Belajar dari sejumlah tokoh pendidikan di Indonesia masa lalu, misalnya Ki Hadjar Dewantara, Engku Mohammad Syafei, dan Willem Iskander, proses pendidikan seharusnya bisa memerdekakan pikiran dan mental peserta didik. Oleh karena itu, lembaga pendidikan tak boleh hanya berorientasi menghasilkan lulusan yang bisa diserap oleh pasar kerja.
Demikian benang merah bedah buku Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas karya redaktur senior harian Kompas, St Sularto, Sabtu (28/5), di Yogyakarta. Buku tersebut menguraikan kiprah tiga tokoh pendidikan Indonesia, yakni Ki Hadjar Dewantara (pendiri Perguruan Tamansiswa), Engku Mohammad Syafei (pendiri Indische Nederlandse School Kayutanam), dan Willem Iskander (pendiri Kweekschool/Sekolah Guru Tanobato).
Pembicara dalam bedah buku itu adalah mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif; Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa Sri-Edi Swasono; Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Johanes Eka Priyatma; dosen sejarah Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Asti Kurniawati; dan siswi SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Tamansiswa, Yogyakarta, Putri Lestari. Acara dipandu wartawan Kompas, Thomas Pudjo Widijanto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Syafii mengatakan, salah satu pelajaran dari institusi pendidikan yang didirikan Ki Hadjar, Syafei, dan Willem adalah proses pendidikan harus menghasilkan manusia yang merdeka. Lembaga pendidikan yang didirikan tiga tokoh tersebut berupaya mendidik murid-muridnya berpikir dan berkarakter merdeka, termasuk jika pemikiran itu berbeda dengan para guru.
“Dengan membaca pemikiran ketiga tokoh tersebut, kita juga bisa membandingkannya dengan kondisi pendidikan kita sekarang. Pendidikan di Indonesia sekarang sudah jauh dari cita-cita Ki Hadjar, Engku Mohammad Syafei, dan Willem Iskander,” kata Syafii.
Menurut Syafii, banyak lembaga pendidikan di Indonesia saat ini yang gagal memerdekakan peserta didiknya dan hanya menghasilkan lulusan yang ingin masuk ke pasar kerja. Padahal, lembaga pendidikan sekarang seharusnya juga bisa menghasilkan lulusan yang punya niat dan kemampuan membuka lapangan kerja.
“Pendidikan kita sekarang ini tidak lagi mencetak manusia merdeka, tetapi mencetak manusia dengan mental pegawai. Seharusnya kita menjadi pencipta lapangan kerja, bukan pencari kerja,” ujar Syafii.
Johanes Eka menuturkan, buku Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas menunjukkan, sudah ada lembaga pendidikan berkualitas yang muncul di Indonesia sebelum kemerdekaan diproklamasikan. Sayangnya, puluhan tahun setelah kemerdekaan, kualitas pendidikan di Indonesia justru tertinggal ketimbang negara- negara lain. “Yang lebih menyedihkan, kualitas para guru kita juga tergolong rendah,” ujarnya.
Mirip unit produksi
Johanes juga menilai, banyak sekolah di Indonesia sekarang lebih mirip dengan unit produksi yang keberhasilannya diukur dengan kriteria industri dan bersifat jangka pendek, misalnya rata- rata nilai ujian, besaran gaji lulusan, dan peringkat akreditasi. “Akibatnya, kita mereduksi pendidikan, sementara orientasi jangka panjang dari pendidikan justru terlupakan,” ujarnya.
Sri-Edi menyatakan, belajar dari pengalaman Ki Hadjar, Syafei, dan Willem, Indonesia seharusnya bisa mengembangkan model pendidikan yang berkualitas tanpa harus meniru sistem pendidikan negara lain. Dengan begitu, lembaga pendidikan bisa menghasilkan lulusan yang bermental merdeka dan tidak minder di hadapan bangsa lain.
Sementara itu, St Sularto mengatakan, ide-ide kebangsaan sebelum Indonesia merdeka banyak disemai melalui lembaga pendidikan, termasuk lembaga yang dikembangkan Ki Hadjar, Syafei, dan Willem. Sekolah yang dikembangkan ketiga tokoh itu bisa menjadi rujukan untuk merumuskan model pendidikan yang tepat, terutama di tengah kecenderungan pendidikan yang berorientasi pasar. (HRS)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2016, di halaman 12 dengan judul “Bebaskan Pendidikan dari Orientasi Pasar”.