Jakarta Perlu Restorasi, Bukan Reklamasi

- Editor

Rabu, 3 Februari 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ambil Momentum Sebelum Terlambat Ditangani
Solusi mengatasi persoalan Teluk Jakarta yang kini tercemar dinilai bukanlah reklamasi dengan membangun pulau-pulau buatan. Langkah itu justru bisa memperburuk kualitas lingkungan, selain memicu persoalan sosial karena akan merelokasi ribuan nelayan. Untuk Teluk Jakarta, disarankan restorasi.

“Gubernur Jakarta (Basuki Tjahaja Purnama) telah mengatakan bahwa tanpa reklamasi saja sudah terjadi pencemaran logam berat di Teluk Jakarta. Nah, justru karena itu perlu restorasi. Bukan direklamasi,” kata ahli kelautan yang juga Lektor Kepala Bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Alan Koropitan, Selasa (2/2), di Jakarta. Ia menanggapi berita di Kompas, Sabtu (30/1).

Kepala Kelompok Peneliti Kerentanan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan Semeidi Husrin juga mengatakan, reklamasi tidak akan menyelesaikan persoalan pencemaran yang memang telah terjadi di Teluk Jakarta. “Pencemaran seharusnya diatasi dengan manajemen dan penegakan hukum dalam pengelolaan limbah dari hulu ke hilir. Selama ini, usaha itu tidak maksimal,” ujarnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Alan, pembangunan pulau-pulau buatan justru akan memperburuk kualitas lingkungan Teluk Jakarta. “Restorasi yang saya usulkan itu, selain untuk memperbaiki Teluk Jakarta, sekaligus juga untuk perbaikan manajemen pengelolaan air. Jakarta bisa mencontoh hal ini dari Chesapeake Bay di Maryland, Amerika Serikat,” katanya.

Restorasi itu juga bersifat jangka panjang. Dengan kemampuan finansialnya, seharusnya Jakarta mampu melakukannya. Dalam kasus Chesapeake Bay, restorasi dilakukan dengan menjunjung prinsip science, restoration, and partnership dalam pengelolaannya, yang melibatkan banyak pihak.

Sebagai contoh, dari aspek ilmu pengetahuan, mereka bekerja sama dengan University of Maryland serta sudah menghasilkan ratusan master dan doktor terkait Chesapeake Bay. Dalam hal kemitraan, mereka membentuk dewan lintas sektoral untuk mengatasi persoalan hulu-hilir. Kemudian, sejalan dengan itu melalukan restorasi.

Gairah baru
Jika restorasi berhasil dilakukan, akan ada pertumbuhan ekonomi baru berbasis alam, misalnya menggairahkan wisata pantai dan kuliner. “Praktik ini, misalnya, dilakukan oleh Vietnam, di mana kota-kota pesisir mereka memanfaatkan budidaya ikan di laut, kemudian mengangkutnya ke kantong-kantong pusat kuliner,” kata Alan. “Restorasi ini juga akan memperkuat kapasitas adaptasi Kota Jakarta terhadap perubahan iklim, khususnya menjamin ketahanan pangan.”

Alan juga menanggapi pernyataan Ketua Ikatan Indonesian Land Reclamation and Water Management Institute Sawarendro. Sebelumnya, Sawaredro menyatakan, reklamasi telah terjadi di Teluk Jakarta secara alami karena sedimentasi.

“Sedimentasi Teluk Jakarta terjadi karena perubahan lahan ke arah hulu. Berdasarkan gambar satelit, telah terjadi konversi lahan dari vegetasi ke permukiman sebesar 80 persen di Jakarta, belum lagi ke arah Bogor sampai kawasan Puncak,” kata Alan.

Terkait dengan rencana relokasi nelayan Teluk Jakarta ke Kepulauan Seribu, Semeidi menganggap hal itu bukan solusi yang baik. “Permasalahan di tempat asal dan di lokasi relokasi sangat kompleks,” ujarnya.

Menurut Alan, pernyataan Basuki bahwa izin prinsip reklamasi telah diterbitkan pemerintah terdahulu tidak bisa dijadikan alasan. Jika terbukti keliru, kebijakan terdahulu bisa dikoreksi.

“Sudah waktunya DPRD DKI Jakarta meninjau ulang Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta untuk pengembangan ruang. Kebetulan DPRD DKI sedang membahas hal ini sehingga bisa jadi momentum tepat untuk perbaikan sebelum semakin terlambat,” kata Alan. (AIK)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Februari 2016, di halaman 14 dengan judul “Jakarta Perlu Restorasi, Bukan Reklamasi”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 9 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB