Peluang industri animasi Indonesia masih belum tergarap maksimal, padahal potensi pasarnya cukup besar. Kurangnya pemahaman untuk mengembangkan model di bisnis animasi ini menjadi salah satu kendala yang dihadapi.
Chief of Master Mind Hellomotion Wahyu Aditya mengatakan, animasi ini termasuk ke dalam bisnis intelektual properti dan masih berpeluang besar untuk digali. ”Sayangnya, banyak pekerja kreatif (creativepreneur) yang belum mampu mengumpulkan para animator yang bertalenta ini, padahal potensinya besar,” katanya dalam rangkaian kegiatan American Film Showcase di Jakarta, Selasa (6/2).
DHANANG DAVID UNTUK KOMPAS–Wahyu Aditya
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Wahyu Aditya mencontohkan, dari sisi potensi, serial animasi Adit Sopo Jarwo yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi nasional telah meraup puluhan miliar pemasukan dari iklan. Kemudian, film animasi Si Juki yang ditayangkan di bioskop telah menjadi film animasi lokal dengan penonton terbanyak di Indonesia, sebanyak 600.00 penonton.
”Animator di Indonesia bisa memilih, apakah ingin berkarya di kancah lokal atau internasional. Jika ingin berkarya di kancah internasional, perlu kerja sama dengan minimal satu negara untuk menggarap proses produksinya,” katanya.
Associate Professor USC School of Cinematics Arts Eric Hanson menjelaskan, di Indonesia, animasi masih identik dengan pasar anak-anak. ”Kurangnya pemahaman pasar dan profesi animator memunculkan stereotip ini,” katanya.
DHANANG DAVID UNTUK KOMPAS–Rangkaian kegiatan American Film Showcase di Jakarta, Selasa (6/2).
Eric merupakan animator yang pernah bekerja di beberapa rumah produksi, seperti Digital Domain, Sony Imageworks, dan Walt Disney Feature Animation. Beberapa hasil karyanya adalah The Day After Tomorrow, Cast Away, dan Spider Man.
DHANANG DAVID UNTUK KOMPAS–Eric Hanson
”Untuk mengubah stereotip ini, perlu peran serta orangtua yang ingin memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah animasi. Orangtua harus mampu menjelaskan bahwa profesi animator bisa untuk mengisi film-film box office yang memerlukan efek animasi,” katanya.
Untuk mendapatkan investor, para animator bisa mengikuti berbagai ajang internasional. Wahyu Aditya mengatakan, salah satu ajangnya adalah Asian Animation Summit. ”Dalam event ini, para animator bisa mengajukan karyanya di kancah internasional. Jika karyanya menarik, akan diajak bekerja sama dengan sejumlah perusahaan multinasional,” tuturnya.
Jemput bola
Dalam proses pengembangan industri animasi ini, para animator harus giat ”menjemput bola” untuk mencari dukungan. Wahyu Aditya menjelaskan, kebanyakan animator di Indonesia masih menunggu pesanan untuk membuat animasi.
”Secara global, animasi dibagi menjadi dua bagian, animasi berdasarkan orderan dan animasi sebagai pengembangan sebuah intelektual properti. Banyak animator Indonesia yang mengisi sejumlah efek untuk film Hollywood mendapatkan bagian-bagian kecil,” katanya.
Wahyu Aditya menjelaskan, animator Indonesia perlu didorong untuk menciptakan karakter animasi yang kuat penokohannya. Amerika, Jepang, Korea, dan China menjadi negara yang memiliki karakter animasi yang sosoknya dikenal secara internasional.
”Seperti karakter Marvel, Disney, dan lainnya yang dikenal masyarakat internasional. Geliatnya sih kalau di Indonesia sudah mulai muncul, dan begerak di platform media sosial, seperti Youtube,” katanya.
Adit mengatakan, untuk saat ini, industri animasi ini telah dinaungi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). ”Ada 15 poin yang difasilitasi Bekraf, tetapi memang tidak semuanya diprioritaskan, jadi para animator juga harus aktif mengajak Bekraf bekerja sama,” katanya.
Sebelumnya, dihubungi secara terpisah, Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi dari Bekraf Ari Juliano mengatakan, ada beberapa industri kreatif yang jumlah produk domestik bruto (PDB) yang dihasilkan masih kecil, tetapi berpotensi. Industri ini adalah film, musik, dan aplikasi.
”Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Bekraf, ekonomi kreatif telah menyumbang Rp 922 triliun untuk PDB pada 2016. Jumlahnya meningkat dari tahun 2015 yang sebesar Rp 852 triliun,” ucapnya.
Selain itu, animator di Indonesia bisa memanfaatkan sejumlah perangkat lunak dan teknologi yang sudah ada untuk mengembangkan proses animasinya. Eric mengatakan, teknologi animasi bisa membuat produksi sebuah film menjadi efektif.
”Contohnya, untuk membuat latar belakang tempat, kita hanya perlu menggunakan studio dan efek animasi lewat green screen atau blue screen, hal ini membuat efek produksi menjadi lebih praktis tanpa harus membawa pemain film ke lokasi nyata,” katanya.
Industri film animasi memang sangat berpotensi dilirik dunia pada tahun-tahun mendatang. Pada 2016 saja film terlaris di Hollywood merupakan animasi, yaitu Finding Dory, dengan pendapatan 486.295.561 dollar AS. Film lanjutan dari Finding Nemo ini mengalahkan tema film pahlawan super, seperti Captain America: Civil War. Jika ditarik lebih luas, di 10 besar terdapat empat film animasi, yaitu The Secret Life of Pets, The Jungle Book, dan Zootopia.
Sementara industri film animasi di pertelevisan Indonesia juga cukup menjanjikan. Berdasarkan data Nielsen, film animasi mengambil 5,62 persen tayangan selama 2017, di atas tayangan olahraga dengan 5,18 persen (Kompas, 8 November 2017). (DD05)
Sumber: Kompas, 7 Februari 2018