Publikasi Peneliti Butuh Jurnal Ilmiah

- Editor

Jumat, 18 Mei 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dalam rangka memenuhi kebutuhan jurnal ilmiah nasional terakreditasi dan reformasi birokrasi pelayanan akreditasi jurnal ilmiah nasional, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengeluarkan Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Akreditasi Jurnal Ilmiah.

Peraturan tersebut mengamanahkan lembaga akreditasi jurnal ilmiah menjadi satu di Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).

Dalam konferensi pers peluncuran Permenristekdikti Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Akreditasi Jurnal Ilmiah di Jakarta, Kamis (17/5/2018), Nasir mengatakan, publikasi merupakan syarat mutlak untuk menjadi inovasi yang nantinya produk inovasi tersebut akan menjadi hak paten.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Indikator paling dominan untuk mencapai publikasi tersebut adalah kemampuan menghasilkan publikasi dari riset.

“Jumlah publikasi internasional kita meningkat terus. Tahun lalu bisa menggeser Thailand, tahun ini sudah bisa menggeser Singapura. Kita punya mimpi untuk menjadi terdepan dalam publikasi ilmiah di Asia Tenggara,” jelas Nasir.

KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Konferensi pers Peluncuran Permenristekdikti Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Akreditasi Jurnal Ilmiah dilaksanakan di Jakarta, KAmis (17/5/2015)

Namun, status jurnal ilmiah Indonesia sebelum ada Permen 9/2018, jumlah jurnal terakreditasi sebanyak 530 jurnal. Setelah dikeluarkannya Permen 9/2018 terdapat 1.682 jurnal terakreditasi yang dibagi dari peringkat S1-S6.

“Kita perlu sebanyak 7.817 jurnal ilmiah untuk menyambung publikasi dari para dosen, peneliti, dan mahasiswa pascasarjana. Saat ini masih kurang sebanyak 6.135 jurnal,” kata Nasir.

Adapun jurnal ilmiah Indonesia yang terindeks SCOPUS (atau S1) baru sebanyak 37 jurnal. Jumlah ini hanya mampu menampung sekitar 1.100 paper para peneliti Indonesia/tahun.

“Padahal per 8 Mei 2018, Indonesia sudah memiliki publikasi internasional sebanyak 8.269. Artinya, banyak tulisan ilmiah peneliti yang diterbitkan oleh jurnal internasional di luar negeri. Jika berbayar, betapa banyaknya uang yang lari ke luar negeri. Karena itu, kita perlu memperbaiki sistem akreditasi jurnal ilmiah di Indonesia,” ujar NAsir.

Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Dimyati mengatakan peluncuran Permenristekdikti No. 9/2018 sangat strategis dalam mendorong riset Indonesia, sekaligus mendorong produktivitas dan relevansi penelitian di Indonesia. “Perbedaan utama dengan peraturan sebelumnya adalah memasukkan unsur pembinaan dalam akreditasi internasional, kita membuka ruang untuk ke internasional lebih banyak lagi,” tutur Dimyati.

Sementara itu Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bambang Subiyanto mengatakan sebelum terbitnya Peraturan Menristekdikti tentang Akreditasi, proses pengajuan akreditasi berada di dua lembaga yaitu Kemenristekdikti untuk jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh asosiasi profesi dan perguruan tinggi, dan LIPI untuk jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh lembaga litbang. “Selama ini jurnal yang diakreditasi oleh LIPI tidak diakui oleh Ristekdikti, sedangkan yang dikareditasi oleh Ristekdikti diakui oleh LIPI,” kata Bambang.–ESTER LINCE NAPITUPULU

Sumber: Kompas, 17 Mei 2018
————————-
Jurnal Ilmiah Dibenahi

KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Konferensi pers tentang penerbitan aturan baru soal akreditasi jurnal ilmiah. Pengeloaan akreditasi kini satu pintu lewat Kemristek dan Dikti. Sebelumnya ada dua lembaga yang mengelola yakni LIPI dan Kemristek dan Dikti.

Publikasi ilmiah internasional terus didorong agar pada 2019 Indonesia bisa berada di peringkat teratas di kawasan Asia Tenggara. Namun, peningkatan jumlah publikasi ilmiah internasional dari para peneliti masih terkendala minimnya jumlah jurnal ilmiah terakreditasi internasional milik Indonesia.

Apalagi, selama ini ada dualisme pengakuan akreditasi jurnal ilmiah di Indonesia antara Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bahkan, akibat dualisme ini, hasil publikasi dosen peneliti di jurnal ilmiah terakreditasi LIPI tidak diakui Kemenristek dan Dikti.

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir dalam acara Peluncuran Permenristek dan Dikti Nomor 9 Tahun 2018 tentang Akreditasi Jurnal Ilmiah, di Jakarta, Kamis (17/5/2018), mengatakan, indikator jumlah publikasi ilmiah penting jika Indonesia hendak menjadi negara maju. Publikasi ilmiah ini sebagai bukti hasil riset yang diarahkan untuk melahirkan inovasi demi mendongkrak daya saing bangsa.

”Berbagai hambatan dalam riset terus kita atasi. Termasuk pula membenahi akreditasi jurnal ilmiah agar lebih banyak yang bereputasi internasional,” kata Nasir.

Menurut Nasir, jumlah jurnal ilmiah yang terindeks Scopus baru 37 buah dan itu hanya mampu menampung 1.100 publikasi. Padahal, publikasi internasional para peneliti Indonesia yang terindeks Scopus pada 8 Mei lalu sudah terdata sebanyak 8.269 publikasi. Angka ini menempatkan Indonesia di posisi kedua setelah Malaysia (8.721). Adapun Singapura di urutan ketiga dengan 6.825, publikasi, serta Vietnam di urutan ke-4 dengan (6.414 publikasi).

Dengan payung hukum soal akreditasi jurnal ilmiah, ujar Nasir, dualisme akreditasi tidak terjadi lagi. Sekarang sudah terpusat di bawah Kemristek dan Dikti. Akreditasi yang selama ini hanya dua peringkat (terakreditasi A/internasional dan B/nasional) dinaikkan jadi enam peringkat, yakni S1 (bereputasi internasional) dan S2-S6 bereputasi nasional.

”Pendekatan akreditasi juga dengan niat untuk pembinaan. Jadi, kita dorong agar yang terakreditasi di bawah S1 bisa semakin naik,” ujar Nasir.

Ketentuan baru mengatur lembaga akreditasi jurnal ada di bawah Kemristek dan Dikti, masa berlaku akreditasi 5 tahun, proses akreditasi menjadi enam kali per tahun dari yang awalnya dua kali. Selain itu, akreditasi jurnal menjadi instrumen pengukuran kinerja riset melalui Science and Technolgy Indeks (Sinta), disediakan cloud open journal systems (Rumah Jurnal Keilmuan-Rujukan).

Disediakan pula akses basis data e-jurnal berlangganan gratis, serta terdapat enam peringkat akreditasi (semula dua peringkat).

Timpang
Direktur Jenderal Riset dan Pengembangan Kemristek dan Dikti Muhammad Dimyati mengatakan, jumlah jurnal ilmiah yang memiliki ISSN (Nomor Seri Standar Internasional) sebanyak 51.158 jurnal. Namun, yang terakreditasi baru 1.682 jurnal. Padahal, kebutuhan jurnal terakreditasi dengan adanya kebijakan wajib publikasi bagi dosen ataupun mahasiswa pascasarjana sekitar 7.817 jurnal.

Kepala LIPI Bambang Subiyanto mengatakan, dengan ketentuan akreditasi yang baru, para dosen pun dapat mengisi jurnal ilmiah yang diterbitkan lembaga penelitian dan pengembangan. ”Dulu, Kemristek dan Dikti tidak memberikan pengakuan untuk publikasi dosen di jurnal yang diakreditasi LIPI,” kata Bambang. (ELN)–ESTER LINCE NAPITUPULU

Sumber: Kompas, 18 Mei 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB