Kebijakan rekonstruksi Aceh setelah tsunami 2004 dinilai menyebabkan kalangan berpendapatan rendah kian rentan terpapar bencana. Mereka tak memiliki pilihan selain kembali menempati tapak bencana, sementara kalangan berpunya rata-rata telah pindah menjauh dari pantai.
Demikian kajian oleh tim gabungan internasional dari Earth Observatory of Singapore (EOS)-Nanyang University, Singapura; Institute for Environmental Decisions-ETH Zurich, Swiss; International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies, Banda Aceh; serta Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Riset dipublikasikan di jurnal Nature Sustainability, edisi Januari 2018.
”Pertanyaan penting setelah bencana adalah, apa harus membangun kembali di tempat sama atau di tempat lain yang lebih aman. Kami meneliti kasus Banda Aceh, di mana setelah tsunami 2004 inisiatif global membangun kembali di tempat sama,” kata Jamie W McCaughey, ketua tim penulis dari EOS, saat dihubungi melalui surat elektronik dari Jakarta, Sabtu (13/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Melalui survei terungkap banyak penyintas tsunami di Aceh ingin pindah ke area lebih jauh dari pantai sehingga harga properti di kawasan jauh dari pantai jadi mahal. Akibatnya, keluarga berpendapatan rendah tak punya pilihan selain kembali ke pesisir yang rentan terdampak tsunami.
KOMPAS/EDDY HASBY–Meskipun akses beberapa ruas jalan protokol sudah dapat dipergunkan, sisa sampah akibat gelombang tsunami beberapa pekan lalu di Banda Aceh, pada hari Kamis (13/1/2004), masih terlihat menumpuk di reruntuhan gedung dan rumah penduduk.
Berdasarkan analisis geospasial, sebagian besar rumah yang dibangun setelah tsunami Aceh 2004 didirikan di tapak bencana. Lebih dari 99 persen penyintas mendapat rumah bantuan.
Namun, dari 576 responden, 40 persennya memilih menghuni kembali rumah di bekas tapak bencana ini. Ada 43 persen rumah bantuan dihuni pendatang dari luar Banda Aceh yang tak mengalami tsunami dan 85 persen di antaranya penyewa. Jadi, banyak penyintas tsunami tak mau kembali ke kampung lama dan memilih pindah ke tempat lebih aman dari bencana.
Bagi kalangan miskin, pilihan tempat tinggal jadi terbatas. Harga tanah dan sewa rumah di lokasi jauh dari pantai menjadi jauh lebih mahal hingga dua kali dari sebelum tsunami 2004. Mereka terpaksa kembali tinggal di bekas kampung lama.
Analisis itu diperkuat data tingkat kemiskinan warga Banda Aceh di pesisir yang sebelum tsunami 2004 lebih rendah daripada yang tinggal di area jauh dari pantai. Setelah tsunami, kemiskinan di pesisir lebih tinggi. ”Untuk rekonstruksi ke depan, penyintas harus diberi pilihan apa mau kembali ke kampung lama atau ke tempat lain yang dianggap lebih aman,” kata Jamie.
Gejala sama
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono mengatakan, kembalinya warga di tapak bencana tak hanya terjadi di Aceh setelah tsunami 2004. Fenomena sama terjadi di banyak tempat lain di Indonesia, seperti Pangandaran, Jawa Barat, setelah tsunami 2006 dan Flores, Nusa Tenggara Timur, setelah tsunami 1992.
Di beberapa daerah ini, misalnya, di pesisir Kota Maumere, Flores, rentan tsunami, jumlah warga berlipat. Selain faktor ekonomi, seperti diteliti Jamie dan tim, budaya dan karakter masyarakat perlu dikaji karena memengaruhi pilihan berhuni, apalagi tsunami ialah siklus panjang sehingga banyak orang mengabaikan risiko keberulangannya. (AIK)
Sumber: Kompas, 15 Januari 2018