ke semua anggota secara hampir seketika meskipun anggotanya mungkin ada yang di Rusia atau di Kanada, dan dengan biaya amat murah. Hanya dengan satu klik di telepon pintar Anda, informasi sampai ke ujung dunia sana dalam beberapa detik.

Dengan segala dampaknya, baik atau buruk, diseminasi informasi dan aplikasi-aplikasi lain yang tumbuh dengan cepat sekali telah membentuk dunia modern kita sekarang. Banyak ahli berpendapat, kemampuan suatu bangsa untuk maju dan bersaing amat ditentukan oleh penguasaan di bidang ICT (information and communication technology).

ICT dianggap sebagai faktor penting penentu suatu bangsa bisa maju sejajar dengan bangsa-bangsa maju lain. Code.org yang diprakarsai oleh Ali Partovi dan didukung oleh banyak tokoh dunia mempunyai visi yang baik sekali: menyediakan sarana secara gratis bagi siapa saja di dunia untuk belajar pemrograman dengan bahan pelajaran bermutu tinggi, bahkan dari usia dini. Konstruksi-konstruksi dalam algoritma pemrograman dalam menyelesaikan suatu masalah bisa dipelajari sejak dini secara bermain dan dianggap jadi bagian penting untuk melengkapi pendidikan dasar seorang anak, di samping hal-hal konvensional umum seperti halnya berhitung.

Sebagai contoh, Himpunan Mahasiswa Sistem Informasi Telkom University di Bandung menggunakan materi-materi dari Code.org untuk menularkan penyadaran algoritma pemrograman kepada anak-anak SD atau madrasah di sekitar Bandung. Mimpi mereka: pada suatu saat kelak anak-anak Indonesia lebih banyak yang bisa berkiprah sebagai pembuat program daripada hanya sebagai pemakai aplikasi. Dengan dana terbatas, mahasiswa ini dengan semangat tinggi, menggunakan angkutan umum, bahkan uang saku pribadi, menjadi asisten pengajarnya, menyediakan makanan ringan, sertifikat, dan keperluan logistik lain, dan dalam prosesnya menikmati kegembiraan anak-anak belajar pemrograman sambil bermain. Tonggak sejarah yang ingin dicapai mahasiswa ini paling tidak 1.000 anak mengerti dasar-dasar filsafat algoritma pemrograman.

Rasanya tidak terlalu salah bahwa perkembangan teknologi komputer yang begitu cepat selalu saja membuat banyak pihak terkaget-kaget atau tidak siap dengan dampak-dampak yang ditimbulkannya. Dari uraian di atas jelaslah satu hal bahwa di internet tersedia banyak ilmu pengetahuan dengan mutu yang amat tinggi, disediakan oleh orang-orang berjiwa mulia yang melampaui sekat-sekat ras, agama, negara, dan apa pun sekat yang umumnya kita buat. Mereka hanya berniat menyebarkan ilmu yang bermanfaat kepada umat manusia: siapa pun, di mana pun, atau apa pun warna kulitnya.

Rasanya tidak berlebihan jika Indonesia juga memanfaatkan hal-hal luar biasa, yang gratis ini, untuk semaksimalnya manfaat bagi pendidikan di Indonesia. Tiga syarat saja untuk hal ini: akses internet, pemilikan gawai, dan mengerti bahasa Inggris.

Biaya yang harus dikeluarkan untuk ketiga hal ini masih akan jauh lebih murah daripada jika kita berpikir harus mendidik guru-guru dan fasilitas untuk bisa memberikan demokrasi kesetaraan pendidikan bagi anak-anak kita di daerah terpencil. Khusus untuk bahasa Inggris, perlu kita kritisi pencapaian pengajaran bahasa Inggris kita. Seharusnya penekanan pembelajaran bahasa Inggris utamanya adalah penguasaan perbendaharaan kata, kemampuan mendengar dan membaca dalam bahasa Inggris, yang akan menjadi pintu pembuka cakrawala pengetahuan. Soal gramatika dan struktur bahasa seharusnya menjadi nomor dua, bukan prioritas.

Mungkin sebuah gerakan penerjemahan, atau subtitling teks pada bahan-bahan Youtube bermutu yang dikerjakan secara sistematis, terstruktur, dan masif oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, disertai dukungan sarana dan infrastruktur, akan memberikan akselerasi kesetaraan pendidikan digital di seluruh kepulauan Indonesia dengan cepat, murah, dan efektif.

Ahmad Musnansyah Dosen di Universitas Telkom, Bandung; Alumnus ITB dan New Mexico State University, AS

Sumber: Kompas, 21 Juli 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Rabu, 3 Januari 2024 - 17:34 WIB

Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB