Dalam Bayang-bayang Demam Keong

- Editor

Selasa, 7 November 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Seorang petugas memperlihatkan keong oncomelania hupensis lindoensis di areal kebun kakao warga di Desa Dodolo, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Jumat (15/9). Keong kecil tersebut menjadi inang cacing mikroskopis schistosoma japonicum yang menyebabkan penyakit demam keong. Penyakit tersebut hingga saat ini belum berhasil diberantas.

Kompas/Videlis Jemali (VDL)
15-10-2017

Seorang petugas memperlihatkan keong oncomelania hupensis lindoensis di areal kebun kakao warga di Desa Dodolo, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Jumat (15/9). Keong kecil tersebut menjadi inang cacing mikroskopis schistosoma japonicum yang menyebabkan penyakit demam keong. Penyakit tersebut hingga saat ini belum berhasil diberantas. Kompas/Videlis Jemali (VDL) 15-10-2017

Sabtu (16/9), kabut baru saja menguap. Enam perempuan petani tampak mencabut dan membersihkan tanah di akar bibit-bibit padi. Musim tanam dimulai. Namun, musim tanam kali ini datang dalam bayang-bayang galau bagi Yusni Tanggul (39), salah satu dari para perempuan tersebut.

Berdasarkan pemeriksaan sampel tinja, Yusni mengidap penyakit demam keong (schistosomiasis). “Saya tidak tahu bagaimana sampai mengidap penyakit ini. Dalam sebulan terakhir, saya berada di sawah menanam bibit padi seperti ibu-ibu lainnya di desa ini,” ujar Yusni, warga Desa Kaduwaa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Sabtu (16/9).

Seorang petugas memperlihatkan keong oncomelania hupensis lindoensis di areal kebun kakao warga di Desa Dodolo, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Jumat (15/9). Keong kecil tersebut menjadi inang cacing mikroskopis schistosoma japonicum yang menyebabkan penyakit demam keong. Penyakit tersebut hingga saat ini belum berhasil diberantas.
Kompas/Videlis Jemali (VDL)
15-10-2017

KOMPAS/VIDELIS JEMALI–Seorang petugas memperlihatkan keong Oncomelania hupensis lindoensis di areal kebun kakao warga di Desa Dodolo, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Jumat (15/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Daerah jelajah Yusni dalam sebulan terakhir terindikasi menjadi habitat baru keong jenis Oncomelania hupensis lindoensis. Cacing Schistosoma japonicum, penyebab penyakit demam keong, berinang pada keong tersebut. Cacing mikroskopis ini masuk dalam tubuh melalui pori-pori kaki atau tangan saat keong kontak langsung dengan manusia. Keong berpanjang 8 milimeter atau sebesar bulir padi.

“Kemungkinan keong terbawa air sungai yang mengalir dari daerah hulu di Desa Dodolo. Sungai-sungai di sana menjadi habitat keong,” kata petugas Laboratorium Pengendalian dan Pembasmian Schistosomiasis Wuasa, Lore Utara, Ronald Abe.

Gejala penyakit demam keong antara lain kulit gatal-gatal saat cacing dalam bentuk larva (serkarea) masuk ke dalam tubuh, demam, diare, berat badan menurun, nafsu makan hilang, dan perut membuncit. Pada waktu yang lama (dua tahun lebih), penderita mengalami kerusakan hati karena cacing berkembang di organ tersebut. Jika tidak diobati, penderita meninggal.

Di Indonesia, keong Oncomelania hupensis lindoensis hidup di Lembah Napu, Lembah Behoa, dan Lembah Bada, di Poso, serta Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi. Keong ada di sawah, kebun (kakao, kopi), dan padang penggembalaan. Ada sekitar 380 habitat keong di Kabupaten Poso yang tersebar di 23 desa di lima kecamatan. Di Lindu terdapat 12 habitat keong di lima desa.

Penyakit demam keong terdeteksi di Lindu pada 1972. Petugas senior Laboratorium Pengendalian dan Pembasmian Schistosomiasis Wuasa, Kalep Tandamusu, menuturkan, sebelum diidentifikasi, penyakit bak wabah. “Dalam sehari, warga menguburkan dua jenazah,” katanya mendeskripsikan ganasnya penyakit itu.

Satu dekade kemudian, peneliti menemukan demam keong di Lembah Napu. Prevalensi penyakit kala itu 52 persen.

Yusni tak tahu sawah yang menjadi medan pencarian nafkah sudah menjadi habitat keong. Dalam pemeriksaan sampel tinja semester I, Yusni tak mengidap demam keong. “Saya memang tidak memakai sepatu bot saat berada di sawah,” ucapnya. Sepatu bot menjadi salah satu pengaman bagi warga untuk melindungi diri dari penyebaran penyakit saat berada di habitat keong.

Tak komprehensif
Saat ini, Laboratorium Pencegahan dan Pembasmian Schistosomiasis Wuasa, Lore Utara, memeriksa sampel tinja warga untuk semester II. Pemeriksaan untuk mendiagnosis ada tidaknya cacing penyebab demam keong di dalam hati warga. Indikasinya adalah terdeteksinya telur cacing di dalam sampel tinja/kotoran.

Petugas laboratorium setiap semester memeriksa sampel kotoran warga. Pada semester I, prevalensi penyakit 1,4 persen. “Karena angkanya di atas 1 persen, dilakukan pengobatan massal. Semua warga mendapat obat agar cacing di hati mati,” kata Koordinator Laboratorium Pengendalian dan Pembasmian Schistosomiasis Wuasa Badollah. Dengan masih terdiagnosisnya sejumlah warga berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, prevalensi penyakit diperkirakan tak menurun.

Pemerintah Kabupaten Poso menargetkan pada 2020, Lembah Napu, Lembah Bada, dan Lembah Behoa bebas dari demam keong. Sejumlah pejabat terkait bahkan sudah melakukan studi banding ke China awal tahun ini. Negeri Tirai Bambu itu berhasil mengeliminasi demam keong.

Kepala Dinas Kesehatan Poso Taufan Karwur menyampaikan, pemerintah sedang menyusun langkah pemberantasan penyakit secara terpadu. Kalau selama ini penanganan berfokus pada pengobatan, ke depan titik beratnya memberantas keong Oncomelania hupensis lindoensis. “Tahun depan rencana itu efektif dilaksanakan oleh berbagai pemangku kepentingan, mulai dari Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, hingga Dinas Pertanian,” tuturnya.

Selama ini, penanganan demam keong ibarat memadamkan api dengan Laboratorium Pengendalian dan Pencegahan Schistosomiasis Wuasa sebagai armadanya. Petugas memeriksa sampel tinja, memberikan obat kepada yang mengidap penyakit, dan menyosialisasikan habitat keong. Masalah utamanya, keberadaan keong Oncomelania hupensis lindoensis belum menjadi fokus pemberantasan.(VIDELIS JEMALI)

Sumber: Kompas, 7 November 2017

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 13 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB