Andai saja tak dicekal di Turki, Irak, dan Iran, Martin van Bruinessen barangkali tak akan pernah jatuh hati pada Indonesia. Pencekalan justru membawa berkah bagi antropolog dari Universitas Utrecht, Belanda, ini. Ia tak hanya menjadi peneliti masalah Islam, tetapi juga menyelami begitu dalam relung-relung dunia tarekat.
Saya tahu sebagian saja (amalan tarekat),” kata van Bruinessen merendah. Tetapi, penjelajahannya berpuluh-puluh tahun di pusat-pusat tarekat di Turki, Irak, Syria, Iran, dan Indonesia, menunjukkan ketekunannya meneliti gerakan tarekat. Langkah kakinya ke pusat-pusat tarekat di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, juga tak lagi terhitung. Dia bergaul dengan para pemimpin tarekat (syekh atau khalifah) dan guru-guru pembimbing (mursyid).
Tak mengherankan jika van Bruinessen fasih bicara menyangkut tarekat Naqsabandiyah, Khalwatiyah, Syattariyah, Syadziliyah, Qadiriyah, Maulawiyah, Bektasyiyah, Idrisiyah, Tijaniyah, Ahmadiyah, Rifa’iyah, dan lain-lain. Ia pasti tak asing dengan tarian sufi para darwis yang berputar-putar (sama’) warisan Jalaluddin Rumi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Bruinessen, tarekat bukan hanya mempunyai fungsi keagamaan, melainkan juga menjadi semacam keluarga besar. Seorang pengikut tarekat yang melakukan perjalanan ke negara lain bisa diterima sebagai saudara oleh pengikut tarekat sama di negara itu. ”Tak hanya itu, tarekat juga menjadi kekuatan politik,” katanya. Banyak syekh karismatik yang banyak pengikutnya memainkan peranan penting dalam kegiatan dan keputusan politik.
Dicekal
Bagi penikmat kopi ini, mendalami Islam dan tarekat di Indonesia ternyata berawal dari sebuah ”ketidaksengajaan”. Sebetulnya, ia mencurahkan penelitian tentang orang Kurdi di Kurdistan, yaitu wilayah yang terbentang mulai dari Turki, Irak, hingga Iran, sejak tahun 1966. Orang Kurdi adalah kisah tentang bangsa yang terpinggirkan. Tetapi, karena meneliti orang Kurdi itulah ia dicekal di tiga negara tersebut.
”Sewaktu ada kudeta militer tahun 1980 (di Turki), ada satu daftar nama yang dibacakan di radio berisi orang-orang yang tidak boleh masuk lagi ke Turki, termasuk saya. Saya dicekal karena mengkaji orang Kurdi. Di Turki, orang Kurdi secara formal tidak ada. Jadi, saya bangga (dicekal), tetapi sekaligus saya tidak punya kepastian soal penelitian saya,” kata van Bruinessen seraya menyebutkan dia juga dicekal di Irak dan Iran.
Namun, pencekalan bukanlah vonis mati buat Martin van Bruinessen. Ia tak menyerah. Buktinya, ia masih bisa masuk-keluar terutama ke Turki pasca-pencekalan. Bak adegan film, ia kucing-kucingan dengan petugas imigrasi di perbatasan. Agar bisa lolos, ia memilih melintasi pos-pos perbatasan yang tidak dilengkapi peralatan memadai.
”Saya terus pergi ke Turki dan tidak pernah mengalami hambatan karena masih ada beberapa pos perbatasan yang tidak memiliki komputer (sehingga data pencekalan tidak ada). Saya bisa datang dari perbatasan Suriah atau dari Yunani menggunakan kapal (laut). Hampir setiap tahun, saya datang,” kata peneliti yang menguasai delapan bahasa itu.
Meskipun demikian, ketenangan sulit diraih. Ia mengaku tidak bisa lagi melakukan penelitian untuk jangka waktu lama. Sebab, kehadirannya bisa menarik perhatian sehingga jejaknya itu bisa diendus petugas keamanan. Sebetulnya, ia juga bekerja di proyek pengembangan desa di Afganistan, tetapi buyar gara-gara invasi Uni Soviet. Karena ”kehilangan pekerjaan” itulah ia mulai terdampar di Indonesia tahun 1982.
Indonesia dan Turki
Untunglah setahun sebelumnya ia mengantongi beasiswa dari Koninjklijk Instituut voor Taal Land en Vollkenkunde (KITLV) sebagai peneliti muda tentang Islam di Indonesia. Sebetulnya ia ingin fokus pada kajian antropologi sesuai latar belakang akademiknya. ”Tetapi, mereka (KITLV) bilang disertasi saya tentang Kurdi, juga banyak aspek Islam-nya, banyak menulis tentang peranan tarekat-tarekat dalam fase awal nasionalisme Kurdi. Ya, mau tidak mau, saya pilih topiknya tentang orang miskin di desa yang termarjinalisasi,” kata van Bruinessen yang melakukan penelitian di Bandung.
Ternyata, Indonesia menjadi ladang penelitian yang menarik. Banyak karya yang dihasilkannya. Tak terasa ia menghabiskan waktu di Indonesia sepanjang 1982-1994. Ia juga sempat menjadi dosen tamu di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan konsultan metode penelitian di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Selama empat tahun di LIPI (1986-1990), dia juga sempat ikut
proyek penelitian tentang ”Sikap dan Pandangan Ulama Indonesia”. Martin banyak berkomunikasi dengan komunitas pesantren, ulama, penganut tarekat. Saat itu pula dia bersahabat dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid, Johan Effendy, dan cendekiawan Muslim lainnya.
Di luar itu, ia melihat ada kemiripan Islam Indonesia dan Turki. Menurut van Bruinessen, di dunia Islam, Turki dan Indonesia adalah dua negara penting. Turki dan Indonesia bukan negara Arab, tetapi memiliki tradisi dan budaya Islam khas, termasuk pemikir-pemikirnya. ”Saya membuat perbandingan antara Turki dan Indonesia karena Turki dan Indonesia mempunyai pola yang akomodatif terhadap pemikiran modern,” ujar van Bruinessen yang ditemui di arena Muktamar Ke-32 NU di Makassar, akhir Maret lalu.
Indonesia dan Turki juga memiliki pertautan dalam dunia tarekat. Banyak tarekat yang tumbuh di Indonesia terangkai dari Turki. Barangkali, itulah yang juga membuat dia kerasan di Indonesia. Namun, bagi van Bruinessen, Indonesia bukan hanya soal Islam dan tarekat, melainkan juga musik-musik tradisional yang amat disenanginya.
”Setiap ke daerah, saya membeli kaset-kaset tradisional. Iramanya menarik, saya mengoleksinya,” kata penyuka gado-gado ini. [Subhan SD]
Sumber: Kompas, Jumat, 16 April 2010 | 05:13 WIB