Hampir setengah abad lalu, Kalep Tandamusu (sekarang berusia 61 tahun) merelakan secuil hatinya dicungkil untuk diteliti terkait penyakit demam keong. Sejak saat itu, ia tidak bisa jauh dari pergumulan membasmi penyakit yang hingga kini masih menghantui warga di wilayah Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Suatu hari, pada tahun 1972, di sekitar Danau Lindu, Kabupaten Sigi, Sulteng, Sudomo, peneliti dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), mengejutkan Kalep. Sudomo meminta kerelaan Kalep, yang kala itu berusia 16 tahun, diambil sampel hatinya. Sampel itu diperlukan untuk diteliti guna membuktikan keberadaan penyakit demam keong atau schistosomiasis pada manusia.
”Karena tujuannya baik, saya mengiyakannya,” kata Kalep yang sekarang menjadi petugas Laboratorium Pengendalian dan Pembasmian Penyakit Schistosomiasis di Desa Wuasa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sabtu (16/9). Wuasa berjarak 120 kilometer (km) dari Palu, ibu kota Sulteng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari sampel hati Kalep ditemukan cacing mikroskopis Schistosoma japonicum. Temuan itu mengonfirmasi hasil identifikasi cacing serupa dari sampel tinja warga di sekitar Danau Lindu.
Cacing Schistosoma japonicum yang berkembang biak di hati manusia itu mengakibatkan penyakit demam keong. Cacing dalam bentuk larva (serkarea) masuk ke dalam tubuh melalui pori-pori kaki atau tangan saat manusia kontak langsung dengan keong jenis Oncomelania hupensis lindoensis. Cacing berinang pada keong tersebut.
Keong itu ditemukan di sekitar Danau Lindu di Sigi serta Lembah Napu, Lembah Behoa, dan Lembah Bada di Poso. Lokasi penemuan keong yaitu di Lindu, sekitar 80 km dari Palu, jadi bagian dari nama cacing.
Gejala penyakit demam keong berupa kulit gatal saat serkarea masuk ke dalam tubuh, demam tinggi, diare, berat badan menurun, hilang nafsu makan, perut membuncit, badan sering gemetar tanpa sebab, dan disentri. Pada waktu yang lama (2 tahun lebih), penderita mengalami kerusakan hati karena cacing berkembang di organ vital itu. Jika tidak diobati, penderita bisa meninggal.
Dengan teridentifikasinya demam keong, warga Lindu pada tahun 1972 selamat dari ancaman kematian. Obat penyakit itu bisa membasmi cacing Schistosoma japonicum yang berkembang di hati manusia. Obat demam keong masih diimpor dari Jerman atau Meksiko hingga saat ini.
Kalep mengingat, sebelum penyakit itu teridentifikasi, warga meninggal tanpa diketahui pasti penyebabnya. Suami dari Katrina Torae (44) itu menyebut gejala yang muncul pada penderita waktu itu adalah muntah darah dan perut buncit. ”Kalau tidak salah, waktu itu satu hari warga menguburkan dua jenazah. Kalau tidak ditangani, belum tentu saya bisa bertemu dengan Anda saat ini,” ucapnya kepada Kompas.
Setelah penyakit itu diidentifikasi dan diobati, kematian jarang terjadi. Sebagai bentuk intervensi, Kemenkes mendirikan laboratorium schistosomiasis di Lindu pada tahun 1973.
Membantu petugas
Kalep lalu bekerja sebagai tenaga honorer di laboratorium selama 12 tahun. Setelah itu, ia diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Ia membantu petugas dari Kemenkes dan Dinas Kesehatan Provinsi Sulteng mengidentifikasi titik habitat Oncomelania hupensis lindoensis dan memeriksa sampel kotoran warga setiap enam bulan. Warga yang terdiagnosis demam keong segera diobati.
Bapak tiga anak itu menjadi warga Lindu pertama yang intens mengurus demam keong. ”Sebetulnya ada tiga teman saya yang juga awalnya mengikuti tim khusus mengurus demam keong, tetapi hanya saya yang bertahan,” ujar Kalep.
Pada awal 1982, petugas laboratorium schistosomiasis Lindu menemukan gejala penyakit serupa di Lembah Napu, Poso. Selain itu, di daerah yang saat ini terdiri atas tiga kecamatan itu hidup juga cacing Schistosoma japonicum.
Lindu dan Lembah Napu dipisahkan rangkaian Pegunungan Nokilalaki. Kawasan hutan lebat itu bagian dari Taman Nasional Lore Lindu. Pada pemeriksaan awal terungkap 52 persen populasi mengidap demam keong. Tak sulit menemukan warga dengan gejala demam keong, antara lain perut buncit dan demam tinggi.
Kalep mengatakan, Weno (64), warga Wuasa, adalah salah satu penderita demam keong yang lolos dari ancaman kematian. ”Betul perutnya saat itu membuncit. Setelah dikasih obat, (perut buncit) hilang,” ujar Noflin (62), istri Weno.
Karena prevalensi demam keong di Lembah Napu tinggi, Kalep ditempatkan di daerah itu. Ia menangani laboratorium schistosomiasis yang didirikan pada tahun 1984.
Pada 2013, Kalep sebenarnya sudah pensiun. Namun, ia tetap bekerja meskipun dengan konsekuensi menjadi pegawai honorer lagi yang digaji Rp 350.000 per bulan.
Sambil mengobati warga, Kalep bertanggung jawab mengedukasi masyarakat untuk mengendalikan penyakit dengan cara memakai sepatu bot di daerah habitat keong. Ia juga meminta warga mengumpulkan sampel kotoran secara rutin. Selain itu, ia juga bertanggung jawab membasmi keong pembawa penyakit tersebut.
Dengan penanganan yang intensif, perlahan-lahan kematian akibat demam keong di Lembah Napu lenyap. Saat ini, prevalensi demam keong di Lindu dan Napu menyentuh angka 1,4 persen. Pemeriksaan laboratorium sampel kotoran untuk semester II di Lembah Napu masih berlangsung. Dari sejumlah sampel tinja yang diperiksa Kalep dengan mikroskop, terdiagnosis empat warga Desa Kaduwaa, Kecamatan Lore Utara, mengidap demam keong.
Kalep bersama delapan petugas laboratorium di Wuasa masih terus berjuang membebaskan warga dari penyakit itu. Tantangannya pun tidak sedikit. Masih banyak warga yang belum patuh mengumpulkan sampel kotoran untuk diperiksa. Mereka juga enggan memakai bot saat beraktivitas di habitat keong. Selain itu, pemangku kepentingan juga belum padu dalam membasmi penyakit demam keong.
VIDELIS JEMALI
Sumber: Kompas, 11 Oktober 2017