Permainan atau game dalam negeri sedang menggeliat. Cerita tentang pedagang tahu bulat bisa mengungguli urusan pertahanan bangsa. Di tangan kaum muda, game bukan cuma urusan mengisi waktu luang, melainkan juga soal eksistensi dan cara mendapatkan uang.
Eldwin Viriya (27) agak capek pada Rabu (8/6) pagi. Ia baru bisa tidur pukul tiga pagi. Setelah bangun tiga jam kemudian, ia bersembahyang di wihara di daerah Dago, Bandung, lantas menyeruput segelas cappuccino. Di meja sebelahnya, seruan “tahu bulat!” sayup-sayup terdengar dari sebuah keluarga yang duduk melingkar. Pandangan mereka terarah pada gawai di telapak tangan, bukan pada tahu. Mereka tertawa-tawa memainkan game Tahu Bulat.
“Senang,” ujar Eldwin, lulusan Fakultas Teknik Informatika dan Sains Universitas Parahyangan, Bandung. Tahu Bulat adalah permainan yang ia rancang bersama adiknya, Jefvin Viriya (21), di bawah nama Own Games sebulan lalu. Game itu dimainkan di gawai berbasis Android.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tiga minggu nongol di Google Play Store, permainan gratis itu telah diunduh 2,5 juta kali dari Indonesia saja. Rabu itu, game besutan Eldwin mengungguli game Clash of Clans (CoC), kisah fantasi pertempuran antarklan bikinan perusahaan Supercell asal Finlandia. Artinya, dalam waktu 24 jam, game Tahu Bulat lebih banyak diunduh dibandingkan permainan Android lain. Ini berulang setiap hari selama dua pekan terakhir.
Untuk mempertahankan mainan anyar itu, Eldwin dan adiknya begadang hampir setiap malam. Mereka memperbarui setiap hari, menanggapi komentar, dan memperbaiki kinerja game itu. “Makanya, tadi menyempatkan ibadah, mencari ketenangan batin,” katanya.
Google Play Store menempatkan permainan CoC di urutan teratas dihitung dari pendapatan kotor. Tahu Bulat sempat ada di urutan kesembilan, tetapi menjadi satu-satunya game produk Indonesia di daftar 10 besar game paling laris. Eldwin tak mau menyebut berapa pendapatan game itu. Walau diunduh gratis, Tahu Bulat dapat untung dari pembelian fitur dalam aplikasi (in-app purchase). “(Pendapatannya) sudah sampai empat digit sih (ribuan) sehari,” kata Eldwin. Angka itu dalam pecahan dollar AS dihitung tiap hari.
Tahu Bulat adalah karya tersukses Own Games. Bisa jadi, itu terdorong penggunaan Android yang sangat besar di Indonesia. Eldwin dan Jefvin mencari celah dengan memasukkan cerita (gameplay) yang dekat dengan keseharian orang Indonesia.
Cerita dagang tahu bulat berawal dari partisipasi kedua anak muda itu dalam pameran Pasar Komik Bandung, 7-8 Mei silam. Booth mereka sepi pengunjung pada hari pertama. Saat itu, Eldwin pun punya waktu membuat sketsa karakter dan suasana bakal game Tahu Bulat, sementara Jefvin membuat programnya.
Pada hari kedua, prototipe game itu kelar. Ia mengundang pengunjung pameran untuk mencicipi “tahu bulat” yang “digoreng dadakan”. “Ada lebih dari 100 orang mencoba, dan mereka senang,” kata Eldwin.
Setelah disempurnakan, game itu tayang sepekan kemudian. Maka, dimulailah hari-hari sibuk mereka berdua.
Pembuat game dalam negeri, terutama yang berbasis telepon pintar, mendapat peluang sejalan dengan penggunaan ponsel pintar yang luas. Survei Litbang Kompas akhir Mei lalu menyebutkan, 90 persen lebih dari 500 siswa SMA di Jabodetabek aktif memakai ponsel pintar.
Masa jaya
Pasar game dalam negeri juga dicium pengembang Touchten. Kantornya tersembunyi di pojok area parkir pertokoan Thamrin City di Lantai 7, Jakarta. Didirikan pada 2009, Touchten mempekerjakan sekitar 50 orang, rata-rata berusia di bawah 28 tahun. “Tahun ini masa jaya pengembang game lokal. Tahun lalu belum ada game bikinan Indonesia di daftar teratas Play Store. Kini, dari lima besar, bisa ada tiga game bikinan dalam negeri,” kata pendiri Touchten, Anton Soeharyo (31). Perusahaan itu ia bangun bersama adiknya, Rokimas Putra Soeharyo (28), dan sepupunya, Dede Indrapurna (29).
Berangkat dari pemain game, Anton membuat game setelah Apple mengeluarkan iPhone. Dalam perangkat itu ada game berjudul iFart, tentang bunyi- bunyi kentut. “Aplikasi lucu kayak gitu ternyata menghasilkan Rp 600 juta per hari. Saya coba-cobalah bisnis ini,” katanya.
Game pertama yang mereka pasarkan adalah Sushi Chain, tentang pelayan di warung sushi. Ini menghasilkan tak kurang dari 10.000 dollar AS per bulan dari iklan selama sekitar satu tahun. Permainan itu diunduh 1,2 juta kali. Mereka pun berbunga-bunga. “Awalnya orangtua nyuruh cari kerja. Waktu itu saya baru selesai kuliah di Jepang. Setelah saya tunjukkan rekening kepada orangtua, mereka bilang, ‘Udah, enggak usah (cari) kerja lagi’,” kata Anton yang mendapat gelar master hubungan internasional dari Universitas Waseda, Tokyo.
Mereka membubuhkan cita rasa lokal di game selanjutnya, Warung Chain: Go Food Express. Ada makanan seperti bakso malang, ayam goreng spesial, dan tempe di situ. Hingga kini, mereka telah membuat 30 game dengan total unduh 15 juta kali.
Pakai riset
Di ranah berbeda, Brendan Satria Atmawidjaya (28) dari Kummara di Bandung mengembangkan permainan papan atau board games Mat Goceng selama sekitar dua tahun. Permainan itu berlatar budaya Betawi yang mirip adu jurus silat, tetapi menggunakan kartu. Demi mendalami karakter Mat Goceng, si jago silat itu, ia membuat riset mendalam. Untuk mendapat alur cerita enak, Mat Goceng direvisi sampai delapan kali.
Menurut Brendan, permainan papan yang dimainkan dengan orang lain mendorong interaksi langsung. “Gue yakinkan kepada orangtua, permainan ini bisa menyenangkan dan bermanfaat,” ujar lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu.
Begitulah, ketika para pejabat ribut soal impor daging, anak-anak muda kreatif justru mengekspor game bikinan mereka ke dunia. Tak hanya mengharumkan nama bangsa, mereka juga mendapatkan uang dan membuka lapangan kerja.–HERLAMBANG JALUARDI
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Juni 2016, di halaman 1 dengan judul “Heboh “Tahu Bulat” di Jagat “Game””.