Bambu kerap mendapat stigma sebagai tanaman kampung. Dibiarkan tumbuh sembarangan dan tidak dimanfaatkan. Di tangan Adang Muhidin (43), bambu jadi kreasi produk bernilai puluhan juta rupiah sekaligus membanggakan Indonesia.
Suatu siang di akhir Juli, Adang tampak penuh semangat. Tapak kakinya memenuhi halaman Cimahi Technopark, Kota Cimahi, Jawa Barat. Sengatan terik matahari tak menyurutkannya mondar-mandir memantau para pekerja membuat puluhan stan di sana.
Pendiri Indonesia Bamboo Community (IBC) saat itu sedang sibuk mempersiapkan Bamboo Fiesta 2017. Berbagai produk kreatif berbahan bambu akan dipamerkan dalam kegiatan itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Perajin bambu jangan di bawah terus. Saatnya bambu naik kelas menjadi produk bernilai tinggi,” ujarnya.
Menurut Adang, satu batang bambu biasanya dijual Rp 10.000-Rp 30.000. Padahal, jika diolah, harganya bisa melonjak hingga seribu kali lipat. Dia mencontohkan, alat musik berbahan bambu produk IBC, seperti biola, gitar, bas, dan drum, dijual mulai dari Rp 2 juta hingga lebih dari Rp 20 juta.
“Bahan bakunya murah, tetapi produknya tidak murahan karena yang dijual bukan sekadar bambu, melainkan kreativitasnya,” ujarnya.
Untuk menjaga kualitas produk, Adang mempertimbangkan aspek teknis. IBC bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung. Meskipun berbahan bambu, Adang mengatakan, produk IBC relatif awet karena dapat digunakan lebih dari 10 tahun.
“Produk IBC diuji ilmiah, dari uji tarik, tekan, hingga bengkok. Kami juga belajar untuk membuat desain unik yang tidak banyak beredar di pasaran,” ujarnya.
Adang dan personel IBC lainnya juga belajar bisnis di Universitas Kristen Maranatha, Bandung. Hal ini dianggap penting untuk mengetahui strategi pemasaran dan menjaga harga produk tetap tinggi.
Salah satu strateginya hanya menjual tiga alat musik per bulan meski bisa memproduksi lebih banyak. Hanya butuh 3-7 hari untuk membuat satu alat musik. Namun, dengan produksi terbatas dan peminatnya yang terus bertambah, harga produk IBC berpotensi terus naik.
Dia mencontohkan, dua tahun lalu biola produk IBC dijual Rp 400.000. Namun, saat ini harganya Rp 2 juta. Begitu juga harga gitar melonjak dari Rp 1,5 juta menjadi Rp 9 juta dalam kurun waktu dua tahun.
Lebih dari 90 persen produk IBC dijual ke luar negeri. Negara-negara di Eropa, seperti Slowakia, Slovenia, Romania, Inggris, dan Perancis, jadi peminat utama produk IBC. Negara di Asia yang kaya bambu, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, juga meminati karya IBC. “Ada yang dipakai untuk bermusik, ada juga yang dikoleksi,” ujarnya.
Diminati banyak kalangan, Adang menikmati buah kreativitasnya. Omzet usahanya mencapai Rp 40 juta per bulan. Namun, dia tidak ingin menikmati keuntungan itu sendirian.
Dia membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapa pun yang ingin belajar dan mengasah kreativitas di IBC. Adang tidak ambil pusing meski orang-orang yang pernah belajar di IBC berpotensi jadi kompetitornya suatu hari nanti.
“Jika terus diasah, kreativitas tidak akan pernah mati. Justru jika dapat maju bersama akan lebih membanggakan,” ucapnya.
Saat ini terdapat 14 personel inti di IBC. Tak kurang dari 400 orang dari sejumlah daerah pernah belajar di pojok kreasi komunitas tersebut di Melong, Kota Cimahi. Beberapa dari mereka bahkan sudah menjual produknya secara mandiri.
Orang yang belajar di IBC datang dari sejumlah kalangan, mulai dari perajin bambu hingga mahasiswa. Dia mengatakan, jika punya kemauan kuat dan tidak gampang menyerah, semua orang bisa membuat produk bambu kreatif. “Di IBC selalu ditekankan tidak gampang menyerah. Kami sama-sama belajar. Kalau gagal, coba lagi,” ujarnya.
Menggelandang
Semangat berbagi yang ditanamkan Adang di IBC muncul karena pengalamannya enam tahun hidup di Jerman. Pada 1998 setelah lulus dari Jurusan Teknik Metalurgi Universitas Jenderal Achmad Yani, Kota Cimahi, ia sulit mendapatkan pekerjaan. Suatu ketika ia melihat spanduk di Jalan RE Martadinata, Kota Bandung, berisi pengumuman kuliah gratis di Jerman. Adang tertarik untuk pergi ke Jerman.
Selama setahun, Adang bekerja keras berjualan roti bakar untuk mengumpulkan bekal. Dia juga mendapat tambahan uang dari orangtuanya dari hasil menjual mobil. Total dana yang terkumpul Rp 30 juta. Setelah dipakai membeli tiket, pakaian, dan keperluan lain, tersisa hanya Rp 15 juta atau saat itu setara dengan 3.000 mark Jerman. Adang mendarat di Frankfurt, Jerman, pada 21 September 1999.
Sesampai di Jerman, ternyata biaya kuliah tak sepenuhnya gratis, padahal, bekal yang ia bawa tak cukup. Ia sempat menggelandang selama dua minggu di salah satu taman hingga bertemu orang Indonesia yang bersedia menampungnya.
Agar bisa meneruskan cita-citanya kuliah di Jerman, ia bekerja dulu agar mendapatkan uang untuk mendaftar kuliah. Enam bulan kemudian dia diterima di Teknik Perlindungan Korosi Fachhochschule Sudwestfalen di kota Iserlohn pada 2001. “Saya kuliah sambil kerja. Setelah lulus pada 2003, saya juga masih bekerja di Jerman,” ujarnya.
Dua tahun kemudian Adang pulang ke Indonesia karena ibunya sakit keras. Sang ibu akhirnya meninggal. Selanjutnya, ia tinggal di Bandung menemani bapaknya yang sendirian.
Adang kemudian menjalani sejumlah usaha di bidang kontraktor, bengkel bubut, hingga agen pulsa. Bukannya untung, dia justru rugi karena ditipu hingga ratusan juta rupiah. “Kegagalan itu mengundang ide kreatif, salah satunya memanfaatkan bambu,” katanya.
Perkenalannya dengan bambu bermula saat dia sering mengamati potongan bambu di Masjid Agung Kota Cimahi pada 2011. Beberapa minggu setelahnya, dia menonton acara orkestra di televisi. “Saat itulah saya berpikir membuat alat musik dari bambu,” ujarnya.
Gayung bersambut, Adang bertemu perajin bambu, Abah Yudi, di Gelanggang Olahraga Saparua, Kota Bandung. Mereka kemudian berkolaborasi membuat biola, gitar, dan bas. “Hasilnya lumayan, ada suaranya, tetapi tetap tidak ada yang mau beli.”
Lima bulan berselang, lewat sejumlah pengembangan, alat musik bambu itu dimainkan pada festival musik di Jalan Braga, Kota Bandung. Sebulan kemudian, ia pentas musik di Graha Manggala Siliwangi, Kota Bandung. Setelah itu, alat musik bambunya ikut tampil dalam Java Jazz Festival 2011. Di tahun yang sama, IBC berdiri di Cimahi.
Sejak tampil di Java Jazz, produk IBC semakin dikenal. Dunia pun meliriknya. Pentas di Romania, Malaysia, dan Singapura, diterima. Kolaborasi dengan sejumlah musisi dilakukan bersama kelompok musik Virageawi yang dia bentuk. Aksi mereka membuat kagum membanggakan bangsa. Pesanan alat musik dari luar negeri pun bertambah banyak.
Akan tetapi, hal itu tak membuat Adang lupa diri. Dia menyadari, masih banyak petani dan perajin bambu yang belum sejahtera karena tak mengembangkan kreativitasnya. Keinginan banyak orang terus ditampung, bakat besar terus dipupuk.
“Selama di Jerman, saya sering ditolong orang lain. Sekarang, giliran saya menolong orang lain. Dengan bambu yang sering dianggap tidak berharga, para perajin bisa sejahtera bersama,” ujarnya.
ADANG MUHIDIN
Lahir:
Bandung, 21 Februari 1974
Istri:
Tati Winarti (39)
Anak:
Lutfiya Fachrunisa Muhidin (10), Mochamad Rasya Hafiz Muhidin (7)
Pendidikan terakhir:
Teknik Perlindungan Korosi Fachhochschule Sudwestfalen, Jerman
TATANG MULYANA SINAGA
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Agustus 2017, di halaman 18 dengan judul “Membawa Bambu ke Pentas Dunia”.